“AWAL  PERJALANAN HATI”


***

Pagi hari, Aji datang ke kampus dengan perban di kepala. Sesampainya di kelas, Aji menghampiri Nayla dan mengatakan bahwa Gio mengalami kecelakaan semalam, yang menyebabkan Gio terluka parah sehingga harus dirawat di rumah sakit.
Padahal sebenarnya hari itu Gio sedang tampil band di acara TV swasta. Gio memohon kepada Agung--salah satu teman di kampus--untuk membantu Gio memberikan dua tangkai bunga berwarna merah dan putih. “Warna merah berarti menolakku,
sedangkan bunga warna putih berarti kau menerimaku” begitu kira-kira skenarionya. Bunga itu akan diberikan ketika Nayla akan menjenguk Gio di rumah sakit. Namun Gio tidak memberitahukan arti dari setiap bunga tersebut kepada Nayla. Memang sengaja seperti itu karena Gio hanya ingin mengetahui isi hati Nayla yang tulus, berharap ada kesinambungan seolah Nayla, mengerti arti semua ini. 
Kecemasan mulai mengerayangi tubuh Gio. Bagaimana jika Nayla memilih bunga warna merah, tak ada lagi sudah kesempatan Gio untuk memiliki Nayla, ujar Gio. Kekhawatiran Gio mulai muncul saat Gio melihat Agung mengirimkan pesan singkat ke Gio.
Dengan tenang Agung mengungkapkan bahwa bunga merah yang tidak Nayla pilih. Dengan kata lain Nayla memilih bunga berwarna putih, seolah Nayla mengerti maksud dari hati ini dan berkata “iya.. aku menerimanya”. Tapi apa benar Nayla mengerti maksud skenerio ini?
Kuliah pun selesai dan Nayla mengajak Agung untuk segera melihat kondisi Gio di rumah sakit. Bukannya membawa Nayla ke rumah sakit, Agung malah membawa mobilnya ke acara TV swasta tempat Gio mengisi acara. Sesampai disana, Nayla melihat Gio dengan marah dan kesal karena telah dibohongi. Namun Gio mencoba untuk membujuknya agar Nayla tidak marah.
“Please jangan marah dulu ya Nayla” pinta Gio memelas dengan hati yang berdebar kencang. Ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaan hati kepada Nayla, pikir Gio. Tiba-tiba Gio menjadi kaku, mencoba untuk memberanikan diri dan melampaui batas diri untuk berkata dan entah darimana keberaniannya terkumpul. Gio pun berucap : 
“Maukah Kau menjadi kekasihku Nayla Purnamasari?,” sambil menggenggam tangan nayla. Merespon sikap Nayla, Gio tegang dan harap-harap cemas dalam hati. Apa skenerio mereka akan berjalan dengan baik? Apa pilihan Nayla pada warna putih sesuai tengan teori semiotika yang mereka bicarakan kemarin dengan Aji? Akhirnya Gio mengatakan itu pada Nayla, namun Nayla hanya diam saja. Berdebar-debar Gio menunggu dimana Nayla akan mengatakan “iya” atau “tidak”.
Akhirnya, Nayla berkata dan berbicara kepada Gio, 
“maaf aku tidak bisa Gi”  jawab Nayla pelan. 
“Apa?” batin Gio, Gio terdiam dan sedih seketika. Nayla berbicara dengan wajah yang tidak bersahabat dengan Gio. Genggaman tangan Gio di tangan Nayla perlahan-lahan dilepaskan.
“Terus selama ini apa Nayla?” tanya Gio dalam hati, hanya sebuah harapan kosong yang menjadi sebuah mimpi di atas awan dan terjatuh ke bumi.
“Okee.. aku terima jawabanmu”  benak Gio. Lagi pikiran dan hatinya berkecamuk. Campur baur dalam rasa percaya diri yang semakin ambruk. Euforia pun tiba-tiba jadi hambar. Tak tau apa lagi yang harus dibicarakan. Gio tak dapat menguasai dirinya. Dalam kecewa dan tanpa kata, masih shock dengan jawaban yang diberikan Nayla, Gio pamit sebentar untuk  melanjutkan aktivitasnya mengisi acara.  walau hati terasa remuk. Padahal  itu Cuma alasan untuk menghindar dari suasana menyedihkan di dekat Nayla. Setelah semua aktivitas Gio selesai, Gio teringat akan bunga yang Gio berikan pada Nayla melalui Agung. Gio pun menghampiri Nayla untuk memastikan.
 “Nayla, pada saat kamu diberikan bunga oleh Agung, bunga warna apa yang kamu ambil?” memasang muka penuh dengan harapan.
Siapa tau ada keajaiban.
“Aku mengambil bunga berwarna putih Gi, emang kenapa?” ujar Nayla.
“Tidak apa-apa Nayla.” Lalu Gio mengajak Nayla dan yang lain untuk meninggalkan lokasi acara, mereka berpisah ke tujuannya masing-masing.
Gio menemukan harapan baru bahwa sebenarnya Nayla mungkin saja mengerti hati Gio dan Gio yakin Nayla juga menginginkan hal yang sama. Gio masih penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan jawaban yang Nayla berikan pada Gio. Apa yang ada di hatinya sangat membuat Gio bingung. 
Tiba-tiba Gio ingat dengan janji untuk menyusul Aji karena kawannya itu akan menyatakan cinta kepada kekasihnya di pantai Sadranan. Gio pun memutuskan untuk mengajak Nayla ke pantai dan akan kembali mencoba mengatakan itu sekali lagi. Pantai Sadranan menjadi pilihan Gio untuk mengajak Nayla berbicara mengenai isi hatinya. Gio meminta waktu kepada Nayla untuk berbicara berdua karena saat itu Gio dan Nayla tidak hanya pergi berdua, melainkan bersama teman-teman yang lain.
Gio menceritakan semua yang dipendam, hanya itu yang Gio bisa lakukan untuk menjelaskan kepada Nayla. Nayla hanya tertawa ketika Gio berbicara tentang semua ini,  seakan-akan apa yang Gio katakan hanyalah sebuah lelucon saja. Gio hancur saat itu, mendengar tawa Nayla. Gio berusaha untuk terus melanjutkan semua ceritanya yang telah dia pendam selama ini. Nayla tetap saja tidak menghiraukan karena menganggap ini semua hanya sebuah lelucon dari Gio.
“Sial bisa-bisanya dia mempermainkan perasaanku yang sedang menggebu begini” batin Gio. Gio tatap mata Nayla dalam-dalam, memastikan apa Nayla menganggap ini lelucon. Kini Gio yang ragu, apa barusan hanya lelucon, ataukah serius. Dilihatnya di dalam mata Nayla, Nayla mengharapkan sesuatu secepatnya dari Gio. Gio masih menyelidiki sebelum bahagia membuatnya meledak.
Seketika Gio meminta tanggapan dari Nayla, Nayla hanya terdiam saja. Diraut wajah Nayla masih terlihat ekspresi sedang melihat lelucon, sekali lagi Gio terluka.
“Nayla apakah kau mau menjadi bagian dari hidupku?” kata Gio sambil menjulurkan tangan dan berkata “ DEAL ”. Nayla hanya tertawa-tawa sambil menyambut tangan Gio. Hal yang membuat Gio tidak PD, senang, sekaligus jengkel. Perasaan Gio seperti sedang dipermainkan.
“Serius Nayla? kamu ga bercanda? kita jadian?”, ujar Gio sumringah, antara senang yang tak tertahan, dan rasa kurang percaya, bahwa wanita idamannya telah menerima cintanya.
Nayla balik menatap mata Gio dalam-dalam terlihat berkaca-kaca karena girang. Ditatapnya semakin dalam dan agak lama mencoba masuk ke dimensi yang membuat bola mata itu berbinar-binar. Lalu sebaris kata singkat keluar dari bibirnya untuk memberikan keyakinan bahwa ini bukan lelucon.
“Iya Gio, kita jadian” di rangkulnya tangan Gio dengan tangan yang lain, mencoba memberi pertanda pada laki-laki di depanya bahwa, tidak ada lagi yang lebih serius dari pada tanda tersebut. Dan itu membuat Gio langsung meledak
Rasa haru dan senang sudah mengungkapkan semuanya dan Gio langsung memeluk Nayla sambil berlinang air mata. Gio dan Nayla memutuskan untuk merekam semua insiden pada hari itu. Gio dan Nayla berfoto dan membuat semua momen itu sambil tertawa seakan-akan saat ini dunia hanya milik mereka berdua. Gio sekarang sudah bisa memanggil Nayla dengan sebutan “wahai wanitaku” dengan santai tanpa rasa malu karena Nayla sudah menjadi bagian dalam hidup Gio. Sebelum pergi dari pantai Sadranan, Gio sempat bertanya.
“Kenapa tadi di lokasi acara tidak langsung terima saja Nay” tanya Gio.
“Ya, salah sendiri kamu ngerjain aku, kan harus dibalas biar impas” jawab Nayla singkat. Sambil bergandengan tangan mereka beranjak dari pantai Sadranan. Siluet tubuh mereka terlihat mesra di senja yang keemasan.
“Jadi kamu ngerjain aku Nay?” Gio tak terima. Nayla tidak menjawab, dia terus melangkah sambil merangkul pinggang lelakinya itu.
Gio seperti tidak melangkah diatas pasir pantai Sadranan. Dia seperti sedang berjalan diatas angin. Yang Gio rasakan hanya rasa hangat dari pelukan wanitanya : Nayla Purnamasari, dan letupanletupan kecil seperti air mendidih di dalam darahnya, yang tidak mau berhenti meski logika mencoba mengontrolnya setengah mati. Maklum, sedang jatuh cinta.

***

Inilah awal kisah cinta Gio dan Nayla. Permulaan yang pada perjalanannya mengharuskan Gio menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk mengakhirinya. Mengakhiri dengan cara yang gagah sebagai seorang lelaki.
Awal kisah cinta ini dimulai ketika Gio dan Nayla sama-sama menjadi pelajar disalah satu perguruan tinggi di Kota Yogyakarta, kota yang disetiap sudutnya ada kenangan bagi siapa saja yang pernah menyesap nyamannya Yogyakarta, termasuk Gio dan Nayla.

***






“PERTEMUAN KITA”

***

Kala itu di pagi hari di bulan Mei, Gio sedang mendaftarkan diri di salah satu universitas ternama di Kota Yogyakarta. Gio berjalan menyusuri kolong-kolong kampus menuju tempat pendaftaran sambil memandang ruang-ruang kelas yang ada di kampus itu. Dan sedikit demi sedikit Gio mulai merasakan sensasi dunia perkuliahaan. Gio terus melangkah hingga sudut matanya menangkap seorang perempuan di sudut ruangan, perempuan itu terlihat seperti orang kebingungan. Setelah Gio perhatikan, Gio menyadari bahwa perempuan itu berkulit putih dengan mata yang cantik berwarna coklat.
“Jika langkah seumpama rel kereta api, maka aku pasti bisa melangkah menuju arahmu dengan lurus”. Namun langkah Gio tak semudah itu, walau mata mereka bertemu tetapi mereka diam tak menyapa. Gio bertanya-tanya, mengapa ketika menatap mata perempuan itu Gio  merasakan sesuatu yang berbeda. Gio langkahkan kaki terus dan terus hingga matanya mau tidak mau harus berpaling dari perempuan itu.
Hari ini adalah hari pertama Gio kuliah dan Gio berjalan dengan percaya diri menuju kelas. Di depan kelas, Gio terkejut melihat perempuan yang tadi dilihatnya, berdiri juga disana. Tak Gio sangka akan bertemu dengan perempuan itu lagi. Kembali mereka saling menatap, tapi lagi-lagi tak saling menyapa. Ini kelas pertama Gio dan tak pernah menduga akan sekelas. Perempuan itu duduk di barisan terdepan dan Gio duduk di barisan belakang, Gio selalu mencuri-curi pandang untuk melihat perempuan itu.
Mata Gio tak bisa berhenti melihat perempuan itu dan tangan Gio pun tak bisa menolak untuk berkenalan dengannya. Hal yang membuat Gio akhirnya bertanya “Siapa nama mu?” tanya Gio, tetapi perempuan itu tidak menjawab, Gio tenggelam dalam aroma wangi tubuhnya. Saat berkenalan dengan perempuan itu, perempuan itu memandang Gio dengan ekspresi jijik seperti melihat “gembel”. Gio hanya tersenyum menutupi kegelisahan hati dan mencoba berpikir bahwa itu adalah sebuah pujian.
“Haii... Nayla?” kata Gio lagi.
“Aku? Kok kamu tau namaku?,” jawab Nayla sambil.
“Iyaa.. dari absen di kelas tadi” ucap Gio sambil tertawa
“Salam kenal Nayla. Kamu asli mana?” Gio sambil menjulurkan tangan.
“Aku asli Riau, kamu?”  
“Kita sama-sama berasal dari Sumatra, tetapi aku di Jambi”
“Ooohh iyaa.. Namamu siapa?”

“Aku Gio.” Jawab Gio kaku dan tidak bisa bicara apa-apa lagi.
Gio putuskan untuk mengakhiri pembicaraan tersebut, karena Gio rasa Gio tak pantas berdiri di depan Nayla dengan penampilan seperti ini. Gio menggunakan jaket jeans, sepatu boot, dan memakai anting. Pantas saja ketika pertama bertemu, Nayla memandang Gio aneh begitu. Perbincangan yang singkat itu membuat Gio semakin tertarik pada Nayla dan Gio tak bisa berhenti untuk terus dan terus mencari tau tentang Nayla.
Suatu hari, Gio dan Nayla dipertemukan lagi di sebuah kepanitian acara kampus. Gathering  jurusan kampus menjadi saksi dimana Gio dan Nayla mencoba untuk berkenalan lebih dalam. Pada saat itu Gio melihat Nayla bersama seseorang laki-laki berkulit putih dan berkaca mata. Gio kira laki-laki itu adalah seseorang yang spesial dalam hidup Nayla. Anehnya hati Gio terus saja ingin tau tentang Nayla. Tapi ada hal yang memaksa Gio untuk berhenti mencari tau siapa Nayla.
Tak di sangka lagi dan lagi Gio dan Nayla satu kelompok dalam tugas kuliah. Mereka duduk di perpustakan melanjutkan perbincangan yang terputus tempo hari, 
“Kok kamu seperti gembel sih?” kata Nayla sambil menatap mata Gio. Gio bingung harus berkata apa, seperti resah di ambang rasa bimbang untuk ingin berkenalan dengan Nayla lebih dalam. Gio menjawab pertanyaan Neyla dengan jawaban bimbang.
“Jika kau ingin menjadi temanku silahkan dan jika kau tak ingin ya tidak apa-apa” kata Gio sembari menundukkan kepala. Kemudian Gio mencoba untuk lebih fokus mengerjakan tugas kelompok. Tak banyak Gio dan Nayla berkata dan tak banyak Gio dan Nayla bertatap mata setelah apa yang sudah Nayla katakan. Kejadian itu membuat Gio selalu menekankan hati,
“diriku tak pantas untuk dirimu dan saat ini juga aku mencoba untuk membenci mu”, batin Gio.

***






















“ Saat ini izinkan aku untuk berkata bahwa kau hanyalah sebuah manifestasi dari  mimpi yang hanya bisa ku kagumi tanpa henti”










 “CINTA YANG TUMBUH DIAM-DIAM”

***
“Entah kenapa dan mulai kapan kita jadi sering nongkrong bareng. Perkumpulan kita menjadi seperti keluarga, tetapi kau dan aku tetap saja tak saling menyapa, rasanya seperti kau menghardik hatiku dalam keramaian”
***

“Gi, hati-hati, kalau kau membencinya, nanti hatimu bisa saja berbalik mencintainya,” kata Aji sambil memukul pundak Gio. Aji adalah salah satu teman Gio di kampus.
“Apa mungkin dengan membenci bisa jadi mencintai Ji?”
“Tak ada yang tak mungkin Gi.. Witing tresno jalaran soko kulino (Cinta datang karena terbiasa) kan. Akhir-akhir ini sering sekelas juga.” jelas Aji.
“Iya juga Ji, tapi enggak tau sih.. Ya sudahlah”, ujar Gio lirih.
Malam itu Nayla, Gio dan teman-teman berkumpul di rumah kontrakan Gio. Disana Gio berkumpul bersama teman-teman, tetapi tak ada sedikitpun perbincangan antara Gio dan Nayla, yang ada hanya saling menatap dengan mata yang kosong dan hampa. Hari demi hari Gio dan Nayla lalui bersama teman-teman, Nayla tetap saja angkuh, dingin dan tak berkata sedikitpun kepada Gio.  ‘Apa mungkin karena percakapan kami waktu di perpustakaan itu?’ pikir Gio.
Tetapi semakin Gio pikir, Gio semakin bingung dan tak tau apa yang harus Gio lakukan karena logika ini semakin mempengaruhi hati Gio bahwa ini bukan sekedar euforia sesaat. Ini adalah wujud dari rasa cinta. 
“Termakanlah aku oleh omonganku sendiri saat itu, sekarang kurasa aku mulai mencintainya”batin Gio.
Tanggal 4 November  adalah hari ulang tahun Gio, Gio sudah mempersiapkan diri untuk berangkat menuju Gunung Merapi yang berada di Jawa Tengah. Gio ingin menjauh sejenak dari dunia yang penuh dengan kekerasaan, kebisingan serta diskriminasi ini dan memikirkan tentang perasaan aneh yang mulai menguasai Gio.
Semua barang-barang sudah dikemas, kemudian Gio berangkat ke Gunung Merapi ditemani dua orang teman, Tria dan Oloi. Indahnya Gunung Merapi di malam ulang tahun Gio itu membuat Gio terhanyut. Suasana hati Gio menyatu kepada alam, membuat Gio tenang dan bersahaja akan dunia. Mata Gio terus terjaga menunggu hingga jam 12 malam dimana umurnya akan bertambah tua.  Gio termenung di atas gunung dan tiba-tiba terpikir, ‘
Apakah mungkin kau sedikit menyukaiku’ Gio bertanya kepada hatinya.
“Aku tidak pernah menunggu akan bertemu denganmu, bahkan aku tidak pernah percaya akan bisa berbicara denganmu. Mungkinkah aku ditakdirkan untuk menjadi pemujamu saja atau mungkin untuk menjadi seseorang yang pantas untuk bersanding denganmu” Pikir Gio.
Hingga Gio tak sadar bahwa sudah jam 12 malam, Tria berteriak dari jauh.
“Happy birthday to you my brother!!!” Tria datang sambil menyiramkan air ke kapala Gio. Selesai seru-seruan sesaat merayakan euforia ulang tahun, Gio langsung mengajak Tria dan Oloi untuk berbicara.
“Tria, apakah pantas orang sepertiku mencintai seseorang?” Gio memulai obrolan
“Menurutku yah Gi, tak ada yang tak pantas jika kau mencintai seseorang yang benar-benar kau cintai. Ya kan Pak Oloi?” kata Tria sambil melemparkan bebatuan.
“Bener Gio..” jawab  Oloi
“Tapi entah kenapa aku tak pernah merasa pantas untuknya. Dia bahkan memandangku dengan tatapan seolah melihat gembel. lanjut Gio”
“Coba kamu berpikir dengan tenang Gi, kalau memang kamu suka dan sayang sama dia, kejar terus dan jangan ada rasa ragu sedikitpun,” kata Oloi memukul kepala Gio.
Pagi pun datang, angin dan hujan bergerak secara sporadis menggugurkan daun-daun yang mengering, seperti hati Gio yang kian dilema. Gio bergegas untuk bangun dari tidurnya tetapi tibatiba bayangan Nayla muncul, sungguh membuat Gio gelisah dan tak tentu arah. Untuk pertama kalinya Gio menuliskan nama Nayla dan teman-teman di selembar kertas.
“Gi.. Kamu nulis apa?” tanya Tria.
“Nama teman-temanku doang kok Tri” elak Gio.
“Kok ada nama dia?” Tria tertawa terbahak.
“Yaaah.. Sekalian kali yah biar penuh kertasnya,” kata Gio tersenyum malu.
Tiba waktunya Gio harus turun dan pulang ke Kota Yogyakarta. Di perjalanan Gio selalu memikirkan Nayla, merobek-robek kesehatan tubuh Gio, dan disini Gio belum mendapatkan sebuah jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya.
“Apa yang harus aku lakukan dan pantaskah aku untuk bersanding denganmu”, lagi lagi Gio bertanya pada dirinya sendiri. 
Sesampainya di basecamp Merapi, Gio langsung bergegas pulang, karena keesokan harinya Gio harus kuliah pagi. Motor Gio melaju kencang agar bisa sampai di Yogyakarta dengan cepat. Pukul 21.00 WIB Gio sampai di rumah dan langsung menyalakan komputernya untuk memindahkan semua foto yang diambil ketika mendaki. Kemudian Gio teringat pada kertas yang ditulis di gunung tadi. Segera Gio foto kertas itu untuk dikirim pada teman-teman. Pada saat gio akan mengirimkan foto ke grup chat, Gio melihat dari obrolan Teman-teman di group, bahwa mereka sedang pergi ke tempat wisata yang ada di Yogyakarta. Sungguh miris hati Gio melihatnya. Kenapa dia tidak ikut teman-teman sekelas saja? Siapa tau Nayla juga ikut? Tetapi berangkat ke Gunung Merapi itu sudah menjadi pilihan Gio. Gio memutuskan untuk menutup mata dan beristirahat.
Pagi yang indah menemani Gio. Hari ini Gio awali langkahnya dengan harapan yang baru. Di kampus Gio bertemu dengan teman-teman dan mereka memberikan ucapan selamat ulang tahun Gio, kecuali Nayla. Semakin terheran-heran Gio melihat Nayla seperti itu, 
“Seangkuh itukah dirimu dan sebenci itukah kau padaku?” pikir Gio.
Hingga malam tiba pada saat di rumah Gio, datang beberapa orang sahabat Gio memberikan kue ulang tahun. Gio berfoto dan memotong kue, namun Nayla hanya melihat Gio dari kejauhan saja dan tak ikut dalam kegembiraan itu. Sungguh aneh Nayla melihat Gio saat itu. Gio mencoba untuk mencairkan suasana dengan cara mencolekkan kue ulang tahun Gio ke pipi Nayla. Entah dapat keberanian darimana ketika melakukan itu. Seketika Nayla ingin balas melemparkan kue itu ke wajah Gio. Sungguh tak disangka malam itu menjadi langkah pertama Gio untuk bisa menggapai Nayla.











“ Berjuanglah hingga akhir, walau ketika itu dia tak merasakan bahwa itu adalah sebuah perjuangan darimu”









 “BAHAGIA TAK KUSANGKA”

***
“Memang benar pertemuan kita sangat sederhana, tanpa diawali sesuatu yang sempurna. Hati ini berkata saatnya aku berjuang untukmu, saat melihatmu saja hatiku sudah tenang. Sebenarnya tidak masuk logika, ketika hanya dengan memandangmu saja, aku bisa setenang itu. Mungkin ini yang biasa disebut cinta, dimana aku tidak mempedulikan orang di sekitarku. Terkesan arogan dan bodoh memang, hanya ingin berkenalan denganmu saja, aku sampai bersikap egois seperti itu. Seharusnya aku sadar dengan semua itu”  
***

Gio dan Nayla tidak pernah berkomunikasi sekalipun. Namun Gio selalu ingin mencoba untuk mengetahui kisah hidup Nayla lebih dalam. Layaknya hujan yang selalu ingin tau apa sudah setiap permukaan bumi dia jelajahi.
Tiba-tiba timbul keberanian dalam hati untuk mencari tahu tentang Nayla. Malam itu Gio mencoba untuk memberanikan diri menghubungi Nayla. Saat itu Gio tahu dari teman-teman bahwa Nayla sedang mendapatkan sebuah masalah. Gio datang seperti malaikat tak bersayap. Dengan keberanian dan percaya diri, Gio menawarkan sebuah pertolongan dan saran kepada Nayla. 
“Naaaaah akhirnya kau akan menceritakan masalahmu kepadaku” ujar Gio kegirangan. Merasa ada celah. Bagi Gio, tidak ada rasa beban sama sekali untuk mendengar cerita Nayla. 
Mimpi Gio memang terlalu tinggi untuk bisa bersama Nayla. Namun Tuhan mendengar dan menjawab mimpi Gio. Malam itu Gio bisa dekat dengan Nayla walau hanya lewat telpon. Entahlah, keajaiban apa yang terjadi malam itu.
Tuuuutt...tutttt...
“Hallo Nay...”
“Iya gi..”
“Sekarang lagi ngapain nih? Aku ganggu kamu enggak?” ujar Gio
“Sedang tiduran, tidak Gi, tumben banget nelpon.”
“Enggk papa cuma pengen nyapa kamu. Kamu kenapa kok kemaren pas lihat wajahmu di kampus murung sih, enggak seperti biasanya, sedang ada masalah?”
“Iya akhir-akhir ini aku memikirkan orang tua nih Gi. Aku kangen mereka Gi.”
“Coba kamu matikan lampu kamarmu deh, Nay. Dan lihat saja pasti ruangan itu akan terang lagi walau kamu hanya punya cahaya sekecil apapun, mereka pasti akan baik-baik saja di sana.”
“Amin... Semoga mereka disana selau dilindungi oleh Allah” “Amin...”
Tiba-tiba Gio teringat ketika menyolek wajah Nayla dengan kue, namun saat itu Gio tak berani berbicara dengan Nayla. 
“Aaaaah sudahlah” pikir Gio, malam itu Gio bertanya-tanya mengapa Gio berani melakukan itu.
Gio tersipu malu dan masih tidak mempercayai itu. Bahkan saat itu beberapa kali Gio mencubit kulit pipinya. Gio pikir ini selama ini hanya sebuah mimpi dan khayalannya saja bisa menyentuh Nayla. Gio senang sekali saat itu, tetapi itu tidak cukup. Akhirnya Gio mencoba untuk berani mengajak Nayla mengerjakan tugas berdua, 
“Mau enggak ngerjain tugas bareng?” tanya Gio lewat pesan. Gio menunggu jawaban dari Nayla, hati Gio berdebar kencang dan takut saat mengatakan itu. 
“Ayo kita keluar dan ngerjain tugas bareng” jawab Nayla. Gio sedikit terkejut dan tak menyangka saat melihat pesan dari Nayla yang responnya sangat baik, membuat otak dan hati Gio dipenuhi bunga-bunga tanpa memikirkan apapun.
Tanpa menunggu lagi Gio bergegas mempersiapkan diri untuk keluar bersama Nayla. Gio melangkahkan kaki dari kamar dan menjemput Nayla, sambil tertawa dan memikirkan apa yang akan dibicarakan pada saat di jalan bersama Nayla nanti? Apa yang akan dilakukan? Gio bingung dan terus memikirkan itu sepanjang jalan seakan-akan darah Gio tak mengalir ke seluruh tubuh. Gio teringat perkataan Aji sebelum Gio berangkat.
“Sudah, ajak bicara yang santai-santai dulu,” ujar Aji. 
Gio tersenyum sendiri dengan wajah tersipu malu, akhirnya Gio bisa keluar bersama Nayla. Saat itu Gio tahu, bahwa Nayla sedang didekati oleh banyak lelaki yang lebih baik dan lebih kaya dari Gio. Namun semangat Gio seperti senjata yang selalu mengeluarkan pelurunya, untuk terus dan terus mencoba agar bisa dekat dengan Nayla. Seakan tak mau kalah dengan yang lainnya.
Di depan rumah Nayla, Gio langsung menghubungi Nayla, Nayla keluar dengan membawa tas kecilnya dan berjalan sambil tertunduk malu. Disaat itu juga, Gio berjumpa dengan seorang wanita tua. Gio malu dan takut. Namun apa boleh buat, Gio sudah terlanjur berdiri di hadapan Nayla dan harus bertemu langsung dengan wanita tua yang ternyata neneknya Nayla itu. Seolah-olah keadaan meminta Gio untuk izin terlebih dahulu padanya. Tanpa membuang waktu Gio dan Nayla berpamitan dan bergegas pergi.
Malam itu hujan, rintik-rintik syahdu dan aspal yang panas akan terik matahari siang tadi mengeluarkan aroma yang menusuk rongga-rongga penciuman. Gerimis ini mengawali langkah Gio untuk keluar bersama Nayla. Selama perjalanan Gio bingung ingin mengajak Nayla kemana. Gio mencoba berfikir mungkin akan lebih baik jika dia mengajak Nayla makan terlebih dulu. Akhirnya Gio dan Nayla berhenti di sebuah warung makan. Makanan di sini menurut Gio sangat pas untuk Nayla, hanya menurut Gio saja, entah seperti apa pendapat Nayla, Gio tak peduli. Sembari menunggu pesanan makan tiba, Nayla mengeluarkan buku pelajarannya, Gio hanya bisa memperhatikan Nayla, entah apa yang akan Gio lakukan.
Mungkin untuk membahas  pelajaran, tetapi hanya sedikit. Pada saat membahas tentang pelajaran, terlihat Nayla tak begitu fokus. Dan pada akhirnya Gio dan Nayla lebih membahas tentang satu sama lain. Ya, itulah yang terjadi. Gio dan Nayla sambil tertawa seakan gerimis bukan menjadi sebuah masalah untuk malam ini. Gio rasa keadaan ini membuat Nayla tidak terlalu fokus dengan tugas. Gio dan Nayla lebih fokus dan intens dalam membicarakan hal-hal kecil sambil tertawa. 
“Tapi apakah Nayla nyaman dengan apa yang kita perbincangkan saat ini?” benak Gio. Gio tidak tahu apakah nyaman atau tidak yang Gio tahu cuma bagaimana caranya Gio bisa membuat Nayla tertawa dan bahagia saat bersama dengan Gio.
Selesai makan Gio bingung akan pergi kemana selanjutnya. Tibatiba terpikir oleh Gio tentang sesuatu hal yang dingin yaitu es krim. “Bagaimana setelah ini kita mencari es krim?” kata Gio. 
Gio siapkan motor dan pergi sembari berkeliling Kota Yogyakarta, jalan mereka pun terhenti karena hujan yang sangat lebat. Terpaksa Gio hentikan laju motornya. Kemudian Gio dan Nayla  memilih untuk berteduh di sebuah supermarket. Situasi dan kondisi tersebut menggagalkan rencana Gio dan Nayla untuk pergi ke kafe untuk membeli es krim. Gio pun masuk ke dalam supermarket tersebut, berharap bisa mendapatkan es krim untuk Nayla agar Nayla tidak kecewa. Setidaknya tetap dapat menikmati es krim meskipun hanya di supermarket.
“Ini es krimmu, Nayla.”
“Terima kasih, baik banget sih Gio.”
“Bagaimana menurutmu malam ini? Apakah kau senang? Maaf aku cuma bisa beli es krim di supermarket saja.” ungkap Gio dengan tulus.
“Tidak apa-apa Gio. Tapi apa tidak aneh kita berdua menikmati es krim di saat hujan seperti ini hahaha..”
“Yah mungkin sedikit aneh sih, tapi yah kita nikmati aja malam ini,” kata Gio sambil tersenyum malu.
 Setelah itu, Gio dan Nayla duduk di depan supermarket tersebut, Nayla tertawa karena candaan Gio. Saat itu Nayla menceritakan sedikit tentangnya dan Gio menceritakannya juga. Gio dan Nayla berbagi pendapat dan sharing satu sama lain untuk menambah pengalaman pada diri masing-masing.
Hujan tak kunjung reda dan Gio hanya mempunyai satu jas hujan dan tidak mungkin di bagi dua. Akhirnya timbul rasa tanggungjawab pada diri Gi untuk selalu melindungi Nayla bahkan dari hujan sekalipun. Gio minta Nayla untuk mengenakan jas hujan satu-satunya yang Gio bawa untuk melindungi Nayla dari derasnya hujan.
“Nay hujan loh ini, kamu sekarang harus pake mantel ini agar tidak kebasahaan ya” pinta Gio.
“Tapi... Kamu cuma ada satu mantel Gi?”
“Ya tidak apa-apa yang terpenting kamu tidak kehujanan dulu.” “Ya sudah Gi, tapi... Bagaimana kalau kita sama-sama tidak menggunakan mantel saja” “Sama-sama?” Gio berpikir.
“Tapi enggk baik buat kesehatan tubuhmu Nay, dengerin kali ini dan kamu harus pakek mantel ini ya.” lanjut Gio.
“Ya sudaah Gi”
Sesampai di rumah Nayla, perasaan senang menghujani Gio karena malam ini Gio bisa pergi bersama Nayla. Saat Gio pamit, Gio seperti tidak ingin mengakhiri malam ini karena masih banyak yang ingin Gio tunjukan kepada Nayla tentang istimewanya Jogja, tentang Gio bahkan tentang dunia ini. Namun Nayla harus beristirahat agar tidak sakit, karena Nayla baru saja melewati hujan yang sangat lebat.
“Nayla aku pulang dulu yah, dan selamat istirahat untukmu malam ini dan jangan lupa dibasuh badanmu karena tadi habis hujanhujanan” ujar Gio.
“Iya Gio, terima kasih ya”
“Ya Nayla, aku pamit pulang dulu, sampai jumpa di kampus.”
“Iya, hati-hati di jalan.”
Perasaan senang dalam hati tak bisa Gio bendung lagi. Sepanjang perjalanan pulang Gio tak bisa menahan senyumnya.
“Mari berjuang hihihi, aku akan berusaha agar bisa membuatmu bahagia dan terus tertawa bersamaku” kata Gio pada dirinya.
Saat menjelang larut malam, Gio hanya bisa memandang langitlangit kamar sambil memikirkan Nayla. “Ini kah nama nya cinta? Aaaaaah aku harus tidur” Gio berbicara sambil senyum-senyum pada dirinya sendiri.
Saat pagi tiba, dengan semangat membara Gio langsung membuka handphone berharap ada nama Nayla dalam notifikasi, dan tak Gio sangka, Gio benar-benar mendapatkan sebuah pesan dari Nayla,  
“Terima kasih atas tadi malam” kata Nayla.
Gio sangat senang, “Oohhh.. Akhirnya memang benar, kemungkinan untuk bisa dekat denganmu, inilah yang Gio harapkan” ujar Gio dalam hati. Semangat sekali Gio pagi ini menjalani perkuliahan. Siang hari Gio lagi- lagi bertemu dengan Nayla tanpa sengaja, dan saling menyapa menundukan kepala sambil tersipu malu,
“Hai.. Nay” ujar Gio dan Nayla membalas dengan semangat. Sikap Nayla memotivasi Gio untuk lebih berani mendekatinya. Gio beranikan dirinya sekali lagi untuk mengajak Nayla sekedar makan siang bersama, dan sekali lagi pula Gio mendengar kata “ iya ” dari Nayla. Siang itu Gio dan Nayla memilih makan di tempat yang semua makanannya bertema pedas, ini kedua kalinya Gio keluar bersama Nayla. Hari ini tak ada kata sedih karena hari ini adalah hari yang akan selalu Gio ingat, dimana Gio dan Nayla semakin dekat.









“Jika kau ingin melangkah, langkahkanlah kakimu, aku akan menjadi bumimu agar kau bisa terus bahagia tanpa memikirkan masalah yang ada”











 “JANGAN KAU MENJADIKAN AKU DAUN
GUGUR”

***
“Sinar mentari memerah dan membakar langit dengan sendirinya menghancurkan keindahan yang membuatku resah dalam dilema”.
***

Gio dan Nayla berkomunikasi semakin intens, setelah kejadian mengerjakan tugas bareng itu Gio memberanikan diri untuk menelpon Nayla lagi dan lagi. Komunikasi Gio dan Nayla semakin lancar, seakan-akan tidak ada batasan untuk Gio dan Nayla bercerita satu sama lain, dan seakan dunia hanya milik mereka berdua tanpa mempedulikan hal-hal di sekitar. Gio dan Nayla seperti sepasang kekasih, saling mengetahui aktivitas satu sama lain. Rentang waktu ini membuat Gio selalu berpikir apa mungkin ini bisa menjadi sebuah cerita cinta. 
“Apa ini hanya angan yang akan hilang ditiup angin atau ini benarbenar suara hati yang tumbuh secara diam-diam dan mekar di seluruh hati dan jiwa”, pikir Gio.
Malam datang dan angin bertiup kencang dari jendela kamar Gio, menusuk Gio secara perlahan tapi pasti, tak ada cahaya di ruangan itu. Mata Gio terbuka, hati Gio terketuk dan Gio harus mencari apa maksud dari ketukan tersebut. Gio mencoba melangkahkan kaki berpikir, “Ya sudahlah mungkin aku butuh ke suatu tempat,’ pikir Gio. Terpikir oleh Gio menuju ke tempat favorit Gio yang tak jauh dari Kota Yogyakarta, tempat yang selalu Gio tuju saat Gio bersama ibunya. Pada malam itu Gio berangkat bersama Wati. Sesampainya disana Gio merenung dan memikirkan Nayla dan bertanya ‘apa ini hanya sekedar euforia saja yang akan hilang dengan sendirinya atau ini benar-benar rasa cinta untuknya? ’ batin Gio sambil mengelus dada. Padahal saat itu Gio juga mengetahui bahwa ada beberapa teman gio yang juga menyukai Nayla, tetapi Nayla lebih dekat dengan Gio.
Seketika angin bertiup kencang dan angin membisikan nama Nayla disela-sela telinga Gio. “Serasa aneh dan tak masuk akal jika aku terus maju” pikir Gio. Namun hatinya selalu memaksa Gio untuk maju dan maju, sehingga Nayla bisa menjadi milik Gio.
“Jika aku memang mencintainya, aku harus terus berjuang karena dialah bahagiaku” Hati Gio meyakinkan. Suasana menjadi dingin dan sunyi sekali, sang Merapi dan sang Merbabu mengintip dari sela-sela embun malam itu.
Dan akhirnya Gio memutuskan suatu jawaban tentang sebuah arti cinta. Tingkah Gio tak dapat menutupi kelegaan hati ini. Tak terbendung senyuman yang keluar secara tiba-tiba dari bibir Gio membuat Wati melihat dengan aneh. 
“Kenapa kamu tersenyum sendiri, Gi?” tanya Wati
“Aku hanya bahagia akhirnya aku bisa menemukan jawaban di sini. Aku sangat senang malam ini, tak bisa kuungkapkan dengan katakata, Wati.” Jawab Gio jujur.
“Emang jawaban seperti apa yang kau dapatkan, Gi?” Wati penasaran. Sejak tadi dilihatnya Gio seperti ada di dunianya sendiri.
“Ini semua bukan tentang maju ataupun mundur Wati. Tapi ini semua adalah tentang bagaimana perjuangan seorang laki-laki yang ingin membahagiakan orang yang dia cintai.” Jelas Gio meyakinkan.
“Gio..Gio.. terlau bijak kau malam ini.” Sambut Wati, tanpa tahu maksud yang Gio bicarakan.
“Hahahah mungkin ini hikmah jalan-jalan enggak jelas kita malam ini.” Ucap Gio masih membuat Wati penuh tanda tanya.
“Hati ini sudah menjadi seperti mortir yang bisa membombardir sebuah gedung”. 
Tapi tiba-tiba timbul sebuah pertanyaan baru dalam benak Gio. Gio mencoba untuk berpikir lebih dalam mengenai kegelisahan ini, yaitu tentang keluarga. Ini menjadi salah satu alasan besar kenapa Gio susah untuk bisa maju agar bisa mendekati Nayla. Selain tentang siapa aku? pantaskah aku? Dan salah satunya lagi adalah keluarga. Keluarga Gio yang hancur serta Gio memiliki adik yang menderita downsyndrome. 
“Apakah dia mampu dan mau menerima itu semua?” Gio membatin. Alasan itu yang membuat Gio semakin takut untuk mencintai seseorang. Gio mengalami kekerasan dalam keluarga semasa kecil. Imbas dari seorang ayah yang selalu ingin menang sendiri dan ibu dengan ego yang tinggi. Kejadian memilukan yang Gio saksikan sendiri ketika Gio masih kecil. Mata polos dan hati yang bersih dari seorang balita yang polos saat itu ternodai oleh kekerasan seorang ayah. Gio juga takut akan menjadi seperti ayahnya, tapi Gio yakin, Gio telah mendapatkan pelajaran yang cukup tentang itu. Kepala Gio penuh dengan pikiran-pikiran itu sampai Gio dan Wati memutuskan pergi dari tempat mereka dan pulang ke rumah masing-masing.
Ketika Gio sampai di rumah, Gio terduduk di kursi biru di depan ruang tamu. Pada malam itu Aji, Agung, dan Mir ada di rumah kontrakan, termasuk Nayla untuk mengerjakan tugas bersama. Gio terus berpikir dan berpikir tanpa henti dan semakin yakin ketika melihat senyuman Nayla. Akhirnya Gio memutuskan untuk berdiri dan mencari kaca sambil bertanya kepada dirinya sendiri.
“Rasa ini bukan hanya sebuah euforia sesaat yang akan timbul dan hilang dengan sekejap mata.” Gio meyakini hati.
Kenapa pertanyaan itu muncul lagi padahal Gio sudah mendapatkan jawaban itu? Gio melihat Nayla melirik kepada Gio dan Gio yakin Nayla sendiri pun pasti sedang bertanya-tanya.
“Apa yang sedang ku lakukan?” batin Gio..
Seketika Gio langsung duduk kembali di kursi biru bersama Aji, Aji bertanya.
“Kapan kamu akan menyatakan bahwa kamu jatuh cinta kepadanya
Gi?” ujar Aji
“Aku enggak tau kapan akan mengatakan itu. Apa dia tau tentang perasaanku Ji ?” jawab Gio padanya.
“Dia tau apa yang kamu rasakan, dia juga pernah bercerita kepadaku bahwa kamu sudah dekat dengannya dan dia menunggumu untuk berani mengatakan itu,” Aji membuka rahasianya.
“Apakah benar yang dikatakan oleh Aji? Kalau memang benar takkan ada lagi kata ragu di dalam hatiku dan tak akan  lagi memikirkan hal-hal yang selalu membuatku ragu” pikir Gio sambil menghela nafas.
Malam itu Gio semakin yakin akan mengatakan perasaannya pada Nayla, tapi Gio butuh sedikit keyakinan lagi untuk melakukan itu, hanya sedikit. Gio berharap akan mendapatkan keyakinan dan keberanian untuk mengatakan itu semua.
Akhir-akhir ini Gio selalu merasakan bayang Nayla hadir di setiap langkah Gio. Semua orang memberi tahu Gio untuk mengatakan kepada Nayla secepat mungkin, “bahwa aku mencintaimu”. Gio ingin mengajak Nayla untuk masuk ke dalam dunianya serta merasakan apa yang Gio rasa terhadap Nayla. Gio bingung saat itu, Gio harus melakukannya dengan cara seperti apa. Tanpa kata, Gio duduk di ruang tamu untuk luangkan semua imajinasinya memikirkan cara untuk bisa mengatakan semua yang berkecamuk dalam dada. Hati Gio telah menjadi biru karena memendam perasaan ini, dan tak ada sedikitpun yang Nayla tau tentang perasaan tersebut.
Malam semakin larut, dan Gio masih berdiam diri diruang tamu. “Kurasa aku perlu teman bicara”, pikir Gio. Segera beranjak dari duduk, Gio pergi menemui Aji.
“Aku pengen ngomong nek aku sayang karo de’e (aku ingin berbicara kalau aku sayang sama dia)” ujar Gio pada Ji.
“Oh.. kok podo aku ya pengen ngomong karo gebetanku (kok sama, aku juga ingin berbicara ke gebetanku), ya wis nek tenan
serius ungkapke wae (ya udah kalau serius ungkapin aja)” kata Aji.
Akhirnya Gio dan Ji selesai membuat skenario cara untuk mengungkapkan perasaannya masing-masing. Gio gembira karena sebentar lagi Gio akan menyatakan perasaan yang telah sekian lama dipendam dan gelisah mengenai rencana yang akan Gio lakukan besok dan perasaan Nayla terhadap Gio. 

***















“Jangan pernah berhenti untuk membuat orang yang kamu sayang tersenyum dan bahagia bersamamu, walau cobaan terus datang silih berganti”










 “AKU, KAU DAN DIENG”

***
“Sekarang Nayla sudah menjadi milik Gio, dan Gio adalah milik Nayla juga. Gio selalu ingin membuat momen spesial bersama Nayla. Kali ini Gio dan Nayla memutuskan untuk traveling ke Dieng untuk menikmati malam yang indah”.
***

Kesempatan untuk selalu bersama Nayla tak pernah Gio sia-siakan sedetikpun. Kini Dataran Tinggi Dieng-lah yang menjadi tujuan dari perjalanan mereka, bersama Aji, Agung, Mir, dan Mima. Kawankawan Gio di kampus. Dengan sedikit persiapan mereka berangkat tanpa ragu. Cuaca yang sangat dingin membuat Gio dan Agung, Aji, Mir, Mima, dan Nayla berhenti beberapa kali untuk sekedar menikmati bakso yang lezat, cocok untuk disantap pada saat cuaca Dieng yang dingin. Gio menyantap bakso yang panas itu sembari sesekali melihat wajah cantik Nayla. Saat melihat Nayla tidak menggunakan jaket, Gio langsung melepaskan jaketnya dan di memberikan kepada Nayla.
“Kamu kok enggak pakek jaket sih, Nayla?” 
“Jaketku ketinggalan di dalam mobil Gi..brrr...” Nayla mengigil. “Kamu pakai jaketku aja yah, biar enggk kedinginan, Nayla.”
“Terus kamu pakai apa Gi, nanti malah kamu yang kedinginan tau?”
“Aku mah aman saja Nayla, coba aja tanya si Aji.”
“Bener tuh Gio mah laki-laki strong Nayla” Ujar Aji membenarkan.
Gio tidak  ingin melihat Nayla kedinginan bahkan hingga sakit, dan kalau itupun terjadi, Gio pasti menyalahkan dirinya. Angin malam ini menusuk rongga-rongga dada Gio secara perlahan. Setelah menikmati bakso mereka memutuskan untuk pergi ke losmen yang sudah mereka pesan. 
Pagi pun tiba, terdengar suara burung berkicau merdu di balik jendela losmen. Entah mengapa Gio merasa badannya tidak enak sekali, bahkan Gio berkali-kali memuntahkan semua makanan yang ada di perutnya. Gio menggigil dan tidak tau apa penyebabnya. Inilah akibat jika sok-sok kuat di cuaca Dieng yang dingin dan berangin. Masuk angin tingkat tinggi. Walaupun itu demi terlihat kuat di depan Nayla, atau demi cinta sekalipun, cuaca Dieng tidak kenal kompromi. Tidak pakai jaket, harus diganjar dengan masuk angin. Dan Gio jadi korban kesekian.
Gio putuskan untuk menutup matanya lagi, melanjutkan tidurnya, berharap bisa mengurangi rasa sakit. Tak lama kemudian Gio merasakan ada seseorang masuk ke kamarnya dan tangan yang lembut itu menyentuh kening Gio. Ketika Gio membuka mata, ternyata Nayla yang sedang menyentuh kening Gio.
“Kamu kenapa Gi kok badanmu panas banget sih?” sambil memegang jidat Gio dan menggenggam tangan Gio.
“Aku enggak apa-apa Nayla mungkin kecapekan aja, mungkin cuma butuh istirahat aja Nayla” kata Gio sambil menutupkan mata kembali. 
Nayla pergi dari hadapan Gio untuk mengambil air dingin, lalu mengkompres kepala Gio. Beberapa jam kemudian badan Gio terasa baikan, Gio tak paham kenapa bisa begini, Gio mengira mungkin ini kekuatan cinta karena Gio tak ingin melihat Nayla tak dapat menikmati hari-harinya di Dieng.
Gio langsung mengemas beberapa barang dan langsung pergi menuju ke wisata yang ada di kawasan Dieng dengan keadaan tubuh yang sedikit membaik. 
Salah satu destinasi yang mereka kunjungi yaitu Candi Arjuna. Gio tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, Gio dan Nayla langsung mengabadikan momen bersama. Seakan-akan Gio dan Nayla adalah sepasang kekasih yang sedang bercinta di atas awan. Ibaratnya Gio adalah Arjuna, dan Nayla adalah Dropadi, dan mereka berdua sedang memadu kisah cinta yang sedang manismanisnya di Negeri Diatas Awan itu.

***

Siang hari Gio dan Nayla  pulang ke Yogyakarta, Gio dan Nayla duduk di kursi paling belakang. Pada saat itu Gio kelelahan, Gio tertidur dengan pulas. Saat Gio membuka matanya, Gio terkejut mendapati kepala Gio berada dipangkuan Nayla, mengingat saat Gio tertidur kepala Gio menempel ke kaca mobil bukan di pangkuan Nayla. “Rasanya seperti aku sedang berbaring di pangkuan ibu” gumam Gio dalam hati. Gio menutup matanya kembali karena Gio merasakan Nayla sedang mengelus kepala Gio. 
Gio terbangun saat Mir di dalam mobil berteriak sangat keras, membuat Gio kaget. “Senang rasanya bisa berbaring di pangkuanmu”, batin Gio lagi. Gio ingin terus merasakan kenyamanan berbaring di pangkuan Nayla, tetapi Gio tidak enak karena mungkin kepalanya membuat paha Nayla menjadi sakit. Gio langsung duduk dan melihat wajah Nayla yang tertidur pulas di samping Gio dengan kepala yang menempel ke kaca. Gantian, Nayla yang tertidur pulas sehabis mengelus kepala Gio. Mungkin Nayla juga kelelahan. Gio melipat kakinya dan membenarkan letak kepala Nayla dengan lembut dan meletakannya di pangkuan Gio.
Gio sangat senang. Orang yang dia sayang tertidur di pangkuannya. Nayla terlihat seperti bidadari yang dikirimkan Tuhan. Wajah Nayla memancarkan cahaya membuat Gio merasa tenang.
Sampai di Kota Jogja, Gio dan Nayla turun di depan rumah kontrakan Gio, Nayla bergegas pulang  dan berpamitan. Mereka berpisah sesaat pada malam itu. Gio berharap kisah hari ini akan berlanjut dalam mimpinya.










“Perpisahan tidak tau kapan akan datang, dan kita dipaksa untuk bisa menerima itu semua walau nestapa menemani setiap langkah”









 “DUNIAMU, DUNIAKU MENJADI SATU”

***
Hari demi hari gio lalui bersama, membagi kasih dan memadu kasih dan rasa sayang bersama. Kau dan aku menjadi satu, dikala aku sedang terjatuh, engkau selalu ada untukku. Engkau semangatku, engkau kekuatanku dan engkau anugerah terindah yang pernah aku miliki. Cobaan demi cobaan terus datang, tapi kita selalu hadapi bersama dengan sekuat tenaga untuk menahan itu semua” .
***

Suatu ketika Daddy datang ke Yogyakarta. Gio memperkenalkan Nayla pada Daddy, orang tua Gio. 
“Daddy ini dia Nayla.” Gio memperkenalkan dengan bangga
“Wah.. ini Nayla yang sering Gio ceritakan ke Daddy ya?” kata Daddy .
“Iya Dad, yang Gio pernah bilang ke Daddy, dia pacar Gio” ujar Gio dengan senyum
“Iya Om saya Nayla, salam kenal yah om” jawab Nayla tersipu malu. “Iya Nayla, jagain Gio yah, dia dulu dari kecil sampe sekarang masih saja nakal enggak ngerti juga ngikutin sifat siapa.” Daddy sambil tertawa kecil.
“Tentu saja om, sudah tugas Nayla itu mah. Kalau dia enggak kuliah nanti telinganya biar Nayla jewer Om,” canda Nayla sambil memandang ke Gio. Ada butir-butir cinta disetiap pandangannya.
Sebuah kebanggaan bagi Gio bisa mengenalkan Nayla pada orang tua Gio. Gio senang, Gio bangga, dan Gio bahagia, bahwa secara tidak langsung Daddy setuju dengan apa yang sudah Gio pilih.
Saat Gio memandang Nayla, tiba-tiba pandangan Gio menjadi samar  melihat Nayla yang sedang berbicara bersama Daddy. Nayla seperti melihat sesuatu yang entah apa, yang datang dari entah alam bawah sadarnya, entah dari masa lalu, ataukah masa depan.
“Apa yang terjadi?” batin Gio, Muncul perasaan takut dari Gio.
 “Seakan Nayla akan meninggalkanku, padahal keadaan sekaranglah yang membuatku sangat mencintainya” ujar Gio. Apa ini perasaan takut kehilangan dari setiap orang yang mulai menemukan sesuatu yang mana dia tidak ingin kehilangan hal tersebut? Gio membatin. 
Gio, Nayla, dan Daddy pergi makan siang bersama. Mereka makan di tempat soto favorit Gio tak jauh dari tempat rumah kontrakan. Gio dan Nayla bercanda tawa bersama Daddy, cara Nayla berbicara dengan Daddy membuat Gio semakin yakin bahwa, “aku telah menemukan orang yang tepat”.
Setelah melanjutkan hari bersama-sama, mengelilingi kota Jogja hingga petang dan  pergi menjemput Tio dan Vina yang sedang menikmati senja. Daddy memutuskan untuk makan malam. Makan di resto yang megah membuat Gio kurang nyaman, karena perut Gio tak terbiasa menerima makanan itu semua. Akhirnya Gio hanya bisa mengikuti apa yang diinginkan Daddy. Makan malam diselingi perbincangan yang hangat seperti layaknya sebuah keluarga kecil.
“Gio, Tio, Vina, Nayla mau pesen apa aja nih ?” Daddy melipat lengan kemeja
“Sebentar dad kita pilih dulu menu makananya” Tio menjawab.
“Oh ya dad setelah ini kita mau kemana?” ujar Gio yang gelisah di restoran mewah.
“Coba nanti kita keliling mall untuk mencari kebutuhan kalian di sini yah,” kata Daddy.
“Nayla jadinya pesen apa?” Daddy bertanya
“Pancake aja om sama jus alpukat” Nayla menjawab.
“Terus Vina mau pesen apa?” ujar Daddy
“Vina sama saja om dengan Nayla pancake juga tapi minumnya Cappucino aja om” Vina menjawab
“Ya sudah.. Gio panggilin masnya dan suruh ambil daftar pesenan kita,” Daddy sambil menyentuh pundak Gio
“Ok siap bos!” Gio berdiri sambil menghela nafas
Gio berharap semoga suasana ini akan tetap terjaga dan selalu begini selamanya. “Cuma apakah itu mungkin?” batin Gio. Tetapi kenapa saat Gio memandang Nayla bayangan Nayla terlihat begitu semu. Seperti ada yang aneh. Gio menyerahkan seutuhnya kepada waktu (biarkan waktu yang akan menjawab). Malam indah ini rasanya tak ingin Gio akhiri. 

***

Mata Gio terbuka di pagi hari, Gio akan memulai hari ini bersama Daddy. Gio dan Daddy menunggu kedatangan Nayla ke rumah kontrakan Gio. Mereka akan pergi mengantar Daddy ke acara reuni SMA-nya dan Gio bersama Nayla pergi menuju Candi Ratu Boko untuk menikmati senja bersama. 
Di Candi Ratu Boko Gio dan Nayla berfoto-foto tanpa mempedulikan orang lain, mengabadikan momen-momen mereka bersama. Gio dan Nayla tertawa dengan romantis tanpa melihat suasana di sekitar. Gio sangat senang dan bahagia bisa merasakan itu semua. Akhirnya Gio dan Nayla kembali ke kota untuk menjemput Daddy. Sampai disana Gio dan Nayla langsung menuju sebuah rumah makan bersama Daddy dan kembali berbincang hangat bersama-sama.
Pertemuan Nayla dengan Daddy sangatlah singkat, namun penuh dengan makna yang mungkin akan menjadi awal untuk bisa ke jenjang berikutnya.
“Mungkin itu hanya sebuah harapan semu saja” batin Gio. Menghayal tentang cinta hingga tua mungkin bukan sebuah masalah untuk Gio. Gio tertawa sendiri, bahagia sendiri membayangkan hingga tua bersama Nayla. 
“Hingga nanti putih rambutku” pikir Gio.
Selesai makan Nayla dan Gio pulang karena matahari mulai terbenam. Malam itu Gio dan Daddy bercerita membahas tentang Nayla.
“Gi, pacarmu tidak secantik pacar abangmu, namun hatinya lebih lembut dan Daddy suka dengan tata kramanya, pertahankan jangan sampai seperti Daddy dan Ibumu,” ujar Daddy sambil menghela nafas.
“Ya dad, tapi fisik bukan hal utama dad, Gio nyaman bersama Nayla tanpa ada embel-embel lainnya” ujar Gio yakin.
“Semoga hubunganmu tetap bisa bertahan hingga tua yah nak.” doa Daddy
“Amin.”
Gio kembali diam dan berpikir sendiri, Gio semakin yakin akan pilihannya. Namun setiap Gio menghayal pandangannya selalu membentur kabut. Seakan ada sesuatu di depan sana yang masih terasa kabur, namun Gio selalu mengelak. Itu semua akan baik-baik saja ketika Nayla bisa menerima Ragil—adik Gio--yang memiliki
symptom down syndrome.











“ Mungkin pertemuan ini adalah akhir kau dan aku menjadi kita, memaksaku untuk terus berperasangka buruk pada waktu, kau mengajarkan aku agar mampu melangkah tanpamu, tapi ku tak mampu.”








 “SEJENAK KITA BERPISAH”

***

Tak lama kemudian Gio kembali ke kampung halamannya, di Kuala Tungkal, Jambi. Sangat berat hati Gio untuk meninggalkan Nayla, namun Nayla juga harus kembali ke kampung halamannya. Nayla mengantarkan Gio ke bandara. Gio dan Nayla berbincang sejenak dan disana Gio mengenalkan Nayla kepada Anggun sahabat Gio yang bekerja di bandara Yogyakarta. 
“Hei... Anggun,” sapa Gio ketika melihat temannya.
“Gio.. Kamu pulang? Kok tidak kabar-kabar aku sih?” Anggun membalas antusias
“Waaah maaf Anggun, aku tidak sempat bicara denganmu lewat sms ataupun telpon karna ini benar-benar mendadak,” sambil mengelus jidat.
“Tapi kemarin terakhir kan kamu bilang ke aku tidak pulang?” kata Anggun dengan muka memerah seperti ingin marah.
“Heheheh... maafin aku nggun, kan sudah dibilang ini mendadak harus pulang.” Tangkis Gio.
“Terus perempuan ini siapa Gi?” Anggun melihat ke Nayla sambil bercanda, tapi tanpa curiga apa-apa.
“Ini Nayla, kenalkan dia akan menjadi calon dari anak-anakku nanti hahaha...” canda Gio.
“Wahh, Pede sekali kamu Gi,....Halo Nayla..” sapa Anggun.
“Halo Anggun..” sambil menjabat tangan Anggun
“Sini Gi, Nayla, kita nongkrong dulu di bandara sambil nunggu waktu berangkat.”
“Iya, ide yang bagus tuh Anggun,” jawab Gio.
“Nayla sudah berapa lama jadian sama Gio?” tanya Anggun.
“Wah baru 4 bulan Anggun, yah bisa dibilang baru sih untuk jenjang sebuah hubungan.”
“Kok kamu bisa mau sih sama Gio? Udah hitem, kecil dan dekil hahaha” canda Anggun, sekali lagi.
“Waah ini bukan tentang fisik ataupun tentang materi tapi ini tentang rasa dan cinta, hahaha” balas Nayla.
“Dengar kan Anggun.. sama layaknya puisi Sapardi Djoko Damono, aku ingin mencintaimu dengan sederhana, hahhaha.” Gio menambahkan.
“Yaeelaah Gi, gaya bener ente yaah...” kata Anggun.
“Anggun, pesawatku udah mau berangkat ini.” Gio bergegas
“Ya sudah Gi, sini aku yang urusin semua check-in pesawatnya.”
Anggun pun bergerak ke bagian Chek in, diikuti Gio dan Nayla
“Makasih Anggun..”
“Nay, Gio pamit pulang dulu yah ke Jambi untuk beberapa minggu. Gio pasti bakal kangen banget, jangan nakal di Jogja yah, jaga diri baik-baik dan salam buat keluarga,” sambil memegang erat kedua tangan Nayla.
“Ya, Gi... Besok sampe di Jambi matanya dijaga yah biar enggak kepincut yang lain disana. Kalau disuruh ibu jangan melawan, dan jangan nakal serta jangan pulang malam. Nayla juga bakalan kangen sama Gio,” sembari memeluk tubuh Gio dengan erat. “Gio pamit pulang dulu yah Nayla. Assalamualaikum.”
“Iyaaa Gio. Wa’alaikumsalam,” dengan mata berlinang seakan air Tuhan akan turun dari kelopak mata.
Gio dan Nayla sempat berfoto, selalu ada kenangan pada saat itu, Nayla memeluk Gio dan melepaskan kepergian Gio untuk sesaat, air mata Gio menetes tak bisa dibendung. Padahal hanya beberapa saat Gio harus terpisah dengan Nayla, bukan untuk selamanya.
Sesampai di Jambi Gio disambut oleh keluarganya dengan rasa sayang dan haru. Hari itu juga Gio harus langsung mengabari Nayla bahwa sudah berada di Jambi. Beberapa hari kemudian, Gio terbawa oleh suasana di Jambi, sehingga melupakan kewajibannya mengabari Nayla dan menjadi sebuah masalah antara Gio dan Nayla.
Akhir-ahkir ini Gio sibuk bersama keluarganya. Ketika Gio memiliki waktu luang sebisa mungkin Gio akan menghubungi Nayla, agar bisa tau keadaan satu sama lain. Pada saat itu Gio dan Nayla sedang diuji oleh jarak kota yang berbeda, namun Gio dan Nayla bisa mengatasi itu. Gio rindu dengan Nayla dan Gio sedikit takut akan keadaan Nayla yang jauh dari jangkauannya. Nayla memiliki penyakit yang benar-benar harus dijaga.
Ketika pagi datang sahabat Gio yang bernama Dwi tiba-tiba menjemput dan mengajak Gio berkeliling Kota Jambi. Dwi dulunya pernah menjadi pacar Gio, hubungan Gio berakhir karena Dwi mempermainkan hati Gio dengan cara melakukan perselingkuhan bersama sahabat karib Gio sejak kecil yang bernama Arif. Sejak hubungan tersebut berakhir Dwi selalu saja menunggu kepulangan Gio ke tanah kelahirannya. Berharap semua bisa kembali utuh seperti dulu.
Gio tak tau Dwi akan mengajak kemana dan bermaksud apa, Gio hanya mengikuti langkahnya saja. Karena beberapa hari lagi Gio sudah balik ke jogja, ternyata Dwi mengajak ke suatu tempat yang indah di tepi sungai.
“Kenapa kau mengajakku kesini Dwi? Apa ada yang ingin kau bicarakan denganku?” tanya Gio yang rada curiga, tapi juga penasaran
“Tidak, aku hanya ingin kita menikmati pagi menjelang siang ini Gi. Sudah terlau lama kita tidak bertemu dari saat kau lulus SMP, kau sudah jarang sekai pulang ke kampung halamanmu ini,” ujar Dwi sambil memukul pundak Gio.
“Oalah iyaa Dwi... Aku juga kangen sekali masa-masa kita SMP dulu yang selau ceria tanpa memperdulikan kejamnya dunia, hihihi....” Gio tertawa.
“Oooooh iya Gi, itu siapa yang sering kamu update fotonya di instagram?” Dwi mulai menembak ke inti masalah.
“Oh itu si Nayla namanya, emang kenapa?” jawab Gio sambil menunggu lanjutan pertanyaan dari Dwi berikutnya
“Tidak apa-apa Gi aku hanya ingin tau saja.” Dwi membatasi diri, namun wajajhnya bisa berbohong, dia masih menyimpan banyak rasa ingin tahu.
“Waaaah... Jujur saja sebenarnya ada apa?” pikiran Gio merasa ada yang aneh di wajah Dwi
“Serius tidak ada apa-apa kok Gi, jangan memikirkan yang anehaneh. Aku hanya sekedar bertanya.” Ujar Dwisambil menatap mata Gio.
“Yaa sudah kalau begitu.” Gio menyerah
“Emang istimewanya si Nayla apa sih Gi sampe kamu ‘kayaknya’ sayang banget sama Nayla?” Dwi memulai lagi.
“Bukan ‘kayaknya’, tolong digarisbawahi ya Dwi. Hmm, Keistimewaannya? Menurutku dia selalu spesial di mataku. Apapun yang Nayla lakukan selalu bisa membuatku nyaman tanpa memikirkan masalah dunia. Dia memang tidak cantik tapi itu bukan menjadi tolak ukurku untuk mencintai Nayla. Nayla berbeda dari yang lain Dwi.” Jelas Gio panjang lebar.
“ya...ya... Semoga aja yang kamu bicarakan itu benar.” Ujar Dwi dengan nada menyangsikan. Namun Gio merasa tidak nyaman dengan respon singkat dan hambar dari Dwi.
“Kamu tidak percaya sama aku Dwi? Coba deh untuk sedikit percaya. Apa karena yang dulu? Lagian kan dulu kamu pernah menjadi bagian hidupku, tapi kamu yang berselingkuh di belakangku dan yang mengatakan putus kamu juga kan? Apa masih kurang puas menyakiti aku?” Gio agak emosi, lalu mengungkit masa mereka pacaran dulu.
“Bukan begitu Gi, tak ada sedikitpun aku ingin kembali menyakiti hatimu Aku hanya ingin kau benar-benar mencintainya Gi, bukan sekedar mencintai biasa saja,” kata Dwi sambil menundukkan kepalanya.
“Dwi, aku mencintainya dengan setulus hati, tanpa ada yang cacat sedikitpun dalam hatiku.” tegas Gio.
“Sudah sudah.. enggak usah bahas itu lagi, sekarang lebih baik kita pulang saja” uja Dwi. Dwi tampaknya salah memulai obrolan dan sekarang kehabisan cara untuk menjelaskan ke Gio. Mereka terlanjur sudah saling ungkit dan obrolan jadi tidak sedap.
“Ya sudah ayo kita pulang saja lagian juga tidak terlalu baik kalau kita mengungkit masa lalu.”
Saat menuju jalan pulang Gio tidak berkata apa-apa kepada Dwi. Sesampai di rumah Gio langsung menuju kamar dan berpikir sejenak.
“Apa yang terjadi dengan Dwi?” Gio terdiam sendiri sambil memikirkan hal itu. Gio semakin yakin bahwa ada sesuatu yang ditutupi Dwi dari Gio. 
Sore harinya, teman Gio yang bernama Fitra datang ke rumah, Fitra mengajak Gio untuk melihat senja sambil menikmati kopi. Gio tak akan menolak ajakan Fitra karena dia adalah sahabat Gio sejak SMP yang selalu ada ketika Gio membutuhkan pertolongannya.
“Fit tadi aku keluar sama Dwi loh” pancing Gio.
“Yakin Gi? Emang kalian kemana aja tadi?” Fitra terpancing.
“Aku hanya pergi diajak ke tepian sungai saja menikmati siang hari disana. Namun ada sesuatu yang aneh terjadi dan aku tak mengerti apa yang sedang dia tutupi dari aku,” kata Gio sambil menggaruk kepala dan melihat ke jalanan.
“Sepertinya aku tau Gi. Mungkin Dwi masih suka atau masih mencintaimu karena dulu kalian cukup lama kan pacarannya?” Fitra menduga.
“Iya lama sekali, aku pacaran sama dia 4 tahun. Aku merasakan pahitnya bersama Dwi, Dwi menyakitiku, tapi aku tidak ada dendam sedikitpun kok.” bongkar Gio
“Nah... Bisa jadi gara-gara itu Dwi jadi seperti itu kepadamu, tapi yah itu hanya perkiraanku saja.” Fitra merendahkan suaranya.
“Mungkin saja sih karena terlalu kelihatan gerak-geriknya”, ujar Gio
“Tapi kan gi... bukannnya kamu sudah punya pacar?” Fitra menatap Gio dengan tatapan menyelidik.
“Iya aku memang sudah punya pacar dan aku sayang sekali kepada pacarku ini, jadi enggak mungkin aku jatuh hati lagi kepada Dwi.” Gio menghela nafas sejenak.
“Ya sudah setidaknya kamu tau siapa yang terbaik untukmu, aku sebagai temanmu hanya bisa mendukung apa yang kamu pilih” ujar Fitra bijaksana
Setelah kopi habis, Gio dan Fitra langsung menuju ke rumah untuk melanjutkan perbincangan ini, namun ternyata di rumah Gio ramai sekali. Teman-teman Gio semasa SMP sudah berkumpul di rumah Gio. Jadi  tertunda pembahasan tentang semua kepada Fitra, dan mungkin tahun-tahun yang akan datang baru bisa Gio dan Fitra bahas kembali. Tapi setidaknya sekarang Gio bisa bernostalgia bersama-sama.
“Gio.....!!!” Ariful berteriak kencang sekali sampai telinga Gio sakit dibuatnya. Ariful adalah teman SMP Gio.
“Iya kenapa Ful??” jawab Gio sedikit kesal.
“Tidak apa-apa, aku hanya kangen kita berbincang-bincang seperti biasanya Gi.” Jawab Ariful setelah merendahkan suaranya sambil senyum-senyum.
“Emangnya kamu datang sama siapa Ful ke rumahku?”
“Liat aja di dalam ada siapa aja.” Gio mengikuti arah telunjuk Ariful dan bergegas kesana.
 “Ryan, Yadi, Ekky, Kevin, Muda..!” teriakk Gio senang.
“Gi..gi.. Sini-sini kita berfoto dulu untuk kenang-kenangan,” Ryan menarik lengan Gio.
“Tunggu..tunggu aku juga mau ikut,” Fitra berteriak.
Ckreeeekkk..
“Waiittt !! Malam ini kita mau ngapain yah teman-teman” ujar Gio.
“Mari kita bercerita-cerita hangat saja bersama sambil menikmati malam ini, karena esok Gio kan akan pulang ke Yogyakarta,” Ryan berbicara kepada teman-teman.
“Aku setuju dengan itu,” Yad memotong pembicaraan
“Setuju aja loh Yad..Yad,” Ryan membalas
“Kita mulai dari mana ini?” ujar Gio.
“Bahas tentang percintaan saja bagaimana?” Fitra seketika menyambar perkataan Gio. Kebetulan Fitra juga ingin mengorek lebih banyak tentang kawan yang lama tak dijumpainya itu.
Kebetulan ada momennya sekarang.
“Boleh.. Boleh siapa yang akan pertama menceritakan kekasihnya?” Ryan langsung memberikan opsi.
“Terus siapa yang akan bercerita pertama kalinya?” ujar Fitra menunggu umpan lambung dari kawan lainnya agar meminta Gio. Fitra yakin mereka juga sama penasarannya. Sebabnya karena sama-sama sudah lama tidak bertemu Gio.
“Bagaimana kalau Gio saja? Kan kita belum pernah mendengar kisah dia dengan kekasihnya yang ada di Jogja,” Ryan tertawa terbahak-bahak.
“Nah cocok! Kamu aja Gi” Yadi, Ekky dan Muda menyambar.
“Gimana Gi? Siap?” tunjuk Fitra.
“Oke....oke... Pertama aku yang akan bercerita, tapi ceritaku akan sangat dan sangat memakan waktu, jadi yang penting saja yah,”Gio menerima, Fitra tersenyum dan Yadi tertawa.
“Aku memiliki seseorang kekasih yang bernama Nayla, Nayla anak yang lucu dan selalu membuatku tertawa. Entah apapun yang Nayla lakukan selalu saja membuatku ingin mendampinginya, Nayla berasal dari kota Pekanbaru Duri, memiliki pipi yang chubby dengan mata berwarna coklat. Sudah lumayan lama aku bersama
Nayla, dan banyak sekali momen yang aku buat bersama Nayla. Dari traveling, nonton saat aku performance band dll, dan Nayla menjadi seseorang motivator yang membuatku bisa berubah menjadi baik dan lebih baik lagi dari sebelumnya,” cerita Gio bernada lantang dan keras, memaksa teman-teman untuk tertawa dalam kisahnya.
“Ooohh, itu toh yang sering kita liat fotonya di instagram. doang. Kayaknya seru sekali yah ceritamu Gi, mungkin kamu beruntung sudah mendapatkan dia,” Yadi dengan wajah serius.
“Hahahah... maaf ya, bukan kayaknya, tapi sebenarnya. Dan satu lagi kalau mau dibilang mungkin dia yang beruntung mendapatkanku,” ujar Gio memberi penekanan.
“Udah ga usah banyak pembelaan Gi. Gi yang bener tuh ya, itu kamu yang beruntung mendapatkan dia” Ryan tertawa terbahakbahak. Diamini oleh yang lainnya. Gio tersudut.
“Ya sudah.... iya aku yang beruntung mendapatkan dia, aku udah ngantuk nih aku izin tidur ya. Kalian lanjut aja kalau mau bercerita,” mulut Gio menguap.
“Huuu! Katanya mau bercerita panjang lebar malam ini!” Ekky memprotes.
“Hahaha.. sorry banget. Ada urusan penting besok. Kalian kalau mau lanjut ga papa, besok aku minta bocoran ceritanya. Hehhehee” Gio mengelak dan segera beranjak ke kamar. Ekky sambil bercanda melempar kotak rokok ke punggung Gio dan disambut dengan elakan dari Gio. Yang lain hanya tertawa melihat tingkah mereka.
“Besok dia mesti berangkat pagi-pagi, nanti kebablasan” bela Fitra yang mengetahui Gio akan segera ke Jogja esok harinya. Mereka pun lanjut bercerita sementara Gio tidur lebih cepat.

***

Hari yang ditunggu telah tiba dan Gio sudah sampai di Yogyakarta. Gio langsung  bertemu dengan Nayla, Gio  sangat senang karena tak ada sedikitpun yang berubah dari sikap Nayla. 
“Kau tetap seperti queenbee-ku yang dulu dan kau akan selalu ada dalam hatiku” pikir Gio ketika pertama kali melihat Nayla. 
Pagi ini burung berkicau di depan jendela kamar Gio, saatnya untuk ke kampus. Gio dan Nayla bertemu di kelas, Gio dan Nayla duduk bersebelahan sambil belajar dengan serius, terkadang bercanda dan tertawa. Nayla selalu memandang Gio ketika Gio mulai ribut di kelas, Nayla selalu melihat Gio saat Gio mencoba untuk berbincang dengan orang lain. Gio tahu apa yang Nayla maksud,  Nayla ingin Gio fokus untuk belajar pada saat di kelas. Namun Gio tidak bisa, memang Gio seperti ini, orang yang lincah dan selalu ribut di kelas, tetapi Gio selalu bisa mengerti apa pelajaran itu. Ketika siangpun tiba akhirnya Gio dan Nayla memutuskan untuk pergi makan setelah itu memesan kue, terlihat raut wajah Nayla yang begitu senang. 
Gio selalu menolak ketika Nayla mengajak Gio untuk menonton film di bioskop. Gio selalu menolak karena gio tidak pernah menyukai itu!
“Lebih baik kita membeli nasi padang saja dan terus nonton di rumah saja. Atau jika perlu kita beli proyektor saja, seperti nonton di layar tancap” ujar Gio suatu kali. Terlihat raut wajah kecewa di wajah Nayla. 
Malam pun datang Gio dan Nayla langsung bergegas untuk memesan kue ulang tahun. Saat di perjalanan Gio berkata kepada Nayla,
“Besok Tyo ulang tahun, alangkah baiknya jika kamu ikut membuat kejutan untuknya,” namun Nayla menolak ajakan Gio.
Nayla menemani Gio memesan kue cokelat Tyo. Setelah memesen kue, Gio dan Nayla langsung pergi ke tempat makan. Sekali lagi Gio mencoba membujuk Nayla untuk ikut membuat surprise, tetapi bukan reaksi baik yang Gio dapat, melainkan Nayla membentak Gio dengan nada tegas.
“Yakin Nayla kamu tidak ingin menemaniku membuat surprise untuk Tyo?” tanya Gio dengan lembut.
“Kan aku sudah bilang berkali-kali sama kamu, enggak usah memaksaku untuk ikut, jangan buat aku kesal deh!” tegas Nayla sambil memainkan tangan menunjuk-nunjuk dan dengan mata melotot.
“Okee. Tapi tolong jangan marah-marah seperti ini, apa menurutmu aku tidak sakit kamu melakukan hal begitu terhadapku? Aku hanya ingin kamu ada saat membuat surprise untuk Tyo karena ulang tahunnya itu hanya satu tahun sekali. Itupun kalau umurnya panjang, tapi kalau emang tidak mau yah sudah, terima kasih buat tumpangannya,” Gio keluar dari mobil dan menutup pintu berjalan menuju rumah kontrakan yang jaraknya masih jauh.
 Sesampainya di rumah, Gio hanya bisa terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa. Gio langsung mengambil handphone dan meminta maaf karena sudah memaksa Nayla untuk ikut ke acara itu. Gio mencoba untuk menenangkan diri, karena Gio tahu itu hanya emosi sesaat saja dan besok akan reda. 











“Air mata turun dan memaksaku untuk berdialog senja bersamanya, membisikkan derai-derai daun cemara pertanda
sebuah perpisahan akan datang. Ku tak pernah berharap ini akan berakhir di sini saja, karena ku tak biasa melangkah sendiri tanpamu ”









“MENGAIS-NGAIS KISAH ITU”

***
“Terbesit dalam pikiran Gio untuk mengajak Nayla ke suatu tempat dimana di tempat itu hanya ada Gio dan Nayla. Gio berencana untuk mengajak Nayla ke Bromo, Jawa Timur. Sebenarnya Gio ragu Nayla akan mau karena jauhnya perjalanan. Namun keraguan itu sirna ketika Gio membicarakan rencana ini pada Nayla dan Nayla menyetujuinya dengan antusias”.
***

“Tapi harus ajak anak-anak yang lain juga yah, aku takut malah enggak diperbolehkan orangtuaku,” kata Nayla sambil menggaruk kepala dan menatap Gio dengan tatapan butuh pembelaan.
“Ya... Coba sekarang aku ajak teman-teman dulu ya siapa yang mau ikut ke Bromo,” kata Gio seraya menelpon Aji.
“Hei Ji, apa kamu mau ikut ke Bromo? Mungkin kamu bisa ajak pacarmu juga. Kita berangkat minggu depan.” Ajak Gio pada Aji, temenya di kampus.
“Waah sepertinya aku tidak bisa Gi, yah liat besok aja yah,” jawab
Aji.
“Nayla, Aji tidak bisa ikut ke Bromo. Terus bagaimana?”
“Ya sudah kita berdua aja dan beli tiket keretanya hari ini aja yah” jawab Nayla 
“Ya... hari ini kita beli tiketnya biar tidak kehabisan.”
Gio melajukan vespanya menuju Stasiun Lempuyangan untuk memesan tiket.
“Turun Nay, kita sudah sampai di stasiun, buruan nanti tiketnya keburu habis loh.” Ujar Gio terburu-buru.
“Iyaa Gi, sabar sedikit napa, hehehe” sambil tertawa terbahakbahak melihat tingkah Gio yang takut sekali kehabisan tiket.
“Mas, tiket ke Malang untuk dua orang,” kata Gio sambil membuka dompet dan mengeluarkan KTP.
“Lempuyangan ke Malang Kota Lama sudah booked mas, ini nomor booking-nya,” ujar petugas reservasi. Gio dan Nayla saling
bertatapan ragu, entah kenapa pada saat itu terjadi seperti itu.

***

Gio bekerja keras untuk bisa mewujudkan ini. Semangat Gio semakin membara seperti api agar bisa mewujudkan momen bersama Nayla di Bromo. Gio memesan Bromo private tour hanya untuk mereka berdua. Menikmati sabana Bromo ditemani senja sembari menyantap hidangan yang disajikan dengan iringi lagulagu yang syahdu.
“Aaahh.. Apa ini hanya anganku?” khayal Gio berharap semua itu menjadi nyata
“bersama Nayla” khayal Gio lagi.
Gio bekerja terus-menerus tanpa menghiraukan lelah yang ada dipundak. Gio menabung, mengumpulkan uang agar Gio bisa berkeliling bersama Nayla. Gio bekerja di sebuah tour and travel di suatu perusahaan jasa wisata milik Revin. Gio bekerja di bagian foto dokumentasi. Terkadang Gio bekerja hingga keluar kota untuk mengambil dokumentasi dari orang-orang yang menggunakan jasa tour and travel. Gio juga bekerja sebagai barista di sebuah coffee shop milik Jeane. Gio juga seorang drummer di band bernama Alice, mereka beberapa kali diundang manggung, dan Gio dapat sedikit pemasukan dari situ.
Setiap harinya Gio jalani dengan bekerja, dan bekerja tanpa henti untuk mewujudkan impian agar bsia backpackeran bersama Nayla. Awalnya semua berjalan lancar sampai suatu ketika sehari sebelum keberangkatan Gio dan Nayla ke Bromo.
Nayla menghubungi Gio dan membatalkan semuanya tanpa alasan yang jelas. Ini memunculkan kekecewaan yang tak bisa Gio jelaskan. Gio hanya bisa tertunduk pasrah mengingat apa yang Gio siapkan sejak lama terbuang sia-sia. Terpaksa Gio pendam semua impiannya dan Gio bakar semua harapan backpackeran dengan orang yang dia sayangi itu.
Gio selalu mencoba untuk berpikir positif walau semua itu susah Gio tahan. Tanpa sadar Gio meneteskan air mata dan kesal akan keadaan. Mungkin karena penyakit yang ada di punggung Nayla atau mungkin karena orangtua Nayla tidak mengizinkan Nayla pergi. Gio selalu dan selalu mencoba untuk berpikir positif menyikapi semua ini.
Untuk mengobati kekecewaan hati Gio dan tiket yang sudah terlanjur terbeli, Gio memutuskan untuk pergi sendiri ke suatu tempat yang masih berada di Jawa Timur.

***




















“Tak ada perjuangan yang tersia-siakan untuk kebahagiaan, namun terkadang tidak sesuai dengan yang kita inginkan, jangan pernah berhenti untuk berjuang hingga jalan kematian terbentang luas”










 “AKU DAN KEKECEWAAN”

***

Hari yang “seharusnya” ditunggu pun tiba, Nayla mengantarkan Gio ke stasiun. Berat hati Gio untuk melanjutkan langakahnya tanpa Nayla. Nayla meminjam buku catatan kecil Gio, Nayla menulis sesuatu disana dan Gio tidak boleh melihatnya sebelum Gio berada di dalam kereta.
Di dalam kereta Gio membuka buku catatannya dan Gio melihat tulisan “Happy holiday bee” dan di sela-sela buku Nayla menyelipkan sejumlah uang untuk Gio. Entah apa maksud dari semua itu. Menurut Gio, Nayla tidak perlu melakukan ini semua karena apa yang Gio lakukan tulus dari hati.
“Aahh sudahlah” ujar Gio mencoba menutupi kekecewaannya dan pertanyaan dibenaknya.
Di kereta Gio duduk persis di depan sepasang suami istri. Mereka  bertanya dengan akrab kepada Gio 
“Mau kemana mas?”  
“Sebenarnya saya mau ke Bromo bersama orang yang saya sayangi, namun gagal karena dia membatalkan keberangkatannya dan sekarang saya belum tahu mau kemana. Mungkin saya akan ke air terjun Madakaripura di Probolinggo,” jawab Gio sambil mengelus dadanya yang sedikit terluka.
Sesampainya di Malang, tanpa basa-basi Gio langsung ke terminal untuk mencari kendaraan ke Tongas. Lalu menuju air terjun Madakaripura yang berada di Probolinggo, Jawa Timur.
Gio teringat akan Nayla. “Seharusnya sekarang aku bersamamu disini, gumam Gio”.  Malam itu Gio habiskan di desa Sapih, sebuah desa di Kecamatan Lumbang, Probolinggo. Pikiran Gio sedikit teralihkan oleh suhu di desa yang dingin dan pemandangan yang indah. Desa ini terletak di ketinggian 1000 mdpl dan suhunya lumayan dingin. Bintang-bintangnya sangat indah karena penerangan disini tidak menghalangi cahaya bintang. Sambil berbaring di teras rumah dan didukung suasana malam yang cocok, Gio memikirkan Nayla. 
“Apa yang sedang kau lakukan? Apa sekarang kau sedang memandang langit yang sama denganku? Aku harap begitu dan kau mengerti semua isi hatiku saat ini”  batin Gio.
“Aku sayang kamu, aku akan menabung kembali dan membuat cerita yang lain bersamamu” tekad Gio.
Mulai dari pagi hari Gio mengeksplorasi keindahan alam di sekitar desa Sapih, hingga dia melihat air terjun yang tingginya 200-an meter. Air terjun Madakaripura. Oleh Mas Bagus, anak muda  kampung sebaya Gio yang menemani Gio di air terjun, Gio dijelaskan tentang air terjun ini. Katanya ditempat itu dulunya Mahapatih Gajah Mada seringkali bertapa.
Aura magis dan alami di sekitar air terjun mampu mengalihkan perhatian Gio dari Nayla. Gio menghabiskan waktu lama untuk mandi dan semacam bersemedi di batu-batu yang di sekitar jatuhan air. Karena Gio sendirian, tidak ada teman yang bisa diajak bercerita panjang lebar. Gio habiskan waktunya untuk merenungi perjalanannya. Sambil mandi di jatuhan air, dia menanamkan sosok Nayla dalam khayalannya. Sore hari, mereka berdua pun pulang kembali ke desa. Kadang Gio berjalan-jalan sendiri tanpa ditemani oleh Mas Bagus, hanya untuk mengeksplorasi pemandangan disekitar desa. Begitu terus sampai Gio merasa liburannya sudah cukup. 
Memang benar kali ini Gio gagal untuk mengajak Nayla menikmati dan memperkenalkan alam Indonesia, tapi Gio takkan pernah berhenti untuk bekerja, dan ketika Gio memiliki uang lebih Gio akan mengajak Nayla kembali untuk menyusuri kota-kota yang ada di negeri ini bahkan mungkin ke mancanegara. 
Beberapa hari kemudian Gio kembali ke Malang untuk bertemu salah satu teman lama bernama Evan. Di Kota Malang Gio menghabiskan waktu untuk berbincang bersama evan.
“Bukannya kamu ke sini bersama pacarmu Gi? Terus dia dimana? tanya Evan.
“Hihihihi.. gagal Van, mungkin itu bukan rejekiku,” kata Gio sambil menggaruk kepalanya dan mengusap wajahnya.
“Yaa sudah mungkin dia tidak diperbolehkan oleh orang tuanya, sabar sedikit saja mungkin itu juga yang terbaik buat dia,” nasehat Evan.
“Aku juga selau coba untuk berpikir positif kok Van, jadi yah Insya Allah tidak ada apa-apa.” Ujar Gio pasrah
Senang bisa melihat Evan lagi dengan keadaan yang lebih baik sekarang. Perbincangan saat  itu membuat Gio lupa waktu, padahal Gio harus beristirahat dan keesokan harinya  harus pulang ke Yogyakarta.

***



















“Tak hentinya melangkah mencari senja, selalu saja senja hilang dengan waktu cepat. Tak ingin ku mengadili waktu agar berhenti
sejenak dan dapat terus menikmatinya. Poros senja sore itu selalu membekas di benakku. Kau, aku dan senja”










“KESIBUKAN YANG MENYADARKANKU”

***
“Suasana sedikit menjadi berubah antara Gio dan Nayla. Kesibukan yang begitu padat membuat hubungan Gio dan Nayla menjadi renggang. Waktu yang tak seirama membuat Gio dan Nayla jarang bertemu. Selalu saja ada halangan yang tak diinginkan ketika waktu sudah mendukung. Perubahan sikap yang sering Nayla tunjukan pada Gio semakin memperkeruh suasana ini. Entah apa yang terjadi dengan Nayla, tapi sungguh ini sangat mengusik hati dan pikiran Gio”.
***

“Aku tidak bisa bertahan dengan pikiran menganggu ini” keluh Gio lesu. Gio sadar ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Gio hanya terdiam membisu dan memejamkan mata.
“Yaa.. Ketenanganlah yang aku perlukan,” kata Gio menghela nafas.
Ketika Gio bosan dengan hiruk pikuk dunia, ketika Gio butuh ketenangan batin, Gunung selalu menjadi tempat Gio menemukan jawabannya. Gio pun memutuskan untuk melakukan perjalanan yang terbilang nekat menuju Gunung Argopuro yang terkenal dengan trek terpanjang di Pulau Jawa. Mendaki Gunung bukanlah hal yang biasa apa lagi memakan waktu  selama tujuh hari berjalan di tengah hutan belantara. Entah apa yang Gio pikirkan namun hati Gio berkata harus melakukannya. Seperti biasa, Gio memulai persiapan dengan menyiapkan barang-barang yang Gio perlukan dan butuhkan ketika disana. Nayla mengantar Gio ke stasiun dimana itu menjadi akhir Gio dan Nayla bertemu. 
“Nayla, Aku akan berangkat menuju Gunung Argopuro dan akan memakan waktu yang sangat lama, disana tidak akan ada sinyal dan tidak tau juga aku akan selamat atau tidak disana. Doakan saja aku kembali dengan selamat,” ujar Gio sambil meletakan kedua tangannya di bahu nayla.
“Amin.. Semoga kamu dapatkan apa yang kamu inginkan dan kembali dengan selamat,” kata Nayla dengan tatapan kosong.
Baik Nayla, maupun Gio, tidak mengetahui inilah obrolan terakhir mereka berdua yang terbaik sebelum mereka akhirnya berpisah. Gio tidak mengetahui, ini terakhir kalinya dia memegang tangan Nayla.
Gio kembali melangkahkan kaki menuju dalam kereta, sama seperti yang dulu pernah terjadi saat mencoba untuk berangkat ke Bromo. Langkah Gio sangat berat untuk memalingkan padangannya dari Nayla. Semoga aku kembali dengan mendapatkan jawaban untuk hubungan kita, Gio bersedu sedan dalam hatinya.
Di dalam kereta Gio hanya terdiam memikirkan bahaya dari perjalanan ini. Gio tidak tau apa yang akan terjadi di perjalanan nanti.
“Aku berharap semoga tidak terjadi apa-apa, supaya aku bisa kembali melihat senyummu dan melanjutkan semua momen bersamamu”, batin Gio.
Di kereta Gio bersama dengan dua orang teman yang bernama Rexy dan Agung.  Sungguh perjalanan ini Gio mulai dengan sebuah harapan baru dan sebuah tujuan baru. Sesampainya di Surabaya, pada waktu itu tepat pukul 04.00 Wib, Gio duduk bertiga menikmati sore Surabaya di Stasiun Gubeng.
“Rex, disini kita menunggu siapa? tanya Gio pada Rexy
“Menunggu temannya Agung agar kita bisa istirahat di tempatnya,” katanya sambil menoleh ke Agung.
“Iyaa.. Kita tunggu temanku yah” ujar Agung menenangkan kebosanan mereka berdua.
“Sekalian saja Gung, aku coba untuk menghubungi teman SMA-ku dulu yang bernama Raffan” kata Gio memegang HP mencari kontak Raffan.

***

“Halo Raffan, sekarang aku di Surabaya. Bisa kita bertemu sore ini karena besok aku dan teman-temanku akan berangkat menuju
Gunung Argopuro.” ujar Gio dalam telpon
“Mendadak sekali Gi kamu memberi tahuku, sebentar aku siap-siap dan langsung ke stasiun” jawab Raffan
“Oke Fan ditunggu di stasiun, see you Fan,” kata Gio sambil menutup telpon.
Sore itu Gio coba melawan matahari tapi mata tak mampu untuk itu, Gio terus membayangkan perjalanan ini. Apa saja yang akan terjadi, pasti akan banyak sekali pelajaran-pelajaran baru disini.
“Rex.. kok aku tiba-tiba kangen Nayla ya? Walau baru sebentar aku enggak ketemu dia,” ujar Gio menundukkan kepala dan memeluk lutut.
“Baru saja kita memulai perjalanan ini masa iya kamu langsung ingin pulang dan bertemu dengan dia, coba liat anak kecil itu,” ujar Rexy sambil menunjukan jari tangannya.
“Tapi rex ada sesuatu perasaan yang tidak enak dalam hatiku. Emang kenapa dengan anak kecil itu?” Gio sambil mengikuti arah jari telunjuk Rexy.
“Itu hanya perasaanmu saja Gi. Aku ingin sekali kembali ke masa kecilku tanpa adanya kepalsuan dunia ini” jawab Rexy serius tapi sendu.
“hahahahhaa... Gi...Gi” Agung tertawa, mendengarkan obrolan Rexy dan Gio.
“Mungkin bener Rex ini hanya perasaanku saja, ya sudah semoga tidak terjadi apa-apa” ujar Gio
“Amin....!” kata Agung dan Rexy kompak.
Temannya Agung dan Raffan sudah datang, saatnya menuju penginapan untuk beristirahat karena esok memulai perjalanan yang panjang sekali. Sore hilang dan malam pun datang, Gio dan kawan-kawan pendakiannya kembali mempersiapkan logistik untuk besok agar tidak ada yang kurang sedikitpun.

***
























“ Tidak ada yang abadi. Senang, sedih, bahkan tawa dan tangis bisa datang lalu pergi”









“AKU, KAMU DAN ALAM”

***
“Gunung Argopuro menjadi saksi perjuangan Gio untuk hubungannya. Hari pertama disaat Gio memulai perjalanan ini timbul keraguan dalam benak Gio, tak yakin apakah sanggup melakukan ini. Gio harus berjalan menyusuri hutan yang lebat dan masih banyak hewan-hewan buas yang hidup disana. Pendakian ini awalnya Gio lalui hanya bertiga orang, kemudian bertambah menjadi sepuluh orang”. 
***

Hari pertama pendakian Argopuro
Gio menangis, perjalanan yang cukup panjang dengan jalur pendakian yang ekstrim. Gio baru menyelesaikan satu pos selama 12 jam dan itu  membuat Gio ingin menyerah. Tetapi Gio teringat dengan tujuannya melakukan pendakian ini, apapun yang terjadi Gio harus bisa mendapat jawaban di Argopuro. Semangat yang tadi hampir saja hilang kini muncul kembali. Setiap kali Gio bertanya apakah sudah dekat, seorang pendaki selalu saja menjawab ‘Tidak lama lagi pos satu semangat,’, namun itu hanya sebuah kebohongan belaka.
Hari kedua pendakian Argopuro
Gio bertemu dengan dua orang perempuan yang pada awalnya biasa saja, namun ada suatu hal yang membuat mata Gio selalu ingin melihat mereka. Gio mencoba berpikir positif dalam hal ini, karena Gio sadar akan tempat yang Gio tapaki sekarang berada jauh dari zona nyaman Gio. Dinginnya malam ditemani suara hewan malam bernyanyi membuat Gio larut dalam suasana ini. Gio memikirkan Nayla “sedang apa dia?”. Malam semakin larut, saatnya Gio untuk tidur karena gerimis telah menunjukkan wujudnya dan dingin menusuk tubuh dari belakang seperti rindu Gio kepada Nayla yang tak tersampaikan.
Hari ketiga pendakian Argopuro
 Gio bertemu kembali dengan dua perempuan itu. Semakin hari wajahnya semakin berbeda dan semakin cantik untuk dilihat. Gio bertanya pada hatinya, “ada apa ini? Kenapa dengan dua gadis ini?”. Namun Gio berusaha tak mempedulikannya dan meneruskan perjalanannya. Matahari pun tenggelam. Di setiap angin berhembus, selalu terlintas nama Nayla. Kembali terpikir akan masalah yang Gio dan Nayla hadapi, Gio terus menanti dan menanti agar mendapatkan jawaban itu hingga Gio tertidur, kelelahan.
Hari keempat pendakian Argopuro
Suasana pagi menusuk setiap tulang yang menyusun tubuh kurus Gio. Hari ini Gio bangun pukul 05.00 pagi. Gio ingin menghirup dinginnya suasana pagi di Gunung Argopuro. Gio melihat potret Nayla menyapa di kejauhan matanya, mata memandang jauh tertutup kabut seakan Nayla ada dibalik kabut tersebut.
“Andaiku mampu menikmati ini semua bersamamu”, harap Gio dalam hati. Tidak ada yang mendengarkan harapan itu.
Cukup lama Gio berdiri sembari memikirkan Nayla, tiba-tiba lagi dan lagi dua orang perempuan sejak dua hari ini selalu muncul dihadapan Gio. Semakin Gio melihatnya semakin jelas kecantikan yang ada pada wajahnya. Gio duduk di bawah pohon yang teduh. Gio berpikir kenapa semakin hari perempuan itu semakin cantik dan kenapa aku harus bertemu dengan mereka setiap harinya. Gio terus berpikir, hingga sesaat Gio menemukan jawabannya, 
“jika di dunia ini hanya hidup dua perempuan itu, walau sejelek apapun keadaannya, laki-laki akan selalu berjuang dan akan memberikan sebuah prioritas kepadanya untuk mendapatkan perhatian lebih dari perempuan tersebut, bahkan mungkin akan banyak laki-laki yang saling membunuh demi mereka berdua.”
Prioritaslah jawaban yang Gio cari selama ini. Gio sadar bahwa Gio salah.
“kenapa aku selalu sibuk dengan duniaku sendiri tanpa memikirkan keadaanmu. Aku salah, aku bodoh, dan aku merasa seperti laki-laki tak berguna. Aku berjanji ketika aku turun dari gunung ini aku akan memberikan semua prioritasku kepadamu, Nayla. Setidaknya aku bisa membagi waktu untukmu” Gio bersumpah dalam hatinya. 

Hari kelima pendakian Argopuro
Matahari pagi menyapa Gio dengan hangat, saatnya untuk pulang menuju tempat tujuan terakhir ; Taman Hidup. Pukul 09.00 pagi, Gio melanjutkan perjalanan menuju puncak. Gio membawa bekas banner yang bertuliskan nama Nayla,
“Karena sebuah kebanggaan bisa menuliskan nama orang yang aku sayang di puncak Argopuro” ujar Gio ketika dia ditanya kenapa berat-berat membawa banner hanya untuk difoto.
Turun dari puncak Gio memutuskan untuk singgah di Taman Hidup.
“ Daun-daun bergoyang kesana kemari memanggil namaku seakan engkau yang memanggilku”, Gio kembali bergumam.
Gio cuma bisa berkata pada dirinya “sabar sebentar lagi aku bisa bertemu denganmu”. Waktu menunjukan pukul 21.00 WIB, Gio segera membangun tenda dan tidur karena besok pagi Gio harus pulang.
Hari keenam pendakian Argopuro
Saatnya packing dan pulang menuju basecamp Bremi. Perjalanan dari Taman Hidup menuju basecamp memakan waktu 7 jam. Sesampai di basecamp pukul 17.00 sore, Gio bergegas mandi kemudian membuat teh hangat dan langsung mencari ponselnya untuk mengirim pesan Nayla. Gio mencoba menghubungi Nayla namun tak ada jawaban. Gio ingin Nayla menjadi orang pertama yang mengetahui bahwa Gio telah berhasil mencapai puncak Argopuro, bukan orang tuanya. Gio mengirim sebuah foto bertuliskan nama Nayla saat di puncak Argopuro. Betapa sedihnya Gio ketika membaca balasan dari Nayla yang hanya mengatakan “Ya” respon yang tidak sesuai disaat Gio begitu antusiasnya menanti jawaban Nayla.
Gio tak menyangka dengan sikap Nayla padanya. Berkali-kali Gio menelpon Nayla namun tidak ada jawaban seakan-akan Nayla benci kepada Gio. Hati Gio semakin hancur saat itu. Tak ada yang Gio pikirkan lagi selain harus segera sampai di Yogyakarta dan meminta penjelasan dari Nayla. 

***





















“Semua khayalku hanya menjadi semu, semakin kukejar semakin menjauh”








“BERTANYA-TANYA ISI HATINYA”

***


Sesampainya di Yogyakarta, Gio segera menghubungi Nayla namun tetap tidak ada jawaban. Hati Gio semakin gelisah dan bingung akan kelanjutan hubungannya. Pukul 18.00 Gio sampai di rumah, tak sempat Gio beristirahat karena beberapa teman meminta Gio untuk bercerita tentang pendakian Gunung Argopuro.
Saat tengah bercerita ponsel Gio berdering tanda ada pesan masuk dari Nayla,
“Aku mau telpon dan ada yang ingin aku katakan padamu,” ujar Nayla. Hati gio bertanya, “apa yang akan kau bicarakan? Apa ini akhir dari hubungan kita?” ujar Gio dalam hati ketika membaca pesan Nayla. Seperti sudah ada firasat buruk.
Dengan percaya diri Gio menghubungi Nayla malam itu. Awalnya Gio dan Nayla hanya berbicara santai, lalu mulai merujuk ke tengah pembahasan yang semakin berat. Nayla menjelaskan kenapa Nayla bersikap seperti itu, namun menurut Gio itu semua tidak masuk akal, Nayla selalu membantah Gio. Gio tau saat itu Nayla tidak ingin mengatakan putus dan selalu memojokan Gio agar Gio yang mengatakannya. Gio berusaha memutar kata-kata agar suasana malam itu tak semakin menjurus ke arah putus. Namun perdebatan sangat alot dan Nayla terus mengarahkan kesana. Sampai akhirnya Gio pun bertanya,
“Kamu mau kita putus Nayla?” tanya Gio.
“Iya!” kata Nayla menyambar ucapan Gio dengan cepat. Ketus.
Seketika air mata Gio menetes dan tak bisa ditahan lagi saat itu. Namun begitulah tampaknya yang diinginkan Nayla. Dan Gio menanyakan itu hanya untuk mempermulus keinginan Nayla. Lagipula, apalagi yang harus dilakukan ditengah keinginan Nayla yang seperti itu? Lama mereka terdiam. Menyesapi kenyataan yang barusan mereka berdua putuskan.
“Nanti apa yang harus aku jawab ketika teman-teman bertanya alasan kita putus?” tanya Nayla setengah bergumam. Memecah keheningan.
“Kamu cukup berkata--jika kamu tidak ingin namamu jelek dimata orang-orang--bilang saja bahwa aku yang salah, aku yang sudah selingkuh dan aku pula yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini. Biar semua orang mengira aku yang salah mereka akan mengatakan bahwa aku laki-laki yang tak berharga,” ujar Gio sambil memeluk lututnya dan menepatkan pundaknya di atas meja kecil, berbaring pasrah.
“Kamu menangis Gi..?” tanya Nayla hampir tak terdengar.
“Aku tidak menangis Nayla Purnamasari, terima kasih atas segala rasa, terima kasih atas segala luka, terima kasih atas segala lara, kamu akan selalu menjadi yang terindah dalam hidupku,” ujar Gio sambil mengusap air mata, dengan suara yang di perjelas di atur sebaik mungkin.
“Sama-sama Gi... Aku pamit dulu yah, terima kasih untuk semuanya Agio Jati Suryotama. Assalamualaikum.” tutup Nayla tanpa hati.
“Wa’alaikumsalam..” jawab Gio hampir tak terdengar, bahkan oleh dirinya sendiri, pikiran Gio sudah buyar entah kemana.

***

Malam itu Gio kembali mengemas barang-barangnya. Tapi dia tak sempat mengemasi hatinya yang berserakan.  Pukul 07.00 pagi Gio memilih untuk pergi ke Desa Bruno di sekitar Jawa Tengah untuk menenangkan pikirannya. Namun Gio tau bahwa itu hanya sesaat. Hati Gio hancur berkeping-keping dan yang bisa Gio lakukan hanya menangis dan menangis karena Gio masih mencintai dan menyayanginya.
“Andai saja aku tahu bahwa sebelum pendakianku di mulai adalah akhir dimana aku bertemu denganmu, aku ingin mendekapmu dan mengatakan betapa aku sangat mencintaimu” batin Gio lirih.
Gio pun teringat moment di stasiun kereta, saat terakhir kali Nayla mengantarnya sebelum mendaki Gunung Argopuro,
“Nayla, Aku akan berangkat menuju Gunung Argopuro dan akan memakan waktu yang sangat lama, disana tidak akan ada sinyal dan tidak tau juga aku akan selamat atau tidak disana. Doakan saja aku kembali dengan selamat,” ujar Gio sambil meletakan kedua tangannya di bahu nayla.
“Amin.. Semoga kamu dapatkan apa yang kamu inginkan dan kembali dengan selamat,” kata Nayla dengan tatapan kosong.
Seharusnya Gio cukup sigap menangkap isyarat dari tatapan Nayla. Adakah Nayla berat hati melepaskan Gio saat itu? Ataukah bibit ketidaknyamanan sudah ada di hati Nayla? Andai saja waktu bisa diulang kembali. Bisa saja Gio tidak jadi berangkat ke Gunung Argopuro. Tapi..
Pikiran Gio kalut.

***















“Akhirnya aku harus belajar berjalan sendiri tanpamu disisi”












“BELAJAR BERJALAN TANPAMU”

***

Gio memulai langkahnya menapaki awal yang baru, Gio berangkat ke Surabaya menggunakan kereta melarikan diri dari penatnya dunia dan letihnya rasa. Di Surabaya, Gio hanya sekedar transit untuk memulai perjalanannya. Sampai disana Gio masih harus menunggu temannya untuk menjemput. Semilir angin membuat mata Gio sayup seakan Gio ingin tidur, namun Gio tak bisa. Gio merasa seperti sedang diperhatikan. Entahlah mungkin hanya perasaan saja atau memang orang-orang sedang memperhatikan.
Saat itu yang ada dalam pikirkan Gio hanyalah pergi sejauh mungkin untuk bisa melupakan Nayla, tanpa memperhatikan penampilannya sendiri. Hanya menggunakan celana pendek yang sudah kumuh dan robek-robek pemberian teman Gio--Sabirin, carrier yang sedikit berdebu dan sandal treking yang sering Gio gunakan ketika melakukan perjalanan panjang. 
Tak lama kemudian teman yang Gio tunggu akhirnya datang, Biasobae namanya. Dia kembali menyambut Gio dengan pelukan hangat.
“Hai Gio.. terakhir kita bertemu pada saat di Gunung Argopuro dan sekarang akhirnya kita bertemu lagi.”
“Hai Mas Biasobae... sudah lama sekali kita tidak bertemu”
“Emang tujuanmu mau kemana Gi?” tanyanya.
“Aku ingin menuju Kalimantan Mas, doakan saya selamat sampe tujuan yah.”
“Okee... Aman itu. Jadi malam ini kita keliling Surabaya saja yah.”
“Dengan senang hati mas.”
Dulu pertemuan Gio dengan Biasobae sangat singkat yaitu saat Gio mendaki gunung Argopuro. Tanpa basa-basi Gio dan Biasobae bergegas pergi menuju kosnya Biasobae untuk beristirahat sejenak kemudian mengelilingi Kota Surabaya. Biasobae membawa Gio ke banyak tempat menarik di Surabaya. Tak ketinggalan Biasobae memperkenalkan jembatan Suramadu yang memisahkan Surabaya dan Madura. Yaa sesuai dengan namanya. Gio dan Biasobae hanya melewati jembatan itu dan kembali lagi menuju Surabaya. 
“Mas Biasobae, aku ingin sedikit berbagi cerita nih.” Ujar Gio memulai.
“Monggo ae Gi (silakan saja Gi).” Balasnya dengan logat Suroboyo.
“Sebenernya aku akan menggunakan uang ini untuk melakukan perjalanan dengan dia, namun hubunganku harus berakhir hanya karena ego dan komunikasi yang tidak bisa diperbaiki lagi.” Ujar
Gio langsung menuju topik utama yang ingin dia sampaikan “Laaah... Kasian sekali kamu Gi, terus tujuan utamamu berkeliling ini apa? Untuk mencari pelampiasan?” Biasobae penasaran
“Bukan berarti aku mencari pelampiasan untuk melupakan semua itu. Aku tak sebejat itu Mas, aku hanya mencari ketenangan atas semua itu dan atas semua hal yang pernah terjadi dalam hidup dan hubunganku Mas, dan satu lagi untuk mencari pelajaran apa artinya melupakan.”
“Yaaa.... Semoga kau bisa menemukan itu semua yah Gi.”
“hahahaha semoga saja sekalian menemukan penggantinya.”
“Jiaaaah katanya enggak mau mencari pelampiasan, sama aja kan, kalau kau begitu namanya cari pelampiasan.” Tunjuk Biasobae
“Yaaa enggak lah mas, untuk serius sampe nikah ini mah.” Gio mengelak
“Ya....yaaa Amin!”
Malam itu Gio dan Biasobae berakhir di sebuah kedai kopi. Gio menghubungi beberapa teman di Surabaya untuk diajak nongkrong sebelum dia pergi ke Kalimantan. Banyak pemudapemudi di kedai kopi ini. Ada yang datang bersama keluarganya, bersama teman-temannya dan bersama kekasihnya. Gio melihat sepasang kekasih duduk tak jauh darinya, Gio memperhatikan lakilaki dengan sangat telaten selalu menggenggam tangan kekasihnya. Gio berpikir “itulah kesalahanku yang dulu tak pernah sedikitpun memprioritaskan dia dalam hidupku”. Seketika muncul dalam pikiran Gio  “Aku ingin bisa bersamanya kembali”. 
Ketika Gio sedang menikmati secangkir kopi tiba-tiba terdengar suara seseseorang memanggil nama Gio, ternyata itu adalah teman dari tadi Gio tunggu, Raffan. Sedikit membuat Gio tak mengenalinya karena rambut gondrongnya. Raffan tak datang sendiri melainkan dengan seorang perempuan.
“Kenalkan.. ini pacarku Gi.” Ujar raffan. Gio terkejut ketika temannya berkata bahwa perempuan ini adalah pacarnya. 
“Kok kamu mau sih sama dia?” tanya Gio penasaran. 
“Karena bagi saya cinta itu tidak harus memandang apa yang dia punya dan seperti apa fisiknya,” sambil mengelus rambut Raffan, mereka pun saling melempar senyum satu sama lain.
Gio hanya terdiam mendengarnya dengan wajah yang tersipu,  membuat Gio berkaca pada dirinya sendiri. Andaikan Nayla tau apa yang Gio rasa saat ini. Gio sedang hancur dan tak tau kemana akan melangkahkan kaki dan akan berlabuh kemana hati yang sedang terluka.
Hari sudah semakin larut malam,  Gio kembali ke kos Biasobae karena pagi-pagi sekali Gio harus segera berangkat untuk memulai perjalanannya ke tempat pertama yaitu kota Banjarmasin (Kalimantan Selatan).

***










“Setiap ada hal yang membuatmu sakit, jadikan itu sebagai motivasi untukmu karena dari situ kau akan menjadi orang yang kuat akan permasalahan hati”










“PERJALANAN HATI”

***


24 Janurai 2016
Pagi hari sekali Gio bangun, beranjak dari tempat tidur, kemudian bergegas untuk mandi dan mempersiapkan semuanya.
“Ayo packing.. Saatnya menuju Bandara Juanda dan tunggu aku bandara Syamsudin Noor hahaha...” semangat Gio dalam hati.
Sesampainya di Bandara Juanda Gio berpamitan dan mengucapkan terimakasih pada Biasobae yang sudah berbaik hati menampung Gio untuk beberapa hari tinggal di Surabaya. Sembari menunggu jadwal penerbangan, Gio kembali menulis pada buku catatan hariannya yang berisi tentang perjalanan Gio saat ini, sambil membaca buku MADILOG buah pikiran Tan Malaka. Ada hal aneh ketika Gio membaca buku ini, Gio merasa seolah banyak orang-orang yang melihat ke arah buku ini. Gio menutup buku dan memakai headset untuk mendengar lagu, seketika pengumuman memangil,
“Kepada seluruh penumpang yang akan menuju Banjarmasin bandara Syamsudin Noor untuk mempersiapkan boarding pass.” Gio berdiri dan antri, sampai di dalam pesawat Gio meletakkan carrier di bagasi pesawat dan duduk di sebelah bapak-bapak yang tegap. Gio bertanya kepadanya
“Bapak asli orang Banjarmasin?” sambil menggaruk kepala Gio yang tidak gatal.
“Iya nih Mas, saya asli orang Banjarmasin, dan Mas sendiri darimana?” ujarnya.
“Saya orang Yogyakarta pak, hanya saja saat ini sedang melakukan perjalanan.” jawab Gio dengan sopan.
“ Kamu ke Banjarmasin sendirian mas?”
“Ya Pak, saya sendirian saja.”
“Apa yang kamu lakukan, kenapa melakukan perjalanan ini sendiri?” ujarnya penasaran
“Saya hanya ingin pergi dan belajar untuk melupakan seseorang
Pak.” Jawab Gio jujur
“Saya sewaktu muda juga seperti kamu Nak, berkeliling kesanakemari, tetapi sekarang saya sudah berhenti karena pekerjaan saya sebagai tentara,” sang Bapak hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Dia memberi tahu sedikit mengenai Kota Banjarmasin. Itu menambah pengalaman tentang sebuah budaya dan alam baru yang belum Gio ketahui sebelumnya yaitu budaya “Dayak dan kota wisata Banjarmasin”.
Mendarat di Banjarmasin, Bandara Syamsyudin Noor, Gio segera turun dari pesawat namun sedikit bingung kemana arah keluar. Saat keluar dari pintu bandara, suasananya sama saja seperti bandara lainnya namun ada sedikit perbedaan, disini masih banyak pedagang kaki lima yang menjual nasi kuning dan lain-lain. Namun Gio ingat apa yang dikatakan bapak tadi, jangan makan di sekitaran bandara karena MAHAL!
 Di depan, Gio menunggu Yoga dan Bowo, mereka juga teman Gio yang bertemu saat mendaki Gunung Argopuro. Yoga dan Bowo sahabatan sejak kecil. Yoga dan Bowo tinggal satu rumah di Kota Banjarmasin, mereka berdua membuka usaha toko peralatan pendakian Gunung “Belantara Gear Outdoor” di Kota Banjarmasin. Namun selain itu Gio juga ingin bertemu sahabat semasa SMA yang dulu selalu travelling bersama Gio. Seperti di Surabaya Gio disambut dengan pelukan hangat, Gio letakkan tas carrier-nya di dalam mobil lalu memulai perjalanan menuju rumah Yoga dan Bowo di daerah Banjarbaru yang tidak jauh dari bandara. Sampai disana Gio memutuskan untuk tidur sejenak dan ketika bangun, Bowo bertanya
“Siapa nama yang selalu kau sebut saat kau tidur Gi?” ujar Bowo.
“Memang aku tidur ngigau?” tanpa menjawab pertanyaan Bowo, Gio malah balik tanya.
“Iya.. kamu selalu memanggil nama seseorang dengan ekspresi seperti orang menangis dan bersedih” jawab Bowo.
Ketika Gio mendengar itu Gio hanya bisa terdiam sambil mengelus dada dan berkata dalam hati “ternyata aku belum bisa untuk melupakanmu Nayla”. Setelah itu Gio beranjak dari kasur dan keluar. Gio bertemu dengan keluarga dari Yoga dan Bowo, bahkan Gio di sana diperkenalkan kepada teman-teman mereka. Gio memutuskan hari ini untuk beristirahat sejenak, namun ketika malam tiba Gio minum di wedangan di daerah kampus sambil menunggu sahabat SMA-nya. Sabirin datang dengan mengagetkan Gio. 
“KAMU... Akhirnya kita bertemu, setelah lulus SMA kita tidak pernah bertemu,” teriak Birin dengan suara keras. Mereka sedikit berbincang disana.
“Apa alasan kamu jalan-jalan sendirian gini bro?” tanya Birin dengan antusias.
“Gini, sebenernya uang yang sudah aku tabung ini udah aku persiapkan untuk jalan-jalan bersama orang yang aku sayang, namun huunganku harus berakhir tepat ketika aku sudah mendapatkan jawaban dari masalahku dengannya.”  Jawab Gio sendu.
“Hahahah... Saya tau orangnya yang inisial namanya N kan yang dulu pernah kamu ceritain lewat telpon.” Birin tampak sumringah.
“hmmmmmmmmmmm” jawab Gio sambil mengelus dada.
“Sudah Bro setidaknya kamu sudah menemukan apa itu prioritas untuk seorang perempuan mungkin dia sekarang sudah bahagia terima sajalah hahahaha...” tambah Birin seakan tidak peduli dengan kesedihan hati Gio
“Benar Bro aku sudah mempelajarinya tetapi aku masih mencintainya dari pertama kali putus hingga sekarang.” Jelas Gio dengan jujurnya
“Yaa sudah setidaknya kamu tau apa yang harus kamu lakukan! Laki-laki tidak akan kehabisan cara.” Birin memberi semangat
Banyak sekali yang Gio ceritakan saat bersama Birin. Waktu menunjukkan saatnya Gio harus kembali ke rumah Yoga dan Bowo untuk beristirahat karena besok pagi Gio akan berkeliling ke hutanhutan di Kalimatan Selatan ini.

***
















“Yang datang pasti akan pergi, lewatkan yang telah berlalu, orang bebas untuk memiliki, kita dituntut untuk bisa menerima semua itu, tanpa harus memaki diri”









“KU TAK SIAP UNTUK MERINDU”

***

25 Janurai 2016
Kali ini Gio sudah siap untuk berangkat menuju Matang Kaladan, sebuah tempat di Kalimantan Selatan. Perjalanan ditempuh selama tiga jam. Gio terdiam ketika melihat hutan yang luas. 
“seharusnya aku bersamamu disini” benak Gio.
Gio ingin memberi tahu pada Nayla bahwa Indonesia itu indah. Gio sangat ingin menjaga Nayla dengan segenap hati, Gio hancur dan bingung,
“apa yang harus aku lakukan agar kau tahu bahwa selama ini aku masih menantimu untuk kembali”, ujarnya dalam hati. Gio bersedih.
Akhirnya sampai juga Gio, Yoga, dan Bowo di Matang Kaladan. pegunungan yang indah dengan semilir angin yang menyejukkan. Angin seperti meneriakkan nama Nayla di sela-sela telinga Gio, berkata bahwa Nayla sudah bahagia.
“Tapi apakah pantas untukku terus dan terus menunggumu hingga saat ini?” lagi, Gio meratap dalam hati.
Seketika Gio tersenyum melihat indahnya anugerah Tuhan ini namun tetap tersimpan raut sedih di hati Gio yang tak mungkin orang lain bisa merasakan ini.
Gio bersama Yoga dan Bowo menunggu senja datang, duduk di sebuah pondok kecil sambil tertawa dengan keadaan dunia, sesekali mengabadikan momen dengan berfoto bersama. Mereka mengajarkan Gio bagaimana Gio harus menikmati ini, untuk tidak terlalu memikirkan Nayla. Perlahan Gio mencoba, namun hati Gio selalu menolak. Yoga dan Bowo yang mengetahui itu kemudian berusaha menghibur Gio dengan membuat Gio sibuk bermain, bercanda dan berfoto agar Gio tak terlalu memikirkan Nayla meski Gio tahu ini hanya sementara.
“Ayo Gi... sedang apa kau? Kenapa harus merenung di saat kita seharusnya bahagia.” Teriak Bowo
“Aku hanya sedang berpikir apakah dia yang jauh disana sedang memikirkanku yang sedang terluka karena lara hati?” ujar Gio lirih
“Sudah Gi, dia sudah bahagia, dan untuk apa kau menunggu menantinya. Bagaimana kalau saat ini kau yang membuat dirimu sendiri bahagia dan menikmati setiap lara yang ada disetiap harimu Gi” kata Bowo sambil menatap Gio kasihan.
“hmmmmmmm... apa mungkin mulai saat ini aku mencoba untuk biasa saja?” tanya Gio setengah pada dirinya sendiri.
“Mungkin saja karena itu yang dapat membuatmu sedikit tidak terluka Gi.” Nasehat Bowo

“Terima kasih mas bow, atas segala sarannya,” kata Gio sambil menunjuk indahnya Matang Kaladan. Mereka pun sempat mengabadikan beberapa momen di Matang Kaladan.
Senja telah datang dan menghilang dari pandangan, tanda untuk Gio bergegas pulang. Mereka kembali menempuh perjalanan selama tiga jamuntuk kembali ke kota. Sesampai di rumah, Gio langsung mandi untuk menyegarkan diri dari kepenatan hari ini, melegakan harapan-harapan Gio tadi.
Malam ini Gio, Yoga, dan Bowo saling berbincang kemana besok akan pergi dan apa yang akan dilakukan, sembari sedikit curhat tentang apa yang Gio alami saat mendaki Gunung Argopuro. 
“Argopuro menjadi saksi perjalananku mencari jawaban dari sebuah masalah” ujar Gio memulai cerita. 
Gio menceritakan semua yang Gio alami di pendakian Gunung Argopuro, ketika dia terus bertemu dua perempuan yang semakin hari semakin cantik, ketika dia mendapatkan sebuah jawaban tentang masalahnya yaitu prioritas, termasuk ketika Nayla menginginkan untuk mengakhiri hubungan dengannya. 
“kamu harus bisa mengikhlaskan itu semua dengan lapang dada walau aku tau hatimu saat ini sedang bersedih dan susah untuk melupakan dia,” nasehat Yoga sambil memutar lagu untuk Gio.
“Tapi apa yang harus aku lakukan agar bisa berlapang dada dan bisa menerima itu semua?” tanya Gio
“Gio... Kamu itu laki-laki, pasti kamu akan menemukan caranya bagaimana bisa menerima ini semua. Teruslah belajar dari keadaan dan pengalamaanmu.” Tambah Yoga
Pembicaraan malam itu telah usai dan saatnya Gio untuk tidur dan memulai hari esok dengan harapan yang baru.

***






















“Haruskah aku mengalah? Haruskah aku mengalah sebelum berperang? Karena kau menuntunku ke jalan rapuh yang membuat hatiku semakin jatuh”











“MELANGKAH TANPAMU”

***

26 januari 2016
Tujuan Gio kali ini adalah Lok Ba Intan (pasar terapung) di Banjarmasin. Disini pasarnya memang masih tradisional, bahkan perdagangannya masih menggunakan sistem barter. Pada saat berjalan menyusuri pasar, mata Gio terpaku pada sosok seorang ibu yang bersemangat sekali mengayuh sampannya (perahu. Pen).  
Tersenyum Gio melihatnya seakan-akan Gio sedang melihat ibunya sewaktu berjuang melahirkan Gio hingga menjadi seperti sekarang. “Ibu oh.. Ibu kamu teramat istimewa bagiku” ujar Gio dalam hati.
Setiap kali Gio berjalan, lagi dan lagi, Gio menemukan sepasang kekasih menyewa kapal untuk membuat momen bersama. Seketika Gio menjadi teringat dengan rencananya berangkat ke Bromo bersama Nayla, namun Nayla batalkan. Pikiran Gio teralihkan ketika Bowo tiba-tiba memanggil.
“Sini Gi, saatnya kamu foto biar ada kenang-kenangan di Lok Ba Intan,” kata Bowo sambil tersenyum, Bowo sudah paham apa yang sedang Gio pikirkan pada saat itu. 
Gio, Yoga, dan Bowo kembali tertawa dan akhirnya pada saat itu Gio langsung berjalan menuju hanging bridge, yaitu jembatan kayu yang diikat dengan kawat. Jembatan itu jadi salah satu sarana warga yang tinggal di seberang sana untuk menyeberang. Gio sedikit takut saat menaiki jembatan karena jembatannya terus bergoyang ketika dilewati. Ketika sepeda motor ingin lewat pun, mereka harus antri terlebih dulu, karena akan sangat berbahaya kalau melewatinya bersamaan.
Selesai dari sana Yoga memutuskan untuk pergi makan Soto Banjar yang katanya soto itu sangat terkenal di Banjarmasin. Pada saat makan tiba-tiba Yoga mendapatkan kabar bahwa adiknya sedang sakit. Saat itu juga, Yoga bergegas untuk pulang agar bisa membawa adiknya menuju rumah sakit. Mereka pun pulang.
Sisa waktu hari itu Gio habiskan untuk packing dan bersiap-siap, karena malam ini Gio, Yoga, dan Bowo akan berkemah di Danau Biru Pengaron. Yoga masih sangat sibuk karena mengurus adiknya yang sakit. Wajah Gio menjadi sedih, karena merasa sudah menyusahkan mereka di sini. Gio memasukan baju, membersihkan tenda, dan bergegas mandi. Akhirnya packing selesai dan saatnya untuk berangkat menuju Danau Biru Pengaron.
“Time to camping ciaaaoooo..” seru Gio. Perjalanan ke danau ditempuh selama lima jam, harus menuju kedalam pertambangan Batubara yang ada di Banjarmasin terlebih dahulu. Di jalan Gio asik tertawa, pada saat melewati Martapura Bowo berkata ,
“Disini permpuannya putih putih loh” katanya sambil senyumsenyum.
Ketika Gio lihat beberapa perempuan yang mereka lewati, memang putih sekali wajahnya, tapi bedak semua. Namun Gio salut dengan Martapura, karena Martapura adalah kota pengasil intan yang indah.
Gio sempat melihat mesjid terbesar di Martapura, walau kotanya kecil kehidupan disini sangat teratur dan tenang. Sampai di depan gerbang pertambangan, Gio sedikit takut karena jalannya sangat gelap dan tidak ada lampu jalan. Namun Gio melihat satu cahaya lampu jalan persimpangan.
“Saya lupa jalannya”, seketika Yoga berkata. Gio sedikit kaget mendengarnya, namun dibawa santai. Disini jarak antar perkampungan sangatlah jauh. Gio selalu melihat motor lewat silih berganti, Gio bertanya-tanya apa yang sedang mereka lakukan, Bowo menjawab mereka sedang melakukan penjagaan malam, berkeliling tambang Batubara. Yoga sempat kebablasan pada saat itu, terhenti di sebuah kampung dan bertanya kepada orang-orang di kampung itu,
“Untuk menuju Danau Biru Pengaron sebelah mana yah Pak?” kata Gio pada seorang bapak yang sedang jaga di persimpangan jalan.
“Wah Masnya kelewatan tuh harusnya Masnya belok ke kiri nanti langsung kelihatan danaunya” Mereka menjawab dengan halusnya.
Gio langsung memutar kepala mengikuti arah di tunjukan warga.
Let’s go....!
Sesampainya di Danau Biru Pengaron, Gio terdiam karena lokasinya sangat gelap dan tidak ada cahaya. Mereka mendirikan tenda dan membuat api unggun sambil bercerita hangat dengan ditemani secangkir kopi. Seorang bapak paruh baya menghampiri mereka.
 “Mas kalau butuh kayu bakar ambil aja Batubara itu Mas, biar lebih lama”, ujar bapak tersebut dengan sopan. Gio dan Yoga tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Gio sangat senang saat itu, menikmati langit yang dihiasi oleh bintang dan bulan, dan tanpa sadar Gio tersenyum sendiri. Tibatiba bayang Nayla terlintas dibenak Gio.
“Dia sedang apa ya? apa mungkin dia sedang memikirkanku?
Hihihi,” gumam Gio, diam sambil tersipu malu. 
Namun Gio tau itu hanya sebuah harapan. Perlahan mata mulai mengantuk karena semilir angin danau. Akhirnya Gio tertidur, tidak sabar bertemu pagi untuk bisa langsung merasakan air Danau Biru Pengaron.

***














“Kau memilih untuk mengakhiri cerita cinta ini. Aku yakin suatu saat kau akan mengerti apa artinya mencintai”









“LARA”

***

27 januari 2016
Gio terkejut saat melihat betapa indahnya Danau Biru Pengaron, airya biru dan tenang, tak ada ombak yang harus ditakutkan. Gio tak tahan untuk segera berenang disana, pasti segar. Namun Bowo berkata,
“Danau ini sangat dalam Gi, kalau tidak bisa berenang sebaiknya jangan terjun ke danau,” kata Bowo.
“Hahah tidak apa-apa,”  Gio terkekeh. 
“1..2..3.. Nayla..!!” loncat Gio sambil meneriakan nama Nayla. Untungnya orang-orang di sekitar Gio tidak mendengar itu. Tak lama kemudian Bowo menyusul Gio melompat namun kakinya terluka karena terkena dinding bekas tambang. Kaki Bowo robek dan berdarah. Bowo memutuskan untuk berhenti berenang. Walau begitu, Gio dan Bowo sangat menikmati itu semua. 
Gio melihat ikan-ikan kecil di pinggir danau, Gio masukan kakinya ke danau dan langsung dikerumuni oleh ikan-ikan kecil itu. Ini terasa seperti terapi ikan. Ikan-ikan itu menggigit-gigit kaki Gio, sangat menyenangkan dan membuat Gio rileks. Gio merenungkan tentang Nayla yang sudah bukan lagi menjadi milik Gio 
“Aku tau saat ini kau sedang bahagia dengan apa yang kau pilih, kuharap kau bisa mengerti apa yang kupendam dan aku rasa selama ini” batin Gio.
Setelah puas menikmati Danau Biru Pengaron, Gio berkemas dan pulang ke Banjarbaru untuk beristirahat. Badan Gio terasa amat lelah. Namun esok harus melanjutkan perjalanan menuju Desa Loksado, dan untuk sampai disana akan memakan waktu enam jam perjalanan.
Sesampai di Banjarbaru, Gio beristirahat, kemudian mandi dan pergi ke warung kopi. Gio berbincang dengan penjual kopi dan Bowo hingga malam datang.
Gio ingin sekali makan nasi padang. Gio memutuskan untuk membeli nasi padang di warung terdekat, Dikira harganya akan berbeda jauh dengan Jawa, ternyata tidak. Disini Gio membeli nasi ayam hanya 15 ribu. Sedikit terobati dengan masakan padang, Gio kembali ke rumah sambil bermain facebook, Gio ingin melihat apa ada teman-teman lamanya yang sedang online, untuk bisa sedikit bernostalgia, tetapi malam itu tidak ada satupun yang online. 
Malam pun semakin larut, Gio masih saja teringat tentang Nayla, raut wajah Nayla, senyum Nayla dan tawa Nayla. Namun selalu Gio menegaskan ke dalam hati bahwa Gio bukan siapa-siapa lagi, Gio meneteskan air mata untuk melegakan hati dan Gio pun tertidur dalam kesedihan.










“Bukan tentang nestapa, bukan tentang hiruk pikuk dunia.
Melainkan ini tentang rasa yang sudah terluka karena cinta”









“NELANGSA HATIKU MENGINGATMU”

***

28 Januari 2016
Gio menuju ke air terjun dan Bukit Langara di Desa Loksado, kali ini harus menempuh perjalanan selama 6 jam. Kali ini selain Bowo, Yoga dan pacarnya, juga ada Syahrul. Teman dari Bowo yang diperkenalkan ke Gio.
Disana Gio langsung menuju ke Air Terjun,  Gio tergoda akan airnya yang mengalir jernih, membuat Gio ingin merasakan segarnya air Kalimantan tersebut. Hasrat semakin tertantang ketika melihat sebuah batu besar di dekat Air Terjun itu, Gio ingin mencoba melompat dari batu itu. Gio putuskan untuk menaiki batu itu namun selalu terpeleset karena sangat licin, Gio terus berusaha seperti Gio yang selalu berusaha menerima keadaannya.
Akhirnya Gio berhasil menaiki batu itu, gemetar seluruh badan ketika melihat ke bawah dari atas batu yang tinggi itu. Namun mau bagaimana lagi Gio harus melawan ketakutannya untuk mengetahui sesuatu hal yang baru.
Gio menghitung dalam hati “1.2.3 lompat”, rasanya seperti beban masalah seketika hilang saat Gio melompat dari batu itu.  Mereka bermain air dan sesekali berbincang mengenai budaya-budaya di Kalimantan. Syahrul menceritakan kepada Gio tentang banyak hal yang belum pernah Gio dengar sebelumnya. 
Setelah selesai di air terjun, Gio menuju ke tujuan berikutnya yaitu Bukit Langara. Bukit Langgara sangatlah indah, Gio melihat hijaunya hutan dan sungai kecil di bawahnya, sangat menenangkan hati Gio. 
Ketika tengah menikmati pemandangan bukit yang indah, Gio melihat seseorang perempuan dan dengan keisengan Gio memberanikan diri meminta agar berfoto dengannya sekedar untuk berkenalan dan saling sapa. Melihat Yoga dan pacarnya berfoto membuat Gio teringat dengan Nayla.
“Andaikan kamu ada disini, mungkin aku juga bisa berfoto seperti itu, batin Gio.
Namun Gio sadar itu hanya mimpi. Gio sangat berharap Nayla mampu mengerti keadaan Gio, namun Nayla tak mampu mengerti apa yang Gio rasa dan Nayla tak mampu tau apa yang Gio inginkan. Gio menjadi begini itu semua karena Nayla, Gio ingin selalu bisa menjaga Nayla dikala sedih dan bahagia.
“Apakah aku harus mengatakan sampai jumpa, merelakan dirimu dan harus siap dengan semua pilihanmu? Aku hanya bisa berharap ini semua terbaik untukmu”, ucap Gio lirih dalam hati.
Gio kembali ke kota Banjarbaru, untuk melupakan tentang  keluh kesahnya. Sesampainya di rumah, badan Gio terasa lelah, ingin rasanya Gio mengistirahatkan badan, namun Gio harus pergi untuk membuat gelang senpai bersama teman-teman Bowo dari Mapala Apache Kalimantan Selatan. Pada saat membuat gelang, Gio sempat mengucapkan janji : 
“Aku akan kembali ke kesini lagi bersamamu dan menyenpai gelang itu berdua bersamamu.” ujar Gio dengan semangat dan mantap. Bowo hanya tertawa mendengar impian Gio.
“bukannya sudah putus.” sindirnya.
“Uppsss aku lupa,” kata Gio dengan malu yang tak tertahan.
Birin--teman SMA Gio—datang bersama pacarnya, Bunga. Dia datang sambil tertawa-tawa melihat wajah Gio yang sudah gosong kepanasan. Birin hanya mampir sebentar karena Birin harus mengambil foto wisudanya Bunga.
Gio tetap di tempatnya semula, menyenpai gelang hingga selesai. Menyenpai gelang ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama. Hingga membuat Gio sedikit mengantuk. Gio sangat senang bisa mendapatkan gelang langsung dari sini. Selesai gelang itu dibuat, Gio langsung mencari warung kopi untuk menikmati malam di Banjarbaru bersama teman-teman barunya. 
“Senang rasanya bisa berkenalan dengan orang-orang baru yang membuat setiap perjalanan ini semakin berarti” kata Gio. Hingga larut malam mereka pun pulang ke rumah masing-masing.

***
             









“Kenapa semua ini terjadi kepadaku? Aku tak bisa jauh dari angannya, karena sesungguhnya aku masih mencintainya.”










 “TABULAKU TERLUKA”

***

29 Janurai 2016
 Hari ini Gio memutuskan untuk diam di rumah dan tidak kemanamana, mungkin akan lebih baik jika mengistirahatkan tubuhnya yang kecil ini. Gio mengisi aktivitas hari ini dengan mencuci bajubaju kotornya selama perjalanan.
Namun di sela-sela waktu, Gio berjalan di seberang landasan terbang, melihat alang-alang yang tumbuh. Gio harus bisa terus dan terus berusaha untuk melupakan Nayla agar bisa berjalan sendiri tanpa memikirkan Nayla yang sudah membuat hatinya terluka. Tetapi tetap saja Gio tidak bisa melupakan Nayla dengan secepat itu, layaknya pesawat yang harus meninggalkan tempat dimana dia berhenti. Gio tak seperti itu, melainkan Gio seperti hujan yang jatuh ke dalam tanah yang mengendap sejenak di dalam tanah sehingga membantu sebuah tanaman untuk tumbuh.
“Dimana pun kau berada saat ini harapku kau tetap bahagia, dimanapun kau berada harapku selalu bisa menemanimu walau hanya dengan bayangan, dimanapun kau berada aku ingin kau selalu ingat tentang kita, dimanapun kau berada aku berharap kau tak kembali membawa cahaya surga ke hadapanku, dimanapun kau berada aku harap kau tak sesekali  kembali ke dalam kehidupanku. Dan andai saja aku tau dimana dirimu saat ini mungkin aku akan datang dan berkata kalau kau pantas untuk kuperjuangkan”, ucap Gio dengan khusyuk dalam sedu-sedan.
Sore pun tiba, Gio harus berjalan kembali ke rumah Yoga dan Bowo. Gio langkahkan kakinya dengan kepercayaan diri yang tinggi pada saat itu, menegakkan kepala dan tak menyimpan wajah sedih. 
Saat malam tiba Gio memilih untuk berbaring melihat plafon atap kamar sambil mendengarkan lagu dan meresapinya.  Playlist 04 – Fly Alice menjadi teman Gio malam ini, lirik lagu ini Gio dan Mir yang membuatnya I will fly, I will start, Living Without You By Myside. Mungkin terlalu gila mendengarkan lagu sedih saat ini, namun ini mampu membuat Gio sadar akan sebuah keadaan yang sedang terjadi, agar bisa lebih tegar dan menerima semua. Mata Gio perlahan mulai mengantuk dan pundak terasa berat, seketika Gio menutup matanya dan melupakan segala hal untuk beberapa saat saja.

***












“Mencintai itu tidak salah, tapi akan menjadi salah ketika kita mencintai seseorang yang tidak mau memperjuangkan kita”










 “SUDAH KULAKUKAN BANYAK CARA
UNTUK MELUPAKANMU”

***

30 Janurai 2016
Beristirahat di rumah jadi pilihan tepat. Terlalu berat rasanya badan untuk bergerak, karena setelah Banjarmasin Gio harus ke Balikpapan. Gio mengisi waktu dengan berbincang dengan wargawarga sekitar sembari mencari charger handphone dan sekalian mencari paket internet.
Sorenya Gio menuju alun-alun Banjarbaru untuk sekedar menikmati sore sambil memesan teh hangat. Bowo menunjukkan alat latihan wall-climbing milik Mapala di kota Banjarbaru. Bowo menawarkan  Gio untuk mencobanya, namun Gio tidak memiliki keberanian untuk naik ke atas sana. Jika salah melangkah saja maka Gio akan terjatuh ke bawah. Sama seperti sekarang jika sedikit saja salah langkah, Gio akan kembali terjatuh di lubang yang sama.
Seketika Gio membayangkan hal itu.
Gio kembali berkeliling menikmati kota Banjarbaru dan kembali lagi ke warung kopi yang sama. Teman Gio yang bernama syahrul menyusul Gio saat sore. Syahrul datang dengan tiga orang temannya. Perempuan semua. Gio dikenalkan pada seorang perempuan. Menurut Gio perempuan itu cantik. Tapi hanya karena cantik saja bukan berarti Gio senang atau berniat untuk mendekati perempuan itu. Gio belum bisa melupakan Nayla hingga sekarang sehingga harus terus berpikir untuk maju dan tidak jatuh di lubang yang sama. Namun entah kenapa setiap Gio melakukan perjalanan, Gio selalu jatuh di lubang yang sama. Gio hanya bisa tertawa karena ternyata hati Gio masih terisi oleh nama Nayla.
“Mungkin aku adalah orang yang bodoh karena terus mengharapkan seseorang yang sudah membenciku” Gio bergumam lirih.
Menurut pengamatan di group kampus, dan informasi dari temanteman dekat Gio, kini Nayla bahkan sangat membenci Gio. Penyebabnya adalah gosip di kampus. Ada yang menjelek-jelekkan nama Gio di kampus dan membuat Nayla percaya dan memakan mentah-mentah gosip tersebut. Gio sakit sekali ketika mengetahui siapa yang membuat Gosip itu. Gio membiarkan saja, mungkin orang tersebut senang mengurusi kehidupan Gio. Apalagi yang salah dengan Gio sehingga orang itu tega melakukan hal seperti itu, namun Gio adalah orang yang tidak mempedulikan itu.
Gio, Syahrul dan Bowo memutuskan untuk pulang dari warung kopi karena besok Gio harus bertemu dengan Birin di Kota Banjarmasin. Sampai di rumah, Gio langsung melompat dan mencari tempat enak untuk tidur. Gio menginginkan saat ini tidur dengan lelap, karena tidur yang dapat membuat Gio sejenak lupa akan keluh-kesah dunianya.









“Perlahan tertekuk pundakku saat menatapmu. Perlahan ku peluk lututku saat kau melintas di depanku, ku coba mampu untuk melihat semua itu”










 “KEJAMNYA NESTAPA DUNIA”

***

31 Januari 2016
Gio menuju ke kota Banjarmasin untuk bertemu Birin dan teman kuliah Gio di Yogyakarta bernama Arif. Ketika Gio sampai di Banjarmasin, Gio langsung menuju kosan Birin dan berbincangbincang dengan teman-temannya birin. Akhirnya malam itu Gio dan Birin memutuskan untuk menikmati malam di pusat kota Banjarmasin. 
Gio bertemu dengan Arif. Gio dan Birin diajak untuk mencoba makanan lontong sayur Kalimantan dan nasi kuning, semuanya ditraktir oleh Arif. Setelah itu Gio dan Birin lanjut menuju warung kopi di Coffee Toffe untuk bertemu dengan Bowo. 
Gio terkejut karena tiba-tiba ada razia narkoba. Gio melihat itu amat kasian pada orang yang tertangkap. Namun mau bagaimanapun dia salah karena telah menjual barang haram tersebut kepada generasi muda mudi Indonesia. Setelah hirukpikuk itu, kembali Gio, Birin, dan Bowo menikmati kopi dan berbincang hangat tentang dunia.
“Bagaimana? Apa sudah ikhlas dengan keputusannya?” tiba-tiba Birin menanyakan itu. Gio hanya terdiam tak bisa menjawabnya. 
“Dari pada sedih lebih baik kita foto-foto untuk disombongkan ke teman-teman kelas kita dulu” ujar Birin. Gio hanya tersenyum mengiyakan. Setelah foto itu diunggah di group kelas, banyak sekali pesan masuk di handphone Gio, banyak orang bertanya, 
“Kamu sedang sama Birin?”
“Titip salam yah buat dia”
Yah sangat dimaklumi karena Birin terlahir eksis pada masa SMA dulu. Gio hanya tertawa melihat pesan teman-teman sekelas itu.
Waktu sudah menunjukan jam 23.00 ketika Gio dan Bowo pulang ke Banjarbaru.  Perjalanan ditempuh satu jam dari kota Banjarmasin. Gio dan Bowo berhenti di ATM untuk mentransfer reservasi tiket karena Gio mendapatkan tiket murah untuk melanjutkan perjalanan menuju Balikpapan. Tiket sudah dibeli dan tinggal menunggu hari keberangkatan. Gio pikir lebih baik akhirakhir ini Gio menghabiskan waktu di kota saja, karena besok Gio harus bertemu dengan Birin lagi.

***












“Aku tak butuh alasan untuk melakukan semua ini, yang kutau aku hanya ingin bebas dan lepas”










 “SISI LAIN”

***

1 Februari 2016
Hari ini Gio memiliki janji di Banjarmasin, Gio bersiap-siap untuk berangkat. Gio berangkat ke Banjarmasin di sore hari pukul 15.00, dan sampai di tempat Birin sekitar jam 17.00. Sesampai di kosnya, Gio sedikit jengkel dan kecewa terhadap Birin, Gio dapati saat itu Birin meminum obat-obatan yang membuat Birin tidak sadar diri.
Gio kesal sekali melihat teman-teman satu kos Birin dan ingin sekali Gio rasanya mengajak mereka berantem satu persatu karena Gio jauh-jauh datang dari Jogja malah melihat teman SMA-nya menjadi seperti ini. 
“Cukup aku kehilangan seseorang yang aku sayang dan aku tidak mau kehilangan teman yang sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri” ujar Gio.
“Gio, jangan melakukan hal-hal arogan di sini, karena ini bukan kampungmu, dan  ini semua juga kehendak dari teman SMA-mu itu,” kata mas Bowo sambil bersuara tegas.
“Aku mengerti mas Bowo, tapi birin adalah saudaraku dan aku tidak bisa melihat dia seperti ini. Sungguh jahat teman-temannya disini, aku tak cukup kuat untuk menahan amarahku, ingin sekali aku berantem dengan mereka semua, walau ujungnya aku harus kalah, ujar Gio lirih pada Bowo.
“Iyaaa.. aku mengerti, tolong dengar, ini adalah keputusan temanmu sendiri jadi jangan salahkan mereka.” Ujar Bowo.
Seketika amarah Gio reda dan Gio hanya bisa menghelus dadanya. Akhirnya Gio menggendong teman SMA-nya ke kamarnya, dan disana Gio melihat pacar Birin yang bernama Bunga.
“Kenapa dia?” Bunga hanya menangis pada saat itu.
Entah kenapa bunga menangis dan Gio tak mengerti, perlahan Gio bertanya kepada Bunga
“Kamu kenapa?” ujar Gio.
“Maafkan aku yang tidak bisa jadi pacar yang baik buat birin, aku tidak bisa mencegah dia melakukan ini, kau jauh datang dari Jogja hanya untuk ketemu dia, namun sekarang keadaan dia seperti ini, aku tau itu sangat membuatmu kecewa,” ujar Bunga menangis. 
“Jujur aku tidak mempermasalahkan itu, aku harap hal yang seperti ini bisa menjadi pelajaran untuk hubungan kalian, jangan saling meninggalkan satu sama lain ya,” nasehat Gio sambil meletakan kepala Birin dikasur secara perlahan.
Seharusnya Birin sadar bahwa dia mendapatkan seseorang kekasih yang sangat baik dalam hidupnya. Kemudian Gio pergi membelikan susu untuk Birin agar dia sedikit merasa lebih segar.
Akhirnya Gio habiskan harinya untuk mengurus Birin.
“Bunga aku pamit dulu yah ke Banjarbaru, karena tak lama lagi aku akan melanjutkan perjalananku,” kata Gio, berdiri di depan pintu sembari menatap Birin yang sedang tertidur.
“Iya Gi... Maafkan kita ya Gi, semoga kita bisa bertemu kembali dalam keadaan yang lebih baik,” ujar Bunga masih sedih.
“Amin, itu harapku untuk Birin dan kamu. Tolong jaga dia dan jangan sampai hal ini terulang kembali.”
Gio masih tidak percaya dengan apa yang baru terjadi, Gio kecewa dan marah, namun Gio harus terima karena itu sudah pilihan Birin. Gio percaya masih ada hari esok untuk bisa bertemu Birin lagi. Gio menekankan dalam hatinya bahwa ini adalah sebuah jalan kehidupan yang setiap orang bebas untuk memilihnya.

***

















“Nestapa dunia membuatku terpatri untuk melihat mentari”











 “BUKAN SEKEDAR ANGAN DAN
HARAPAN”

***

2 Februari 2016
 Gio terbangun di pagi hari, Gio ambil handphone dan Gio melihat notifikasinya, disana ada pesan masuk dari sahabat karib Gio itu
(Birin).
“Aku ingin bertemu denganmu malam ini,” ujar Birin lewat pesan singkat.
“Ya ayo kita bertemu malam ini” balas Gio sigap.
Sembari menunggu malam datang, Gio mengurus cucian baju Gio karena esok Gio akan melanjutkan perjalanan menuju Balikpapan. Siang hari Gio berkeliling kota Banjarbaru, menikmati kota dan berharap akan bisa kembali lagi kesini. 
Malam tiba, Gio berjanji bertemu dengan Birin di angkringan. Gio mengajak Bowo untuk menemaninya bertemu dengan Birin, tak lama Birin pun datang ditemani Bunga. Disana awalnya kita tertawa berbincang hal-hal santai namun seketika Gio berkata,
“Aku butuh waktu sedikit untuk bicara dengan Birin dan Bunga,” bergetar nada suara Gio saat berbicara.
“Seharusnya kamu merasa beruntung bisa mendapatkan seorang kekasih seperti dia Rin, yang mau mengurusi kamu dalam keadaan apapun. Dia menangis malam itu, apa kamu sadar?” ujar Gio tegas.
“Maafkan aku Gi, itu di luar kendaliku,” bela Birin. Seketika Bunga menangis mengingat kejadian itu.
“Liat sekarang! Bunga menangis atas apa yang kau lakukan kemaren. Rin, kamu sudah dewasa dan aku yakin bahkan lebih dewasa dibandingkan aku. Jadi tolong jaga Bunga dan cintai dia selayaknya kau mencintai orangtuamu” tegas Gio. 
“Kau tak tau apa yang aku rasa Rin, saat ini hatiku sedang hancur karena seseorang, aku terpuruk dengan keadaan, aku bersedih akan waktu. Jadi tolong hargai pacarmu yang sudah menyayangimu dengan sepenuh hati. Jangan seperti aku, aku adalah salah satu contoh yang tidak baik karena tidak bisa memprioritaskan pacarnya. Bahkan mungkin aku tidak bisa membuat dia tersenyum dan bahagia, jadi tolong hargai dia. Aku harap kejadian seperti kemaren menjadi pertama dan terakhir yang aku liat, jangan kau buat Bunga menangis lagi,” Gio bergumam dalam hati lirih.
Bunga masih menangis 
“Sekarang lebih baik kalian menyelesaikan permasalahan kalian dengan secara dewasa.”  ujar Gio pada Birin dan Bunga.
Gio berada dalam posisi dimana Gio merasa jatuh bahkan tertatih. Dibenak Gio terpatri akan bayangan Nayla. Gio masih menyayangi Nayla bahkan mencintai Nayla, dari sejak Nayla mengakhiri hubungan ini. Tapi Nayla tidak tau bagaimana menderitanya Gio yang masih menyimpan semua file video Gio bersama Nayla, menyimpan foto Nayla di dalam dompet, Gio bahkan terkadang bahagia ketika melihat Nayla. Gio hancur karena Nayla tidak pernah tau, bahwa disini Gio selalu mendoakan dan selalu ingin melihatnya bahagia.
Disini Gio berfikir, mencoba untuk memalingkan hati ke orang lain. Namun Gio belum siap untuk itu, Gio terus mencoba tapi hatinya tetap berkata tidak. Jadi Gio memutuskan untuk sendiri.
“Besok aku akan memulai perjalananku menuju Balikpapan, pesawatku berangkat pukul 18.00, kalau emang besok ada waktu kita bertemu lagi ya!” ujar Gio pada Birin.
Mereka berpamitan malam itu setelah semuanya kembali normal seperti biasa.

***













“Aku tak cukup berani untuk mengatakan aku masih mencintaimu, tapi aku cukup berani untuk memendam itu”










 “SEKEDAR EUFORIA”

***

3 Februari 2016
Mengawali pagi dengan senyuman, Gio langsung packing semua baju dan bersiap-siap melakukan perjalanan sore nanti. Gio pun berpamitan dengan orang-orang di sekitar rumah Yoga dan Bowo untuk melanjutkan perjalanan Gio menuju Balikpapan. 
Sore pun tiba, sedikit menghirup udara sore untuk terakhir kalinya di Banjarbaru. Gio menerima pesan singkat dari Birin yang mengatakan bahwa dia belum tau bisa menuju bandara atau tidak karena hujan. Gio menuju bandara pukul 17.00, sampai di bandara Gio langsung mengurus boarding pass dan check in.
Gio sedang duduk di dalam sembari mendengarkan lagu dengan santai ketika mendapatkan sebuah pesan singkat dari Birin.
“Keluar aku di depan bersama Bunga Gi.” Ujar Birin di pesan singkat.
Tapi pesawat Gio akan berangkat 15 menit lagi, Gio ragu apakah sempat untuk keluar, Gio ketinggalan pesawat. Setelah berpikir dengan cepat, akhirnya dia memutuskan untuk menemui mereka.
Gio pun berlari keluar dan melihat Birin dan Bunga basah kuyup karena hujan, Gio hanya terdiam melihat keadaan mereka.
“Aku pamit ya, terima kasih atas semuanya,” ujar Gio, seketika Birin memeluk Gio. 
“Maaf atas kejadian kemaren,” kata Birin sambil memeluk Gio dengan erat.
“Kita akan bertemu lagi dengan posisi yang lebih baik dan dengan keadaan yang lebih bagus, terima kasih, sampai jumpa,” ujar Gio.
Seketika Bunga juga memeluk Gio. Terlihat raut wajah Birin seperti ingin menangis, saat Birin meneteskan air mata Gio terharu dan menangis pula, terasa berat kaki untuk melangkah meninggalkan mereka.
“Sudah sana masuk nanti ketinggalan pesawat,” ujar Birin.
Namun, ketika Gio ingin melangkah ke dalam, Birin menghentikan langkah Gio sejenak.
“Ayo foto dulu buat kenang-kenangan” Birin menarik tangan Gio dan segera mengatur posisi.
Selesai foto, Gio langsung berlari ke dalam karena Gio mendengar panggilan, “Untuk Bapak Agio Jati Suryatama agar segera memasuki pesawat karena pesawat akan segera diberangkatkan.”  
Gio harus melanjutkan langakahnya kembali, banyak sekali pelajaran kehidupan yang Gio dapat di sini.










“Setiap manusia bebas untuk memilih kehidupanya, tapi jangan pernah membiarkan orang yang kalian akung terjerumus di dalam sebuah lubang neraka”









 “SEHARUSNYA MERELAKAN LEBIH

BAIK DARIPADA MELUPAKAN”


***

3 Februari 2016
Gio mendarat di kota Balikpapan dan disambut dengan bandara yang megah dan besar. Sudah seperti mall. Ramai sekali orang yang kesini. Namun, Gio sedikit kecewa karena yang Gio lihat dari atas langit sana banyak sekali limbah perusahan-perusahaan yang merusak alam dan berserakan.
Gio berjalan menuju pintu keluar dan melihat seseorang dengan jumper hitam, celana pendek dan sepatu vans. Gio mengenali orang itu, dialah teman satu kampus Gio yang bernama Heru. Gio sudah menghubunginya sebelum tiba di Balikpapan.
Gio pun menghampiri Heru dan langsung disambut dengan sebuah pelukan hangat darinya. Sambil menuju parkiran motor, Gio tersenyum dan berkata,
“Wah, sekarang aku sedang berada di Balikpapan speechless rasanya, memulai perjalanan ini sendirian aku kira akan berbahaya namun ternyata menyenangkan.” kata Gio senang
Detik demi detik berlalu, Gio dan Heru berkendara menuju rumah Heru, butuh waktu kira-kira 30 menit dari Bandara Sepinggan untuk sampai kesana.
Terharu Gio saat melewati sebuah tepi lautan kecil yang dengan jelas memperlihatkan matahari terbenam dihiasi kapal-kapal nelayan dan hutan konservasi.
“Biasanya di sini kalau sore hari banyak sekali monyet-monyet berkeliaraan,” Heru berkata sambil menunjuk Gio. Gio dan Heru pun tertawa.
Gio berpikir memang candaan itu perlu dalam sebuah pertemanan untuk keakraban dan menjadi dekat. Namun, akan lebih baik lagi ketika saling melemparkan candaan di waktu yang tepat dimana sama-sama sedang dalam mood yang baik sehingga tidak akan ada yang tersinggung dan merasa sedih akan candaan yang di lontarkan. 
Heru ini adalah seseorang yang pendiam di kampus, Heru sangatlah baik, rajin kuliah, dan jarang sekali skip dalam mata kuliah kampus, Heru selalu tersenyum. Suatu kebanggaan bagi Gio bisa mengenal keluarganya yang berada di Balikpapan. Akhirnya Gio sampai di rumah Heru, dengan wajah senyum Gio melangkahkan kaki, Gio merasa sedikit canggung karena Gio harus beradaptasi lagi. Di Balikpapan pasti berbeda dengan Banjarmasin dan Jawa. Ketika malam datang Gio makan bersama Heru, Gio di belikan bebek bakar oleh keluarganya Heru.
Gio terharu, Gio disambut dengan sangat baik disini. Gio diberikan makanan selayaknya anak sendiri. Selesai makan, Gio memutuskan untuk membuat kopi hitam mengisi buku catatan perjalanannya yang berisi tentang PERJALANAN HATI.
Dari lantai dua rumah Heru, Gio menikmati suasana baru, hari ini Gio merasa mengenal Heru lebih dalam. Ternyata Heru adalah seseorang yang hebat di keluarganya. Heru orang yang low profile, tidak ingin menunjukan apa yang dia punya di depan orang lain.
Saat sedang mengisi buku catatan, seorang pria paruh baya menghampiri Gio di depan. Pada saat itu Gio sedang merokok sembunyi-sembunyi, tidak enak jika ketahuan oleh keluarga Heru. Namun, orang tua itu berkata,
“Merokok saja Mas tidak papa.” Ujarnya sopan.
Ternyata dia adalah Om dari Heru. Omnya Heru bercerita sedikit tentang Heru. Gio terdiam sebentar mendengar cerita dari omnya.
“Di Pasar Baru Heru dulunya suka berantem, namun sangatlah ramah dengan orang-orang di sekitarnya dan selalu membantu orang tuanya setiap hari,” kata omnya Heru.
“Menurutku kenakalan Heru sangat wajar om, tapi mulai hari ini aku sangat salut dengan Heru om.” Tegas Gio
Dulu Gio juga seperti itu, namun yang membuat Gio salut padanya, Heru tidak pernah melupakan yang namanya keluarga. Mungkin itulah bedanya dengan Gio. Gio tidak memiliki sebuah keluarga yang akur, yang ada hanya berantem dan berantem sehingga kedua orangtua Gio harus berakhir dengan perceraiaan. 
Kemudian omnya Heru pamit dari hadapan Gio, Gio pun kembali menulis buku catatan perjalanannya. Tak lama kemudian, seseorang yang sudah tua tiba-tiba datang sambil membawa kopi. Gio semakin kaget, siapa lagi ini tiba-tiba datang, ternyata adalah ayahnya Heru. Gio berbincang bersamanya hingga larut malam. Banyak sekali yang Gio ceritakan dari tentang prasejarah, Islam hingga sebuah organisasi yang pernah mencoba untuk memukuli Gio. Gio tersenyum sendiri dan tertawa bersama ayahnya Heru. Banyak pelajaran baru yang Gio dapatkan di sini, seketika hening dan ayah Heru bertanya,
“Nak kamu berapa hari di sini?” tanya ayah Heru
“Di sini aku hanya satu hari Pak karena besok aku harus melanjutkan perjalanan aku menuju kota Palu, Sulawesi, aku sudah terlanjur janji dengan seorang teman disana Pak,” kata Gio. 
“Singkat sekali yah kamu di Balikpapan nak,” ayahnya Heru sambil menyeruput kopi hangatnya.
 Berbincang dengan ayah Heru membuat Gio rindu dengan sosok seorang ayah yang selalu menemani Gio saat Gio merasa hancur, dan memberi Gio motivasi untuk menjalani hidup. Sudah sangat lama Gio tidak merasakan nikmatnya bercerita hangat dengan sosok seorang ayah. Gio dan ayahnya selalu bertengkar setiap bertemu. Terkadang ingin sekali rasanya bisa merasakan apa yang dirasakan anak lain, namun Gio yakin suatu saat nanti ayah akan mampu berubah dan menerima diri Gio dengan baik-baik saja seperti yang selalu Gio impikan. 
Setelah cukup lama berbincang, akhirnya ayah Heru pamit dan mempersilahkan Gio untuk beristirahat. Tapi mata tidak ingin tertutup malam itu, Gio masih ingin menikmati malamnya yang hanya satu hari ini di Balikpapan.
Ketika Gio kembali menulis buku catatannya, tiba-tiba nama Nayla terlintas di pikiran Gio, Gio tersenyum dan bertanya kepada bintang, “Hei, apakah sekarang dia sedang melihatmu?, ” ujar Gio sambil tertawa sendiri.
Beralih menatap bulan, Gio berkata,  
“Tolong sampaikan kepadanya aku ingin sekali memegang tangannya, memeluknya, dan ingin sekali kembali menjadi imam di setiap sholatnya. Katakan juga aku ingin menuntunnya agar dia selalu aman dan terjaga di kehidupan yang fana ini.”
Tiba-tiba bayang dan kenangan tantang Nayla menyeruak dan memenuhi pikiran Gio. Tanpa sadar, Gio mulai menitikkan air mata, rasa rindu ini, Gio tidak kuat menahan rasa rindu ini, rasa yang hanya bisa Gio pendam, tanpa bisa Gio ungkapkan. 
Selama ini hingga sekarang, Gio selalu saja senyum-senyum sendiri dikala sedang teringat apa yang terjadi di Pantai Sadranan, bagaimana cara Gio menyatakan cinta kepada Nayla untuk menjadikan seseorang yang spesial dalam hidup Gio, dan kenangan-kenangan lain tentang Nayla.
Angin membisikkan pada Gio, malam ini Gio harus istirahat, biarkan semua pertanyaan itu tersimpan di hati yang terdalam, biarkan dia tetap terjaga dan namanya tetap tersimpan rapi di dalam pikiran.

***























“Kehidupan itu adalah sebuah resiko yang mana manusia harus menerima semua resiko dengan lapang dada tanpa mengeluh dan harus terus berusaha untuk itu semua”











 “TERPATRI MENCARI ARTI”

***

4 Februari 2016
Gio selalu memulai hari demi hari dengan harapan baru ketika melangkahkan kaki di hari ini bahkan di setiap harinya. Hari ini Gio berjanji untuk bertemu dengan teman-teman kampusnya yang tinggal di Balikpapan, yaitu dua orang perempuan. Gio berjanji bertemu di Pasar Segar. Sebelum bertemu, paginya Gio dan Heru keluar bersama mencari makanan untuk mengganjal perut sambil menikmati kopi hangat dengan suasana pagi yang indah disini.
Saat menuju ke pasar segar tiba-tiba ban motor Heru bocor. Heru pun berhenti sejenak dan menambal ban. Gio penasaran akan sesuatu.
“Apakah mahal ketika menambal ban disini?” tanya Gio. Namun Heru hanya tertawa mendengarnya. 
Setelah selesai ditambal, Gio bertanya lagi, “Berapa kamu bayar Heru?”  
“25 ribu,” jawab Heru sambil tertawa.
“Wahh, mahalnya” batin Gio. Gio terdiam dan berpikir, ternyata sangatlah berat hidup di Balikpapan dengan biaya hidup yang sebesar itu. 
Gio dan Heru melanjutkan  perjalanan menuju tempat coffee, ternyata Gio dan Heru yang pertama datang, akhirnya pun menunggu. Tak lama, satu persatu teman kampus Gio datang, Gio sedikit tercengang ketika melihat mereka datang, mereka terlihat sangat berbeda. Saat itu, Momon  datang dengan mobil jazz cat bunglon, sedangkan Mora datang dengan mobil jazz warna biru.
Gio terdiam.
“Waaah... ternyata teman-temanku adalah orang- orang yang spesial di mata keluarganya tidak seperti aku,” batin Gio.
Gio hanya tertawa sendiri, untungnya Gio lebih bisa bersyukur akan keadaan keluarganya saat ini, tidak ada penyesalaan sedikitpun. Gio dilahirkan di keluarga yang keren, Gio memiliki ibu dan abang yang hebat serta memiliki adek seperti superhero yang selalu membuat Gio semangat dalam menjalani hidup. Walau terkadang Gio merasa seperti dilahirkan dari penolakan dunia. 
Anehnya, selama Gio berbincang, Gio sedikit mengklarifikasi cerita tentang Nayla, tentang apa yang mereka dengar. Tapi Gio juga selalu memohon pada mereka jangan sampai Nayla dengar bahwa Gio belum bisa move on. Gio selalu berkata bahwa Gio lah yang salah, sambil menampakkan raut wajah sedih di hadapan mereka.
Apakah mereka mengerti betapa sakit yang Gio rasakan karena Gio sudah mencintai Nayla terlalu dalam. Gio bahkan berharap Nayla bisa menjadi yang terakhir untuk Gio.
Akhirnya pertemuan pun berakhir disini, karena Gio dan Heru  harus melanjutkan perjalanan menuju Pantai Melawai untuk menikmati pasir putihnya. Perjalanan dari Pasar Segar menuju pantai Melawai ditempuh dalam waktu satu jam. Menikmati semilir angin selama perjalanan. Tidak ada rasa kecewa melihat pemandangan alam yang tersuguhkan di depan mata. Namun, melihat beberapa botol plastik disana-sini membuat Gio sedikit kesal. Gio tau ini semua salah siapa, ini semua salah manusia yang tidak bisa menjaga dan melestarikan alam pantai ini. 
Berjalan menyusuri pantai, Gio menulis nama Nayla di pasir diamdiam agar Heru tidak melihatnya. Melihat sebuah jembatan yang menuju ke laut, Gio berjalan kesana dan meneriakkan nama Nayla. Gio harap angin dapat membawa dan menyampaikan teriakan ini pada Nayla. Berdiri kokoh di depan lautan, Gio berkata kepada lautan, angin dan air.
“Apa yang harus aku lakukan? Hatiku terus mencintainya. Bagaimana caraku menunjukkan padanya bahwa aku disini masih menunggunya?” teriak Gio. 
Gio tau dia tidak akan mendapat jawaban dari mereka, tapi mengeluarkan kegelisahan seperti ini membuat Gio merasa lebih baik. Menurut Gio angin dan air mampu mendengarkan apa yang Gio rasa, karena mereka telah menjadi saksi dimana Gio dan Nayla pertama kali menjadi sepasang kekasih. Gio memutuskan untuk kembali menulis buku catatannya disini dan membeli es kelapa muda sambil menikmati angin pantai ini.
Gio mengerti waktunya tidak lama disini, jam delapan malam nanti
Gio sudah harus menuju ke Palu, Sulawesi sehingga pukul 19.00 Gio sudah harus berada di bandara. Gio dan Heru memutuskan untuk balik ke rumah Heru. Di perjalanan, Gio berbincang hangat dengan Heru,
“Sangat berkesan hari ini Ru, Kau membuatku sedikit lebih lega untuk bisa menjalani perjalanan ini.” Ujar Gio kepada heru.
“Kok bisa Gi?” tanya Heru heran.
“Dari cerita orangtua dan Om-mu membuatku dapat pelajaran yang sangat lebih disini walau hanya satu hari.” tegas Gio
“Makanya suatu saat nanti kau harus kembai lagi ke Balikpapan!” tawar Heru.
“Itu pasti!” kata Gio
Gio sampai di rumah Heru pukul  17.00  jadi Gio buru-buru packing karena harus menuju bandara, perlu waktu satu jam untuk sampai ke bandara. Pukul  18.00 Gio baru selesai packing, Gio pun berkata,
“Apakah bakalan sempat Ru?”  tanya Gio
“Pasti sempat Gi! Tenang saja.” tegas Heru
“Aku hanya takut ketinggalan pesawat ini, ayo buruan makanya kita harus berangkat sekarang.” Gio tergesah-gesah.
“Tenang...tenang Gi,” kata Heru.
Gio pun berpamitan kepada keluarganya Heru karena Gio harus melanjutkan perjalanan. 
“Kembali lagi kesini ya nak.” Kata Ayahnya Heru.
“Saya pasti akan kembali kesini Pak! ” jawab Gio tegas. 
Selalu saja ada kata susah untuk sebuah perpisahan. Kembali Gio ingin menangis ketika berpamitan dengan keluarga Heru.
“Ayo kita harus berangkat,” kata Heru. 
Mereka pun meninggalkan rumah Heru untuk menuju bandara. Mereka melewati lorong-lorong kecil, dan di sana terlihat sebuah kampung yang terlihat sangat tenang. Gio percaya di kampung itu tetap akan ada seseorang yang cantik dan bisa membuat dirinya bahagia. Tetapi pasti tidak seperti Nayla yang selalu tersimpan di hati. Teringat tentang Nayla, Gio pun membicarakannya dengan Heru,
“Aku belum bisa melupakan Nayla, aku menyayangi Nayla seperti aku menyayangi sosok seorang ibu” Gio bersedu sedan.
Heru hanya terdiam pada saat itu dan tidak bisa berkata apa-apa. Akhirnya Gio kembali di Sepinggan untuk melanjutkan perjalanan menuju Palu. Gio berpamitan kepada Heru, seperti biasa perpisahan ini diawali dengan pelukan dan diakhiri dengan pelukan hangat. Setelah mengucapkan terimakasih dan berpamitan dengan Heru, Gio langsung menuju ruang check in. Pesawat Gio ternyata delay karena cuaca yang buruk. Gio pun masuk ke dalam ruang tunggu keberangkatan, Gio duduk dan kembali membuka buku Madilog hasil karya tangan Tan Malaka, tiba-tiba pria yang sudah cukup tua menghampiri Gio dan berkata,  “Kamu KOMUNIS?” tegas Bapak itu.
“Aku hanya membaca buku ini pak, dan mengetahui buku ini bukan berarti aku adalah seorang komunis.” Gio menjawab
“Alasanmu saja,” kata Bapak itu melihat Gio sambil melotot.
Gio pun tidak membalas perkataan bapak itu lagi. Semua orang berhak berpikir seperti apa yang dipercayainya. Namun, kurang bijak jika langsung men-judge seperti itu. Akhirnya Gio memutuskan untuk menutup buku itu dan membuka buku catatan perjalanannya. Di sela menulis buku catatan, Gio iseng mengirim pesan kepada Reza yang ada di Palu,
“Hei.. cuaca pada saat ini sangat buruk makanya pesawatku di delay, kalau terjadi apa-apa padaku tolong sampaikan kepada ibu dan orang-orang terdekatku bahwa aku mencintai mereka,” ujar Gio sambil tertawa
“PASTI! Pasti akan aku sampaikan,” kata Reza khawatir.
Tapi Reza tidak berbicara kepada Gio bagaimana cuaca di Palu sana, Gio mulai merasa tidak tenang dan berkata dalam hati.
“Mungkin perjalananku harus berakhir disini.”
Tak lama, Gio sudah dipersilahkan untuk masuk ke dalam pesawat karena sudah mau berangkat. Ketika melangkahkan kaki memasuki pesawat, suasananya terasa sedikit aneh karena di dalam semua penumpang hanya diam. Guyuran hujan dengan kencangnya menerjang pesawat yang Gio tumpangi pada saat take off. Gio sudah berpikir negatif,
“Ini akhirku.”  
Ketika sampai di atas Bandara Palu, pesawat sudah berkeliling di atas langit sebanyak tiga kali dan belum bisa landing sama sekali karena kabut dan hujan yang sangat parah. Gio terdiam dan membaca doa, semua orang di dalam pesawat juga membaca doa. Kemudian pramugari datang meminta kita untuk tetap tenang dan menundukan kepala. Gio semakin yakin dan berpikir bahwa pesawat ini akan jatuh, kemudian pilot menurunkan pesawat dengan perlahan dan Gio mulai berpikir
“Ini dia sebentar lagi aku akan jatuh ke danau. Tapi aku bisa berenang, aku akan berenang ke daratan nanti kalau terjadi apaapa dengan pesawatku,” pikir Gio.
Namun Allah berkata lain, tak lama pesawat yang di tumpangi Gio sudah mencapai tanah dan landing dengan selamat, 
“Ternyata aku masih diberikan kesempatan untuk hidup” ujar Gio tenang. 
Gio langsung menuju pintu keluar, sangat ingin Gio menceritakan kepada Reza kejadian tadi. Di dekat pintu keluar Gio melihat Reza dan dua orang saudaranya menunggu Gio, Gio menghampirinya dan diajak makan di sebuah tempat makan. Gio memesan ayam yang dimasak penuh cabe untuk meredakan ketakutan ini. Sambil makan, Gio bercerita kepada Reza, 
“Tadi pesawat aku sudah hampir jatuh,” cerita Gio.
 “Aku tidak heran, cuaca di Palu memang sering sekali berubahubah dan ketika kamu kirim pesan aku seperti itu aku tanggapin dengan serius juga, tapi sekarang kan kamu udah sampai dengan selamat disini,” kata Reza.
“Halaah pantes aja, besok kalau aku mau berangkat ke Surabaya aku cari pesawat siang hari aja deh, hahahaha...” Gio tertawa. 
Selesai makan, akhirnya memutuskan langsung pulang karena Gio harus istirahat untuk memulai perjalanan besok berkeliling dan mengunjungi tempat-tempat wisata di Kota Palu. Setiap malam sebelum tidur, Gio selalu mendoakan  ibu dan keluarganya, tentunya satu lagi tidak terlupakan mendoakan Nayla yang selalu ada dipikiran Gio. 

***
















“Perlukah aku keliling dunia untuk mendapatkan pelajaran tentang melupakan?”










 “BUKAN SEKEDAR ANGAN DAN
HARAPAN”

***

5 Februari 2016
 Suasana baru dan harapan baru di kota yang baru. Gio mempersiapkan barang-barang dan saatnya memulai perjalanan menuju air terjun Wera. Gio menunggu teman-teman barunya datang untuk bersama-sama menuju kesana. Perjalanan ke air terjun di tempuh dalam waktu tiga jam dan harus treking menuju hutan-hutan belantara. Saat parkir mobil di sebuah hutan, ada sebuah desa di sana, Gio lihat budaya dan ada istiadatnya sangat kental. Kemudian Gio melihat seekor babi yang di pelihara di salah satu rumah, itu membuat Gio sedikit takut untuk turun, namun Gio tetap turun dan menyapa warga sekitar.
Tracking pun dimulai, tracking memakan waktu 30 menit menyusuri hutan–hutan, sambil jalan Gio bernyanyi, sambil berjalan Gio mencari-cari sebuah arti melupakan dan makna kehidupan, apakah tercecer di suatu tempat, namun Gio tidak menemukan apa-apa sama sekali. Gio mungkin tidak menemukan sesuatu hal buat kehidupan, namun Gio mempelajari arti sebuah usaha. Untuk mendapatkan sebuah hasil perlu perjuangan yang besar dan tekun, tidak cukup hanya usaha, harus diiringi dengan doa kepada Sang Maha Pencipta. 
Setelah tracking selama sekitar 30 menit, Gio disambut dengan dentuman bunyi air yang sangat deras. Awalnya Gio bingung, suaranya sangat jelas terdengar dan terasa dekat, namun air terjunnya masih belum terlihat. Tak lama, Gio melihat tumpukkan batu yang kecil. Gio berjalan melewatinya dan ternyata dibaliknya tersimpanlah air terjun Wera. 
Air terjunnya tinggi dan memiliki tiga tingkat, sangat exotic. Tanpa menunda lagi, Gio pun loncat dan berenang sembari menikmati air yang amat bersih dan bening ini. Tidak sia-sia rasanya Gio jauhjauh datang dari Jawa. Pemandangan alam ini sangatlah indah dan membuat Gio tenang. Alam ini seperti belum terjamah oleh tangan orang-orang berdosa dan tidak mau bertanggung jawab.
Semuanya terlihat sangat asri, bersih, dan sangatlah indah. 
Kita seharusnya bersyukur telah diberikan alam seindah ini oleh Sang Pencipta, namun mengapa masih banyak yang tidak bisa melakukannya? Bersyukur bisa kita lakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan menjaganya. Apakah mereka semua tidak pernah merasa sedih? Sedih melihat alam Indonesia ini perlahan hancur, bagaimana jika ketika anak dan cucu kita lahir mereka tidak dapat melihat dan menikmati indahnya alam ini seperti kita karena tangan-tangan tak bertanggung jawab yang merusaknya?
Gio menikmati setiap tetes air yang turun di tubuhnya, setiap tetesan air yang menjatuhi tubuh Gio membuatnya merenung dan lebih menikmati indahnya alam Indonesia yang satu ini. Ini seperti candu dunia yang membuat Gio merasa bahagia tanpa teringat nestapa dunia. Namun sayangnya, Gio tidak bisa berlama-lama disini, Gio harus berpindah ke tujuan selanjutnya yaitu ke Matantimali. Gio berpikiran aneh, di pikiran Gio yang terlintas adalah “mantan timali hahahaha..,” Gio tertawa sendiri. 
Gio pun tracking menuju kembali ke parkiran mobil, treking pulang memakan waktu lebih cepat yaitu sekitar 15 menit. Karena pada saat itu hari jumat, Gio memutuskan untuk berhenti sejenak di masjid untuk sholat jumat di sana. Setelah memarkirkan mobil, Gio dan teman-temannya turun, mengambil wudhu kemudian sholat, melakukan salah satu kewajiban umat beragama islam. Selesai sholat, Gio dan Reza mampir sejenak ke rumah salah satu saudara Reza untuk mengajaknya ikut ke Matantimali. Gio pun beristirahat sebentar disana dan menikmati minuman dingin, hari ini betulbetul panas.
Setelah menjelang sore, Gio dan Reza mengganti kendaraan menjadi sepeda motor dan berangkat ke sebuah bukit di balik rumah Reza. Gio dan Reza berangkat sekitar jam 17.00, 
“Yah... yah... yah... aku pikir akan memakan waktu yang lama pula seperti saat menuju air terjun Wera, ternyata tidak, dalam satu jam kita sudah bisa menikmati keseluruhan kota Palu dari atas bukit ini,” kata Gio. Reza hanya tersenyum saja mendengar perkataan Gio.
Perjalanan menuju bukit ini cukup mendebarkan, saat itu Gio berboncengan dengan Reza, Reza membawa motor perlahan karena jalan yang berdebu dan sangat licin. Jika tergelincir, kemungkinan Gio dan Reza akan jatuh ke jurang. Reza berkendara pelan-pelan sembari menikmati alam dan hutan tropis yang ada di
Palu ini. 
Namun Hendra -- saudaranya Reza --  seperti terburu-buru, beberapa kali motor yang Hendra gunakan terpeleset. Anehnya di antara mereka tetap saja ada yang menganggap bawah itu lelucon dan sesuatu yang bisa ditertawakan. Tapi bagi Gio ini tidak lucu, bagaimana jika terjadi sesuatu pada mereka disebabkan lelucon mereka, mereka lebih berharga dibanding ini. 
Namun semua perjalanan ini tetap membuat Gio sangat senang, Gio dan Reza bernyanyi bersama sepanjang perjalanan, teriak kesana-kemari seperti orang gila sungguh salah satu perjalanan yang tidak terlupakan. 
Pukul 18.00, Gio sampai di atas bukit Matantimali, di sana Gio dapat melihat keindahan Palu dan bentuk topografinya yang dikelilingi danau. Gio juga dapat melihat keseluruhan kota Palu, Gio tau salah satu desa di sana ada yang bernama Donggala. Desa itulah yang akan Gio kunjungi besok, tidak sabar rasanya.
“Seandainya aku bisa melihat semua keindahan ini bersamamu, seandainya aku mampu membuatmu merasakan apa yang aku rasa mungkin kau akan mengerti betapa sakit lara hati ini,” kata Gio.
Tetapi, selalu saja ada yang bisa membuat Gio tertawa hari ini, teman-teman  mengajak Gio untuk berjalan ke balik bukit. Gio pun mengikuti langkah mereka dan terpampanglah indahnya sunset sore itu. Gio merasa seakan semua masalah lepas sejenak dari pikirannya, Gio menikmati dan menghayati keindahan yang ada di depan mata seakan Gio lupa dengan keadaan dunia dan kehidupan yang kacau balau.
Saling bercerita tanpa beban, merasa tidak terjadi apa-apa, tertawa bahagia, semua lengkap di sini. Tak lama, senja telah hilang dari hadapan Gio dan menyisakan kegelapan, menandakan tiba waktunya bagi Gio untuk turun kembali ke kota. 
Keadaan jalan saat malam membuat Gio sedikit berhati-hati, tidak adanya lampu jalan membuat jalanan menjadi sangat gelap. Reza menggunakan kacamata sehingga penglihatannya sedikit berkurang saat gelap.
Akhirnya Gio yang mengendarai sepeda motor itu menggantikannya. Sebenarnya Gio cukup khawatir, karena Gio tidak mengetahui secara detail lokasi ini, jadi Gio memutuskan untuk berjalan sangat pelan. Saat tertutup rimba hutan, Gio tidak mampu melihat apa-apa, namun ketika rimba hilang Gio melihat ribuan lampu bersinar terang di bawah sana dengan bermacammacam tragedi yang ada yaitu sedih, senang, bahagia, bahkan tertawa, mungkin ada juga perkelahian.
Gio hanya terdiam saat itu, Gio sedang menjadi orang yang jauh dari keadaan kota bawah tapi sebentar lagi Gio akan merasakan hal yang sama seperti orang-orang yang ada di bawah, betapa tak inginnya Gio. Sembari menikmati alam, Gio tetap fokus memperhatikan jalanan yang rusak.
“Seperti kehidupan aja hahaha..,” ujar Gio sambil tertawa mencoba menemani dirinya sendiri. Reza di belakang tidak menyahut.
Sampai di bawah, Gio langsung menuju warung makan kecil. Disana terdapat makanan khas dari Gorontalo yaitu Binte. Gio mencobanya. Menurut Gio makanan ini sangatlah enak dan murah. Binte berisi jagung dan nasi, serta ada sedikit mie dan telor, Gio memesan dua prosi untuknya sendiri karena dengan harga 10 ribu Gio bisa menikmatinya. Keringat bercucuran pada saat memakan binte dan respon ketika pertama kali makan binte, Gio sangat menyukainya.
”Mungkin suatu saat nanti aku harus ke Gorontalo untuk merasakan langsung dari kota asalnya,” kata Gio.
Perut telah terisi, saatnya melanjutkan perjalanan pulang. Gio sudah tidak sabar bertemu dengan kasur untuk merebahkan badan, hari ini sangat melelahkan. Sampai di kos Reza, Gio masuk ke kamarnya, disana Gio melihat ada rantang makanan, ternyata Reza dikirimi makanan oleh orang tuanya karena tau Gio akan berkunjung. Betapa baiknya orang tua Reza menyambut Gio
seperti ini. Sambil makan lagi, Gio sedikit curhat,
“Reza apa yang harus aku lakukan? Apa saatnya sekarang aku  bilang ke dia bahwa aku masih mencintai dan menyayanginya, aku tidak bisa berpaling dari dia,” curhat Gio.
“Memang seharusnya kamu bilang seperti itu Gi, mungkin ketika kamu sudah berbicara kamu akan lebih lega,” jawab Reza.
“Tapi hati ini selalu berkata ‘jangan’ Reza, bukan karena berat untuk berkata, cuma aku berpikir apakah aku masih pantas buat dia yang sudah melukai hatinya karena sebuah prioritas, apakah aku pantas untuk menemani dia, aku berpikir mungkin ini karena ego atau juga karena aku tidak ingin dilihat lemah, namun aku tau aku salah Za.” kata Gio sedih.
“Coba kamu pikirkan baik-baik dulu malam ini, kalau sudah yakin langsung saja katakan padanya Gi.” Reza memberi Gio saran.
Memang saat itu Gio tidak sempat mengucapkan apa-apa pada Nayla, yang akhirnya membuat Gio terpuruk dan tidak bisa mencari pengganti Nayla. Gio berpikir mungkin bukan karena tidak bisa, melainkan karena Allah merasa Gio belum cukup mencintainya sehingga Allah belum memberikan seseorang yang dicintai. Setiap Gio mengingat Nayla yang ada hanya menangis dan menangis. Hanya satu hal yang bisa Gio lakukan untuk mengobati rindunya pada Nayla, Gio mencari kabarnya lewat orang terdekat Nayla. Mengetahui kabar Nayla saja Gio sudah senang apalagi jika bisa langsung saling sapa, mungkin serasa dunia hanya miliki diri Gio saja seorang.
“Tetapi aku harus lebih belajar bahwa sebelum aku mencintai seseorang akan lebih baik jika aku mencintai Allah, Sang Pencipta” kata Gio memantapkan hati. Mata Gio sudah mulai terasa lelah, saatnya bagi Gio untuk menutup mata ini dan tidur. 








“Terhempas nestapa dunia, aku masih bertahan untukmu, hanya untukmu seorang”











 “EKAKARSA”

***


6 Februari 2016 
Hari ini, Gio tidak pergi ke tempat-tempat yang jauh. Gio harus menjaga fisik tetap fit karena besok Gio berangkat menuju pantai Bambarano. Perjalanannya akan memakan waktu sangat lama, jadi Gio hanya berkeliling Kota Palu hari ini.
Sorenya Gio berkeliling di Kota Palu, malamnya Gio memutuskan untuk nongkrong di Kopi Aweng sambil melihat acoustic band, kemudian bertemu dengan teman-teman yang lainnya. Gio tertawa terbahak-bahak disana melupakan kelelahan hari ini, dan setelah cukup lama berbincang, Gio dan Reza pergi dari Kopi Aweng untuk menikmati suasana malam Kota Palu. Di perjalanan, Gio ditunjukkan sebuah tempat terlarang (prostitusi) yang ibaratnya di Indonesia sudah menjadi sebuah hal yang biasa. Gio juga tidak terlalu merasa aneh ketika melewatinya, karena ketika Gio berada di Jakarta, saudara kandung Gio yang bernama Angga menyewa seorang perempuan malam kemudian diajaknya ke dalam mobil dan Angga mengajak ngobrol. Cukup lama mereka mengobrol, Angga membayarnya dan setelah perempuan tersebut keluar dari dalam mobil, Angga berkata kepada Gio,
“Jangan pernah sekalipun melakukan hal seperti ini. Abang melakukan ini agar kalian bisa belajar dan sudah terungkap kan mengapa dia seperti ini, ini karena keadaan ekonomi dan pergaulan bebas. Jadi Abang harap kalian menjaga pergaulan kalian yah,” kata Angga tegas dan bijak.
Malam itu Gio berpikir saudaranya sangat bijak dan Gio beruntung memiliki saudara yang seperti itu. Dan pada saat di Palu Gio hanya melihat saja. Kata orang-orang di ruang lingkup tersebut, itu adalah bisnis lendir, itu yang sering Gio dengar. Gio tidak pernah punya niatan untuk mencoba hal-hal seperti itu.
Gio kembali melanjutkan perjalanan malam itu dengan mengelilingi kota Palu, tapi akhirnya Gio memilih untuk kembali ke rumah dan beristirahat. Malam itu, Reza pulang ke rumahnya sehingga tinggal Gio dan Hendra yang ada di kos.
Gio dan Hendra saling sharing tentang masalah keluarga, ternyata Hendra mangalami hal yang serupa dengan Gio, Hendra juga merasa lahir dari penolakan dunia, tidak bisa move on dari orang terkasih dan memiliki keluarga yang hancur lebur. Bahkan, Hendra hanya bisa tidur ketika meminum obat tidur. Gio dapat merasakan apa yang dirasakannya tapi Gio salut pada Hendra, Hendra tetap bisa bertahan dengan segala hal yang menimpanya. Gio bercerita hingga larut malam bersama Hendra.










“Rasa ingin bersamamu kian membunuhku, rasa ingin memilikimu kian menyiksaku kapan semua akan berakhir dengan bahagia”









 “MELAMPAUI BATAS DIRI”

***

8 Februari 2016 
Paginya, Gio mempersiapkan semua barang-barang untuk berangkat ke Bambarano, Gio berangkat menggunakan mobil Reza karena selanjutnya Reza harus menjemput saudara dan keluarganya untuk ikut. Mobil singgah di rumah Wawan, ternyata yang bersangkutan sudah menyiapkan makanan dan minuman untuk di pantai. Gio kaget dan hanya bisa bilang terima kasih kepada Wawan. Lalu menjemput Vjay, temannya Wawan dan Hendra.
Dari kota Palu perlu waktu 5 jam untuk sampai ke Pantai Bambarano. Gio melewati pertigaan arah menuju Poso, saat melihat plang di jalan Gio sangat tertarik untuk melanjutkan perjalanan sampe ke Poso, namun harus terhenti karena pada saat itu masih adanya Rombongan Santoso yang membuat Gio harus berhenti di Palu. 
Selama perjalanan, Wawan membawa mobil dengan sangat cepat, tiba-tiba terlihat seekor ayam di tengah jalan. Sebenarnya Wawan bisa rem mobilnya, namun Wawan terus menginjak gas mobilnya sehingga ayam itu tertabrak dan sepertinya mati. Gio merasa marah sebenarnya, tapi apalah daya, di sini Gio hanya seorang pendatang, dan penumpang.
Gio tau apa yang Wawan rasakan pada saat menabarak ayam itu, Wawan pasti merasa bersalah. Pertama karena menabrak ayam, kedua karena mobil Reza hancur bagian depan dan plat mobilnya hilang. Akhirnya wawan berhenti di suatu tempat untuk melihat keadaan mobil. Gio dan teman-teman berhenti agak jauh dari desa karena sangat berbahaya berhenti di TKP, bisa-bisa dipukuli oleh warga. Gio berhenti di sebuah danau, di sana Gio berpikir mencari solusi agar Reza tidak dimarahi oleh orang tuanya, dan solusinya dapat (intinya berbohong). Sebenarnya Gio sangat tidak setuju dengan itu tetapi  mau bagaimana lagi.
Seisi mobil mencoba untuk mencairkan suasana dengan berfotofoto dan menganggap kejadian itu adalah sebuah musibah. Sampai juga di pantai, Gio berlari menuju pantai sedangkan Wawan mempersiapkan makanan. Gio bermain-main dengan pasir putih yang indah sambil sesekali mengambil foto dan lari-lari bersama Hendra. Pantainya sangat indah dan bersih, tidak ada orang selain Gio dan teman-teman yang mengunjungi pantai hari itu. Gio tersenyum takjub memandang alam yang masih asri ini.Tak lama, Gio mendengar Wawan berteriak, 
“Ayo! Saatnya kita makan.” ujar Wawan. Gio dan yang lain pun berlari dan langsung memakan masakan Wawan, 
“Wahh rasanya enak sekali” puji Gio. 
“Ini kamu yang masak Wan?” tanya Gio lagi tidak percaya.
“Ya akulah yang masak, emang siapa lagi?” balas Wawan sambil tertawa.
“Waaah waaah kamu cocok jadi koki nihh.. Enak sekali makanan kamu ini, di lidah terasa banget bumbunya. Besok mungkin boleh lagi nih hahaha” Gio memuji Wawan.
Selesai makan Gio memutuskan untuk mandi di pantai bersama Hendra dan teman-teman. Kali ini Gio mengerjai Hendra, Gio bilang Gio akan berenang dan menyuruh Hendra untuk loncat duluan ketika Hendra locat ke dalam air, Gio lari dan tidak jadi berenang. Karena Hendra terlanjur basah, akhirnya Gio ditarik juga oleh Hendra menuju air hingga basah semua pakaian Gio. Untung Gio membawa baju ganti karena saat berangkat Gio memang berniat untuk berenang. 
Gio melihat terumbu karang besar dan tinggi, Gio memanjatnya dan mencoba untuk meloncat dari sana. Saat ingin meloncat, Gio mendengar seseorang berteriak,
“Jangan meloncat! Di bawahnya masih ada terumbu karang, kemungkinan kamu bakalan terkena terumbu karang nanti kalau kamu loncat, jangan sekali-kali mencobanya!” seketika nyali Gio
down. 
Sebenarnya saat itu Gio sudah terlanjur sampai diatas, dan kemungkinan untuk Gio turun lagi sangat sulit karena bebatuan yang sangat licin.
“Kalau aku berhasil mencapai atas sini, berarti aku bisa turun lagi ke bawah,” pikir Gio optimis. Perlahan, satu persatu Gio menurunkan kakinya, namun Gio tidak bisa melihat ke bawah. Ketika Gio mencoba melihat ke bawah pun kemungkinan untuk terjatuh sangat besar. Dan sepertinya, jika jatuh, bagian punggung dulu yang akan menyentuh karang. Lebih baik kaki tergores karena karang-karang yang ada, daripada harus terjatuh.
Akhirnya Gio berhasil turun dengan selamat, walau kaki dan tangan Gio tergores terumbu karang, tetapi Gio melanjutkan berenang karena sudah jauh-jauh sampai kesini.
“Nikmatin saja luka yang ada, hati terluka saja masih bisa dinikmati masa luka yang seperti ini tidak bisa hahaha,” ujar Gio. 
Tak lama Gio memutuskan untuk berhenti berenang, namun ternyata Hendra tidak membawa baju ganti. Setelah Gio selesai mengganti baju, Gio menemukan sebuah celana boxer di toilet sebelah tempat, celana itu pun Gio ambil dan  Gio masukkan ke dalam tas. Gio berbohong lagi kepada Hendra, daripada Hendra menggunakan celana jeans basah lebih baik menggunakan celana yang Gio temukan, ini untuk kesehatan Hendra juga. Gio menghampiri Hendra,
“Aku punya celana boxer dua nih, mungkin kamu bisa menggunakanya.” tawar Gio, Hendra pun menerimanya. Hendra tidak sadar bahwa itu adalah boxer yang Gio ambil dari toilet sebelah, teman-teman yang lain tertawa terbahak-bahak sejak Hendra keluar toilet hingga masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil Reza yang membuka topik tentang celana itu.
“Kamu tau celana itu dari mana? Hahaha..” kata Vjay sambil tertawa. Seketika semua orang di mobil teriak dan tertawa.
“Celana itu ditemukan Gio di samping toilet ketika kamu sedang di dalam toilet,” Lanjutnya tanpa bisa lagi menahan tawanya.
Hendra terlihat terdiam sejenak dan berpikir, lalu menatap ke Vjay, Gio dan Reza, sedetik kemudian, seperti peluru, Hendra mengeluarkan kata-kata kotor pada Gio dan tertawa sangat keras.
“Tidak perlu sesuatu yang wah untuk merasa bahagia, bahagia dapat diperoleh dengan cara sederhana bersama orang-orang spesial” pikir Gio. 
Gio dan teman-teman sampai di kos saat sudah malam, kos terasa sangat sepi pada malam itu. Gio ditinggal berdua dengan Reza ketika tiba-tiba Gio mendengar suara tangisan seorang perempuan, sedangkan seingat Gio di sebelah kosan yang Gio inap itu adalah kuburan. Seketika malam berubah menjadi horor. Gio menoleh untuk melihat Reza, ternyata sudah tidur pulas. Gio pun langsung menutup jendela kamar, menutup telinganya dan bergegas tidur. Gio tidak ingin melihat apapun. 

***












“Dan jika berkenan waktu keluarlah dari rahasia, akan kuambil waktu lalu kugelar untuk duduk, aku dan kamu di atas rumput yang nakal”









 “ARGUMENTASI HATI”

***

9 Februari 2016            
Saat Gio bangun pagi, Gio tidak melihat Reza dimanapun. 
“Kemana dia pergi?” pikir Gio. 
Ketika Gio membuka pintu kos, Gio heran karena banyak sekali orang di sekitar kos Reza. Gio bingung dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata orang di kamar sebelah Gio melarikan istri orang dan banyak keluarga dari suami sah si perempuan yang datang dengan wajah marah dan kesal. Orang tua Reza juga ada disana. Tampaknya masalahnya cukup serius. Gio sedikit panik karena tidak tau apa-apa, untungnya tak lama Hendra datang dan langsung memberitahu kedua orang tua Reza, membuat Gio merasa lebih lega. Hendra datang dengan sok berani, setelah itu Hendra sendiri geleng-geleng kepala melihat kelakukan laki-laki di kamar sebelah.
Hari ini Gio memutuskan untuk berkeliling dan mengunjungi tugu perdamaian yaitu tugu Nosarara-Nosabatutu. Di perjalanan, Gio diperlihatkan rumah-rumah adat Palu, sekolah olahraga, bahkan ditunjukkan kampus Tadulako. Sampai disana, Gio dan Reza memarkirkan motor dan menikmati senja sambil melihat indahnya pemandangan danau Palu,
“Sambil cuci mata,” kata Reza, tapi disini malah Gio teringat seseorang yang selalu terlintas selama perjalanannya yaitu Nayla.
“Kau yang mengajarkanku tersenyum, kau yang mengajarkanku untuk tidak menjadi orang yang apatis, aku teringat salah satu momen dimana kamu sedang mengajarkanku tersenyum,” kenang
Gio.
Ketika itu ....
“Coba kamu itu belajar tersenyum bee,” kata Nayla.
“Enggak bisa senyum loh akunya,” jawab Gio.
“Ndeee-ndeee bisa do bee tuh senyum.” Nayla berkata.
“Yaa bee coba yah.” ujar Gio
“Tapi liatin giginya yah bee biar senyumnya itu enak di liat.” ujar
Nayla sambil tersenyum
“Seperti ini kan Nay?” Gio memamerkan senyumnya
“(Tersenyum dan melihatku) Nah itu bee bisa senyum. Gitu dong” Gio dan Nayla pun saling lempar tawa renyah dan senyum-senyum cinta.
Percakapan sehari-hari seperti ini ini menjadi salah satu momen yang selalu Gio ingat.
Kembali di tugu Nosarara-Nosabatutu ini, Gio teringat tentang Nayla. Saat teman-teman yang lain sibuk berfoto, Gio memilih untuk menyendiri sambil mendengarkan sebuah lagu dari Fiersa Besari. Gio menangis, namun tiba-tiba seorang ibu-ibu menghampiri Gio dan berkata,
“Kamu kenapa?” tanya Ibu itu.
“Aku mencintai seseorang Bu dan aku sangat menyayanginya tapi kenapa dia harus mengakhiri hubungan, aku sungguh masih mencintainya aku masih ingin bersamanya.” Gio menangis lirih.
“Sudah kamu harus lebih ikhlas,” Ibu itu memeluk Gio sambil tersenyum lalu pergi. Saat Gio menoleh, tiba-tiba ibu itu sudah hilang. Gio bingung kok tidak terlihat oleh pandangannya kemana ibu itu pergi. Namun Gio mencoba berpikir positif,
“Mungkin ibu itu sudah masuk ke mobil dan langsung pergi” pikir Gio. Kemudian Gio kembali termenung dan melihat ke arah danau dengan mata penuh genangan air mata. Gio selalu ingat tentang Nayla dari kata-kata yang sering Nayla ucap dari pertama mereka saling menyapa, dari pertama Gio merasa jatuh cinta kepada Nayla, lalu Gio tersadar.
“Sudah cukup sampai di sini Gio memikirkan Nayla” ujar Gio.
 Akhirnya Gio memilih untuk pulang dan menikmati malam di kota. Malam itu Gio pun hanya sekedar berkeliling. Sampai di tempat Hendra, Gio langsung berbaring dan terdiam karena Gio butuh istirahat dan tenaga Gio habis setelah berjalan seharian.











“Jangan kau lukai seseorang mengatas namakan cinta”











“MELIHATMU DARI KEJAUHAN”

***

10 Februari 2016
Hari ini Gio berkeliling kota Palu, mengunjungi sebuah warung sop, dan mencoba makanan yang namanya kaledo. Kaledo, sop yang terbuat dari daging sapi dan ukurannya sangat besar, Gio sedikit kaget melihat harga satu porsinya cukup untuk membeli tiga bungkus rokok. Gio hanya bisa tertawa dan menunduk.
Puas makan, kampus Tadulako lah tujuan Gio selanjutnya. Namun, Hendra dan Vjay tidak mengikuti, entah kenapa mereka tidak ikut mungkin mereka punya kesibukan yang harus mereka selesaikan. Berkeliling di dalam kampus, melihat besarnya kampus, sebenarnya Gio juga bingung apa yang akan  dilakukan  saat itu, Gio hanya berkeliling menikmati suasana. Sampai akhirnya Gio dan teman-teman berhenti di warung sop buah di tepi jalan. Gio menikmati sop buah sambil mendengarkan lagu dan alunan suara motor yang lalu lalang, panas-panas begini sop buah memang sangat nikmat.
“Gi, bagaimana sop buahnya, enak?” Reza bertanya
“Sangat enak, apalagi jika dinikmati di siang hari dan sore hari mungkin akan membuat hati sedikit tenang” ujar Gio
“Nanti kalau kamu ke Palu lagi, jangan lupa untuk mampir ke sop buah ini lagi yah,” kata Reza.
“Jika aku ke Palu lagi yang jelas aku akan menghubungimu” jawab Gio. 
Hari sudah mulai sore, akhirnya Gio memutuskan untuk pergi dan mengantar teman-teman yang lain pulang, karena besok pagi Gio harus berangkat menuju Tanjung Karang. Gio ingin sekali berenang dan snorkeling dan melihat dunia bawah laut Sulawesi.
Malam tiba, Gio kembali mencari tempat nongkrong bersama Vjay, Hendra, dan Reza. Kali ini Gio membicarakan usaha dan masa depan. Sedikit lucu mendengarnya, namun tetap harus di bicarakan. Gio sedang sangat hancur karena seseorang dan Gio merasa bukan apa-apa tanpanya saat ini. Terkadang, Gio merasa alangkah lebih baik jika Gio dan Nayla kembali seperti dulu. Mengapa setiap sepi menghampiri yang kuingat hanya Nayla? Gio seketika hening, tidak ada yang berbicara, Gio mendengar angin membawa nama Nayla ke sela-sela telinganya, membuat Gio memeluk lututnya.
“Tidak mungkin Nayla akan mencariku, memandangku apalagi kembali kepelukanku, ini semua pasti hanya halusinasiku. Kesalahanku di masa lalu yang tidak bisa memprioritaskan seorang perempuan, tidak bisa dimaafkan,” ujar Gio dalam hati.
Malam semakin larut, Gio kembali ke rumah dan masuk kekamar, mengambil buku catatan Perjalanan Hati dan menulis, “Aku masih belum bisa melupakanmu dan aku masih sayang padamu. Selama ini aku menahan ini semua bahkan hingga sekarang. Namun, kini aku tau kau telah bahagia, semoga kau selalu bisa merasa bahagia dan tersenyum bersama orang yang kamu sayang.” - Gio

***





















“Rahasia ini membuatku semakin terjatuh, saat aku menatapmu seakan-akan tak ada cinta bagiku”











 “SEIRING WAKTU YANG BERLALU”


***

11 Februari 2016 
Pagi ini Gio akan menuju ke Tanjung Karang, Gio kedatangan tamu dan tamu itu juga teman Gio di Yogyakarta yang bernama Rora. Dia juga datang untuk menikmati Kota Palu, namun sayangnya besok Gio sudah harus pulang ke Surabaya dan melanjutkan perjalanannya kembali. Sebenarnya Gio sudah berniat lanjut ke Ternate, namun di tengah perjalanan ini tiba-tia ibu Gio menelpon dan berkata, 
“Nak, sekarang kamu dimana? Ibu kangen, pulanglah, kalau masih mau jalan-jalan lagi Ibu patahkan kakimu nanti hahahaha,” katanya sambil tertawa.
“Kamu berkeliling mesti karena seseorang kan?” lanjut Ibu Gio.
“Salah satu alasannya bisa dibilang seperti itu Bu, tapi daripada aku harus melampiaskannya ke hal-hal negatif seperti obat-obatan dan lainnya, lebih baik kan aku berkeliling saja untuk menenangkan hati, “ Gio menjawab
“Ya sudah, sekarang saatnya kamu pulang Nak, hentikan dulu perjalananmu untuk ke Ternate karena Ibumu kangen Kamu,” kata ibu dengan suara sedih.
“Hmmmmm ya sudah, Gio batal menuju ternate dan langsung menuju ke Surabaya saja” ujar Gio sambil menghela nafas.
Akhirnya Gio memutuskan kembali ke Surabaya dan mencari tiket pesawat termurah untuk tanggal 12 Februari. Gio sedang menunggu kedatangan Rora, lalu langsung menuju Tanjung Karang dan menikmati snorkeling disana. Gio kira harga untuk snorkeling disini akan sangat mahal, ternyata harganya cukup terjangkau.
Gio menyewa kapal dan alat renang, kemudian Gio snorkeling menikmati terumbu karang yang indah dan pasir putih pantai Tanjung Karang. Tak lama, Gio kembali ke atas kapal, lagi dan lagi Gio mengingat perjalanan yang pernah Gio buat bersama Nayla ketika ke Dieng bersama, namun itu semua sudah menjadi kanangan.
Gio kembali melelapkan kepalanya ke dalam air, berharap dengan ajaibnya mungkin bisa melupakan Nayla. Gio menyelam lebih dalam dan dalam, melupakan kenangan tentang Nayla, namun saat mencapai setengah kedalaman air, napas Gio habis. Sadar bahwa ini berbahaya, Gio langsung naik kembali ke permukaan. 
Setelah cukup lama menikmati alam bawah air Tanjung Karang, Gio naik ke kapal dan kembali ke daratan. Sampai di daratan, Gio mengganti baju dan kembali ke mobil, kemudian melanjutkan perjalanan. Gio berhenti sejenak di warung makan ikan bakar yang terkenal di Donggala. Gio dan teman-teman makan ikan bakar sembari melihat keceriaan anak-anak kecil yang sedang memancing ikan di tepi danau. Mereka memancing dengan alat sederhana, tidak menggunakan alat mancing semestinya, hanya menggunakan seuntai tali dan menariknya dengan tangan kosong.
Gio melihat mereka tertawa bahagia tanpa beban, Gio ikut tersenyum melihatnya. Tiba-tiba salah satu anak mendekati Gio dan menunjukan hasil tangkapannya, Gio terkejut melihat anak itu berhasil medapatkan ikan yang lumayan banyak, walau Gio tidak tau itu ikan apa. Sebenarnya Gio sedikit khawatir melihatnya menggunakan tali untuk memancing, karena sangat beresiko untuk tangan anak kecil, jika dia tidak hati-hati bisa saja tangannya tergores dan terluka. Namun melihat anak kecil itu dengan bangganya menunjukan hasil tangkapannya membuat Gio ikut bahagia. 
Selesai makan, Gio dan teman-teman  melanjutkan perjalanan untuk kembali pulang, namun malamnya Gio merasa membutuhkan kopi sehingga mengajak teman yang lain untuk ngopi,
“Ayo kita  ngopi Hen,” ajak Gio juga pada Vjay dan Reza.
“Emang mau ngopi dimana Gi?” kata Hendra sambil membersihkan rumah.
“Di tempat terdekat saja karena besok aku sudah pulang, nanti kalian kangen aku loh.” ujar Gio bercanda.
“Yaaa sudah ayo kita ngopi malam ini,” kata Hendra akhirnya
Gio dan teman-teman ngopi di salah satu kedai kopi di Palu. Awalnya hanya Gio dan Hendra saja yang kesini, Vjay dan Reza tidak segera ikut karena ada urusan. Namun tak lama beberapa teman Gio menyusul, termasuk Rora. Malam ini Gio dan temanteman banyak sekali berbincang. Ketika Rora curhat pada Gio, Gio menanggapi seadanya saja.
Di tengah ceritanya, tiba-tiba Rora menangis, Gio sedikit merasa bersalah, apa mungkin Rora menangis karena perkataan Gio yang terdengar nyelekit atau Rora sedang memikirkan apa yang sedang Gio pikirkan, Gio tak tau. Akhirnya Gio menanggapi Rora dengan serius. Kembali mereka berbincang hangat dan Rora bertanya,
“Emang Bang Gio sudah bisa move on sama yang namanya Nayla?” Rora bertanya.
“Aku belum bisa melupakannya, bahkan hingga sekarang. Mungkin bukan move on yang lebih tepat, namun merelakannya lah yang lebih cocok. Mungkin aku sedang dalam proses belajar untuk merelakan, mengiklaskan, dan meridhoi. Aku masih ada ditahap mengiklaskan dan setiap detiknya aku selalu mencoba untuk melanjutkan ke tahap berikutnya agar bisa meridhoi dia, dengan orang lain,” jawab Gio serius dan dalam. Malam ini Gio lewatkan dengan tertawa dan berbagi cerita dengan teman-temannya.
“Cukup sudah sedih-sedihnya, besok kan aku pulang. Ada baiknya kita tertawa dulu yah hahahha, ujar Gio memberi pembenaran. 
Malam sudah semakin larut. Saat waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 pagi, Gio memutuskan untuk pulang karena besok jam 10.00  pagi Gio sudah harus berangkat lagi menuju surabaya. Gio pulang menuju rumah Hendra. Untungnya sebelum itu Gio sudah packing, tetapi ada beberapa barang yang ingin Gio jadikan sebagai cinderamata untuk sahabat dan saudara barunya di Kota Palu ini. Gio memberikan jaket yang selalu menemani perjalanannya pada Hendra, tapi untuk jaket jeans belel yang selalu Gio pakai, Gio tidak bisa memberikannya. Jaket itu merupakan jaket penuh makna karena dulu sering digunakan oleh Nayla.
Gio kembali terbaring lunglai waktu itu, tidak bisa tidur karena banyak pikiran. Gio memutuskan untuk mengikuti jejak Hendra dengan menelan obat tidur agar bisa terlelap tanpa mengingat nestapa dunia.

***















“Andai saja aku mampu untuk melupakanmu tanpa mengingat setitikpun tentang wajahmu”











 “SUNGGUH KU TERLUKA KARENA

TERUS MENGINGATMU”


***

12 Februari 2016
Pagi tiba. Saatnya bangun dan bergegas mandi. Hari ini Gio berangkat ke bandara. Jam sembilan pagi Gio pamitan dengan orang tua Reza dan orang tua Hendra, serta semua teman-teman Gio yang ada di Palu. Perpisahan seperti ini selalu terasa sulit bagi Gio, ingin rasanya tinggal lebih lama disini.
“Aku pamit pulang dan terima kasih semuanya,” pamit Gio.
Sampai di bandara Gio pamit pada Reza, Hendra dan Vjay, suatu saat Gio pasti bertemu lagi dengan mereka. Hendra memeluk Gio sama seperti teman Gio yang di Banjarmasin dulu, terlihat raut wajah sedihnya dan Gio pun ikut sedih. Hanya ingin menangis, namun untungnya tidak terlihat oleh mereka, Gio ingin terlihat tetap tegar dan percaya suatu saat nanti mereka akan bertemu kembali dalam posisi yang lebih baik.
“Ingat selalu impian kalian jangan lupa di gapai, walau sebentar kita bertemu, kalian sudah seperti saudaraku sendiri, terima kasih sudah selalu membantuku selama ini, sudah memberi tumpangan untuk tidur, memberi kendaraan untuk jalan-jalan, bahkan ditraktir makan. Mungkin saat ini aku tidak bisa memberikan apa-apa untuk kalian tapi suatu saat nanti aku akan memberikan sesuatu hal yang spesial untuk kalian semua. Tunggu waktu mainya saja!” tekad Gio. “Aku pamit dan sekali lagi terima kasih!” kata-kata terakhir Gio.
Lagu Amnesia dari 5SOS selalu menemani perjalanan Gio, Gio ingat Nayla suka dengan lagu itu. Pukul12.00 Gio sampai di Surabaya. Gio hanya transit saja karena pagi besok kereta Gio harus berangkat menuju Bandung. Di bandara Gio kembali di jemput oleh Biasobae, yang pada awal keberangkatan lalu, dia juga yang mengantar Gio. Dia orang yang sangat baik, Gio sangat berterima kasih kepadanya. Biasobae selalu menemani selama Gio di Surabaya.
Gio meletakan barang di kosnya lalu mereka keliling Surabaya sembari Gio memberikan cinderamata padanya. Gio dan Biasobae berkeliling tak tentu arah malam itu, di kota yang bisa Gio bilang kota metropolitan kedua setelah Jakarta. Akhirnya mereka di sebuah angkringan untuk bertemu kembali dengan Raffan. Disana Gio dan teman-teman mengobrol dan Raffan bertanya,
“Selanjutnya ini kau akan kemana?” ujar Raffan.
“Aku akan langsung menuju ke Bandung, besok pagi keretaku berangkat jam 07.00 pagi” jawab Gio.
Tak ada kata lain yang bisa Gio ucapkan kepada teman disini selain terima kasih. Mereka selalu menemani langkah-langkah Gio dan selalu mendukung apapun yang Gio lakukan. Setelah dari angkirngan Gio dan Biasobae memutuskan untuk kembali berkeliling menikmati kota. Gio jadi teringat ketika siang tadi makan di warteg, seorang Ibu bertanya,
“Masnya tinggal jauh dari Ibu yah?”
“Iya bu, kenapa Bu?” Gio sambil menggaruk kepala.
“Terus jaga orang-orang yang kamu sayang terutama perempuan seperti Ibumu, juga calon istrimu kelak,” kata ibu itu.
 Gio cuma terdiam dan mulai berpikir, teringat Nayla lagi.
“Aku tuh selalu ingin  menjagamu, Aku selalu ingin memberikan apa yang kamu butuhkan dan aku ingin selalu ada untukmu, mengutamakanmu, seperti Ibuku, namun Aku telah terlambat, sudah tidak ada kesempatan bagiku melakukannya. Dulu, Aku hanya seorang pecundang yang tidak mengerti arti sebuah perhatiaan, prioritas dan kasih sayang, sekarang aku perlahan mengerti itu semua” ujar Gio dalam hati. 
Malam sudah semakin larut, Gio lebih memilih untuk tidak pulang karena takut ketiduran, lebih baik tidur di kereta saja nanti sembari menunggu sampai di Bandung. Barang-barang Gio yang tidak banyak juga sudah dibawa. Jadi sekalian saja.

***










“Mungkin semesta buta akan aksara tapi hati tak pernah buta untuk melihat mimpi yang ada”










 “SESOSOK KECIL YANG MENGERIKAN
YAITU HATI”

***

13 Februari 2016
Pagi bersinar cerah dan Gio sudah berdiri gagah di depan stasiun menunggu kereta untuk berangkat menuju ke Bandung. Kereta yang Gio tunggu pun tiba, kemudian Gio masuk dan mencari tempat duduk. Di dalam kereta Gio bertemu seseorang nenek yang bercerita panjang lebar mengenai arti seorang perempuan, nenek itu selalu berkata, 
“Dulu saya memiliki suami Nak, Dia selalu menjaga saya, sewaktu perang dulu dia harus gugur dalam medan perang. Jujur Sak saya sangat terpukul namun saya sadar bahwa saya harus bangkit dan harus bisa berjalan lurus walau tidak ada Dia disisi saya” ujar Nenek itu.
Gio hanya bisa terdiam, rasanya Gio ingin memeluk nenek itu dan menceritakan apa yang Gio rasakan saat ini. Perbincangan Gio semakin hangat saat itu, namun Gio meminta izin untuk tidur karena Gio harus sampai Bandung dengan kondisi badan yang fit. 
Ketika Gio bangun dan hujan pun mengguyur deras sekali, Gio melihat keluar jendela, menyenderkan kepalanya pada kaca jendela kereta, tak sengaja Gio mendengarkan lagu yang isinya sama seperti yang Gio alami. 
“Lagi dan lagi, teringat oleh luka yang kau goreskan dalam di hatiku, luka yang tak kunjung sembuh” kenang Gio.
Sepertinya nenek tadi mengetahui isi hati Gio dan berusaha mengalihkan pikiran Gio dengan menawarkan Gio makanan. Tak lama kemudian nenek itu turun di Stasiun Klaten. Dia sempat mengucapkan,
“Semoga kita bisa bertemu lagi nak.” Ujarnya saat beranjak dari kursi kereta.
Namun itu benar terjadi, berselang berberapa bulan Gio benarbenar ketemu nenek tersebut saat perjalanan Gio menuju Bogor, Gio dan nenek tidak melupakan satu sama lain, dan nenek itu berkata,
“Nak, apakah kamu masih ingat nenek?” tanya nenek itu.
“Aku tidak mungkin melupakan nenek karena apa yang dulu pernah nenek ceritakan itu adalah sebuah pelajaran bagi hidupku”.
Jawab Gio sambil mencium tangan nenek tersebut. 
Kembali ke saat Gio di kereta, setelah nenek tadi turun dan digantikan oleh seorang bapak-bapak paruh baya berkata,
“Darimana Nak kok bawa carrier? Abis naik gunung?”  
“Mau ke Bandung Pak” jawab Gio singkat.
“Wah.... sama, bapak juga berhenti di Bandung. Di Bandung sama siapa Nak?” tanya bapak lagi,
”Saya di jemput teman saya Pak” jawab Gio padanya. 
“Oalah.... iya ini, perjalanan ini masih sangat lama, posisi kita masih di Jogja, kemungkinan kita sampai di Bandung jam 10 malam” jelas bapak pada Gio.
Gio sempat berjalan-jalan di dalam kereta dan duduk di sebuah bangku yang kosong, ketika Gio mencoba untuk kembali ke tempat duduk, datang seorang perempuan dan duduk di sebelah Gio. Badannya penuh dengan tatto, dia berbincang kepada gio panjang lebar. Betapa terkejutnya Gio ketika dia jujur bahwa dia adalah penyuka sesama jenis. Tak ada keraguan dalam raut wajahnya ketika ia bercerita kepada Gio. Di dalam pembicaraan ada hal yang membuat Gio terkejut sekali, saat dia berkata,
“Aku ingin berhenti menjadi penyuka sesama jenis tapi dengan satu syarat kamu menjadi pacarku.” Tegasnya.
Gio terdiam dan tak tahu harus menjawab apa. Kemudian dia meminta kontak Gio dan dengan perasaan bingung Gio memberikan kontak. Gio berpikir positif. Gio hanya ingin membuat dia mengerti alangkah lebih baik jika dia mencintai seseorang lakilaki dibandingkan dia harus mencintai sesama perempuan. Percakapan Gio dan perempuan itu cukup panjang dan membuat Gio sedikit mengantuk, Gio putuskan untuk memejamkan matanya dan beristirahat sejenak.
Pada saat Gio terbangun  sampailah di stasiun Kiaracondong Bandung. Gio bergegas turun dan menemui temannya yang sejak tadi sudah menunggu Gio, namanya Uget. Seketika Gio melihat perempuan itu masih menunggu keretanya lagi karena dia harus berangkat ke Bekasi. Akhirnya Gio memutuskan untuk ikut menunggu hingga kereta perempuan itu datang. Tak ada apa-apa pada hari itu, Gio hanya ingin beristirahat cukup untuk dapat beraktivitas dengan semangat besok.

***






















“Setiap langkah adalah ribuan kenangan, saat air Tuhan turun dan menyapaku di sudut sana, aku hanya bisa terdiam dan memeluk lututku”









 “BERSAMA MASA ITU”

***

14 Februari 2016 
“Bandung…. Ooohh Bandung lautan api sekarang aku disini” ujar Gio ketika bangun pagi. Sendirian tentunya. Pagi ini Gio hanya menghabiskan waktu di kos Uget karena badan Gio masih kurang fit untuk melakukan kegiatan. Tapi malamnya Gio dan Uget berkeliling di Braga menikmati Bandung di malam hari.
Gio dan Uget berhenti dan nongkrong di sebuah caffee hangover di Bandung, Mereka bercerita dan bertemu teman-teman lama. Di tengah perbincangan itu ada seseorang bernama teman lama bernama Tino yang menganggap Gio bukan apa-apa dan hanya seperti pecundang, Gio pun jengkel dan amarah Gio sedikit terpancing. Gio pun mematahkan kata-katanya dan Tino langsung berhenti mencemooh Gio dengan sesuka hatinya.
Gio memiliki jalan yang berbeda, tak bisa disamakan. Tino memilih jalan berbisnis dan meneruskan karir, sementara Gio memilih melanjutkan pendidikan. Mungkin menurut Tino pendidikan itu tidak penting, namun berbeda dengan Gio, Gio ingin memiliki pendidikan yang baik dan harus disejajarkan dengan pergaulan yang meluas.
“Setiap orang berhak untuk menjadi sukses dengan caranya sendiri tanpa harus menjadi orang lain” ujar Gio. Tapi dia tetap bersikeras dengan egonya.
“Kamu itu bisa apa mau lanjut kuliah? Tak mungkin kamu bisa,” kata Tino.
Gio pun membalasnya dengan kata-kata, mencoba memberinya pengertian bahwa semua orang memiliki prinsip hidupnya sendiri dan kita harus menghormatinya. Bukannya Gio tidak berani untuk berkelahi, menurut Gio orang yang hebat itu adalah orang yang bisa membuat orang jatuh dengan akal bukan dengan kekuatan ataupun pukulan. Namun dia merasa bahwa kekuatan dan pukulanlah yang bisa karena sempat terucap kata,
“Ayo brantem aja” ujar Tino marah.
Gio sudah mencoba untuk tidak menggubris apa yang dia katakan dengan berbicara kepada temen yang lain. Tapi akhirnya Gio memilih untuk keluar dari sana dan melanjutkan berjalan kaki di Braga bersama Uget. Gio datang kesini untuk mencari ketenangan bukan mencari musuh. Gampang saja untuk menyari musuh, namun untuk mendapatkan teman butuh waktu yang lama.
“Lebih baik aku keluar dari lingkaran orang-orang itu,” kata Gio pada Uget.
Kemudian Gio dan Uget menuju ke tempat kesukaan Uget, yaitu suatu cafe yang penuh dengan musik-musik tahun 70an. Gio dan Uget duduk berdua menceritakan semua keluh kesah masingmasing terhadap dunia, perbincangan seperti inilah yang Gio inginkan, bukan seperti yang tadi. Mereka hanya bicara omong kosong, isinya hanya gosip seakan-akan mereka sudah sempurna.
Sementara itu Gio terpaku oleh suasana malam ini, di sini Gio berharap hanya ada Nayla dan Gio.
“Namun apakah itu mungkin? Kenapa selalu saja aku memikirkanmu padahal aku sudah melakukan perjalanan yang cukup panjang. Walau telah kulalui perjalanan panjang ke beberapa kota di Indonesia, terlalu banyaknya kenangan yang kita lalui dan haruskah aku terus melangkah jauh dari semua kenangan itu? Aku sadar bahwa kenangan itulah yang membuatku tetap hidup. Meyakinkan diri bahwa aku masih memiliki hati dan untuk bisa lebih percaya pada hatiku sendiri, takkan mungkin aku mengingkari hatiku sendiri” benak Gio.
Selesai Gio dan Uget dari cafe itu, mereka memilih pulang karena besok mungkin Gio akan bertemu dengan seseorang yang belum pernah Gio temui sama sekali. Gio harus istirahat karena hari-hari Gio di Bandung masih panjang.

***











“Apakah kau mengerti apa yang aku rasa, mencintai tanpa balas, menunggu tanpa kau tunggu, memilikimu tanpa kumiliki”









 “KEJANGGALAN HATI”

***

15 Februari 2016          
Gio baru ingat malam ini Gio memiliki janji dengan seorang perempuan yang berasal dari Jakarta. Gio belum pernah bertemu dengannya, selama ini Gio hanya kenal lewat media sosial. Gio duduk sendirian di salah satu kursi di caffe classic rock Braga sambil membaca buku Mein Kamf, menikmati rokok dan sebotol beer. Gio sedang membaca buku dengan fokusnya tanpa menghiraukan orang-orang di sekitar ketika tiba-tiba seorang perempuan datang dan bertanya,
“Kamu Gio?”  
“Ya, benar aku orangnya dan kamu Veny?” tanya Gio
Gio mempersilahkan Veny duduk kemudian saling berkenalan, dan bercerita satu sama lain. Gio menceritakan perjalanannya kemarin dan Veny juga menceritakan pendakian gunung yang dia lalui. Gio dan Veny saling bercerita, banyak sekali yang dibicarakan malam itu seakan Gio dan Veny sudah lama mengenal satu sama lain. 
Tanpa ada sedikitpun batas untuk bercerita dan Gio merasa nyaman sekali bercerita kepada Veny. Namun apa daya, hati Gio sudah membusuk dan membiru karena seseorang,
“Andai saja dia tau, tapi dia tidak akan pernah tau karena aku belum berani untuk mengungkapkannya “Gio terdiam, Veny bertanya,
“Mana pacarmu yang kemaren?” ujar Veny kepo. Gio hanya terdiam dan tak bisa berkata.
“Bukannya kemaren kamu baik-baik saja?” tanya Veny lagi bersemangat mencari tau.
“Menurutmu sih baik-baik saja, namun kisahku dengannya sudah berakhir dan jujur sebenernya aku belum move on dari dia,” kata Gio sejujurnya.
Pukul 22.00 malam akhirnya Gio dan Veny memutuskan untuk keluar dan mencari udara segar, di dalam cafe terasa terlalu penuh asap rokok. Gio dan Veny berjalan di tepi Braga sambil bercanda, tertawa dan berbagi kisah traveling di sana. Melihat keramaian Braga jujur saja membuat Gio merasa tidak tenang hati, orangorang melihat mereka berdua berjalan seakan ada yang salah dengan mereka berdua. Aneh, walau Gio tidak mengerti apa yang ada di dalam pikiran orang-orang ini. Rasanya seperti melihat orang asing yang tak patut untuk hidup. Kesal, marah dan tak enak hati namun Gio harus bisa terbiasa disini. 
Saat malam sudah semakin larut, Veny sudah harus kembali ke kos temannya. Saat Gio sedang sendiri, sempat terlintas di pikiran Gio, “Kenapa dia rela jauh-jauh dari Jakarta ke Bandung cuma untuk bertemu denganku?” Tapi tetap tidak bisa dipungkiri saat itu hati Gio belum bisa berpaling dari Nayla yang selalu hadir dalam pikiran Gio setiap hari, setiap detik dan setiap aliran darah Gio.
Setelah sampai di kos Uget, Gio berbicara pada Uget,
“Kok dia mau menyusulku ke Bandung yah?” ujar Gio. 
“Mungkin dia ada rasa penasaraan padamu yang tidak dia temukan di orang-orang lain, hingga membuat dia berani dari Jakarta ke Bandung dan meninggalkan pekerjaannya di Jakarta,” ujar Uget bersemangat. 
Gio diam dan berpikir keras mengenai apa dan mengapa, serta apa yang harus Gio lakukan, namun mata Gio memaksa untuk terlelap.
Gio pandangi langit-langit kamar kos Uget.
“Malam ini seakan tergambar wajahmu disana, mataku menolak melihatmu, namun hati tak bisa berbohong, malam ini aku kembali terjatuh dan terjatuh” ujar Gio sambil memikirkan Veny yang baru dia temui.

***












“Tak ada lagi yang bisa kulakukan kecuali berteriak, dan pada saat itu tiba, kau takkan lagi mendengar teriakan dan perlahan aku akan menjauh seperti apa yang engkau mau”











 “PANAH MERAH JAMBU”

***

16 Februari 2016 
Siang hari, Gio kembali berkeliling di Braga, kali ini sendirian. Veny sempat bertanya kepada Gio lewat pesan singkat.
“Malam ini kamu kemana Gi?”
“Mungkin aku hanya akan keliling di Braga saja,” jawab Gio.
Malamnya Gio masih jalan-jalan bersama Uget dan bertemu teman lama Gio bernama Karisma. Gio dan Uget sedang berbincangbincang hangat menceritakan tentang nestapa dunia, handphone Gio berbunyi menunjukkan adanya pesan masuk. Setelah Gio buka, ternyata itu dari Veny. Veny berkata,
“Kamu di kafe ini yah, aku samperin kamu,” ujar Veny. Di satu sisi
Gio tidak bisa menolak, jadi dengan santainya Gio menjawab, 
“Sini saja.”
Padahal waktu itu Gio sedang membicarakan mantan yang sangat Gio cintai dan tentang perjalanan. Tak lama, Veny datang menghampiri Gio. Spontan Karisma berkata,
“Ini orangnya?” ujarnya sambil menoleh ke Veny.
Karena karisma tidak pernah bertemu langsung dengan Nayla, Karisma asal bicara saja. Melihat perubahan rona wajah Veny, Gio Gio semakin menduga-duga apa yang ada dibenaknya. Penasaran Gio semakin bertambah.
“Dia ini sebenarnya kenapa dan ada apa dengan dia,” pikir Gio.
Veny diam saja waktu itu, Gio dan teman-teman pun keluar dari kafe itu dan berjalan bersama. Tanpa diduga Veny berkata,
“Tidak tau kenapa sejak melihatmu malam kemaren aku merasa kamu itu berbeda dari yang lain,” kata Veny sambil menendang botol di tepi jalan.
“Mungkin itu hanya menurutmu saja, Aku ini sama saja kok seperti yang lain, mungkin akan lebih baik jika sekedar biasa aja jangan sampe ada perasaan, Aku hanya tidak ingin melukai seseorang lagi,” kata Gio langsung menjurus ke arah pembicaraan Veny.
Di balik itu, Gio menahan realita bahwa sebenernya Gio masih mencintai seseorang yang sudah tidak mencintai Gio, Gio masih menunggunya, padahal Gio tau, Nayla tak akan pernah kembali.
"Aku tau aku ini bodoh menunggu seseorang yang tidak akan kembali, tapi aku pikir jika aku menunggu lebih lama, mungkin masih akan ada kesempatan kedua untukku” ujar Gio dalam hati. 
Tapi Gio ingat Nayla pernah berkata, “Kalau aku yang mutusin, berarti masih ada kemungkinan untuk kembali. Tapi kalau kamu yang mutusin tidak ada kata untuk kembali,” kata Nayla dulu.
Faktanya sekarang Nayla yang memutuskan Gio. Barangkali masih ada harapan untuk kembali?
Akhirnya Gio meminta kepada Veny,
“Kita coba saja perlahan dulu yah.” Ucap Gio sambil memandang wajah perempuan tersebut. Gio dan Veny kembali mengelilingi Braga malam itu, terlihat raut wajah sedih di wajah Veny cuma Gio tidak tau apa yang harus Gio lakukan. Mungkin perkataan Gio tadi membuatnya sedih, atau karena Gio salah bertindak? Gio tidak mengerti. Gio takut.
“Jika aku membuka hati ini dan tidak menjauh dari Nayla, aku akan melukai Veny dan apabila aku semakin mendekatinya, dia akan semakin juga sulit menerimanya,” ujar Gio dalam hati.
Malam itu Gio anggap tidak pernah terjadi apa-apa, Gio dan Veny kembali tertawa dan berjalan seperti biasa. Gio dan Veny foto-foto dan membuat momen baru dalam hubungan  pertemanan. 
Tiba-tiba terlintas di kepala Gio. Gio berubah pikiran.
“Apa yang aku lakukan? Ada seseorang perempuan yang ingin menjadi bagian hidupku tapi kau tidak menggubrisnya sama sekali.”
Namun hati kecil Gio berkata,
“Aku belum siap, aku belum melupakan seseorang”
Sekarang Gio harus bisa lebih dewasa.
“Nayla sudah bukan milikku lagi. Nayla sudah menjadi milik orang lain. Aku harus bisa menerimanya dengan lapang dada,” pikiran
Gio. 
Sudah capek seharian berjalan-jalan, Gio memilih untuk pulang kembali ke kosan Uget. Sampai di kos, Gio berbaring dan sejenak berpikir. Gio merasa hatinya sedang dilema dan tak tentu arah.
“Mungkin aku ini laki-laki yang labil mengenai perasaan,” ujar Gio. Gio terus berfikir keras, namun hatinya sudah mulai lelah berurusan dengan cinta yang selalu membuat Gio terus terjatuh dan terjatuh. Gio memutuskan untuk tidur, besok adalah hari terakhir Gio di Bandung.

***



















“Bilur telah menungguku, derai-derai cemara menghempasku, dan bayanganmu membuatku jatuh”









 “SATU HATI, SEJUTA SUARA”


***

17 Februari 2016
Tiket pesawat untuk berangkat dari Jakarta menuju Jambi sudah Gio beli, jadi besok Gio akan berangkat ke Jambi pukul 13.00 siang. Gio sengaja tidak memberi tahu orangtuanya bahwa semua tiket sudah terbeli. Yah, Gio bisa bersantai sejenak di kota Bandung menikmati suasana kota dan makanan khasnya.
Malam tiba, Veny mengajak Gio untuk bertemu kembali karena besok Veny juga akan kembali ke Jakarta. Gio bertemu dengan Veny di cafe hangover. Gio akhirnya menceritakan semuanya, Gio mencoba untuk jujur,
“Sebenarnya aku masih mencintai seseorang, dan sampai saat ini belum ada yang bisa menggantikan dia dalam kehidupanku, aku masih menunggu dia untuk kembali walau aku tau kemungkinannya sangat kecil atau bahkan tidak ada. Aku memang bodoh menunggu orang yang notabene sudah membenciku bahkan sangat membenciku, tapi aku tidak akan pernah berhenti untuk berharap, karena bagiku setiap manusia hidup dengan sebuah harapan dan harapan itulah yang membantu kita manghadapi sulitnya hidup dan membuatnya lebih bermakna” ujar serius.
Untungnya malam itu Veny bisa tersenyum saat Gio mencoba untuk jujur dan kita tetap berteman seperti biasanya. Disini Gio dan Penoy membuat janji,
“Ayo kita berjanji hari ini adalah hari dimana kau dan aku terakhir menikmati beer” kata Veny, dan disepakati oleh Gio dengan sato toss. Gio berharap kita bisa hidup lebih baik lagi dari sebelumnya.
“Kalau kamu tau, perjalanan panjangku ini adalah caraku untuk mencari sebuah ketenangan dan belajar melupakan, namun aku sadar perjalanan ini mengajarkanku tentang hidup, budaya, bahkan persahabatan. Tapi perjalanan ini tidak mengajarkanku untuk melupakan seseorang yang sangat aku cintai dan aku sayangi dengan setulus hati,” cerita Gio lagi mengajak Veny melebur di dalam ceritanya. Malam itu Gio dan Penoy berpisah.
“Semoga bisa bertemu lagi di lain waktu dan bisa kembali tertawa bahagia seperti ini. Terima kasih sudah mau menjadi teman yang baik untukku,” ujar Gio.
Sedikit lelah, Gio pulang ke kos Uget. Akhirnya satu masalah dapat Gio selesaikan dengan baik-baik tanpa menimbulkan pertengkaran maupun kebencian sama sekali. Kadang orang melihat bukan dari awal yang kita lakukan, tapi akhir dari apa yang kita lakukan. Jadi ini membuat Gio merasa sedikit lebih tenang setelah menyelesaikannya dengan baik.
“Cukup sudah sedih-sedihnya” kata Uget. Kembali Gio tertawa dan bercanda dengan Uget. Besok Gio pulang jadi malam ini Gio lebih banyak menghabiskan waktu bersama Uget. 
Gio dan Uget keluar dari kos dan “ngemper” di sebuah jalan yang ada pedagang kaki limanya, Gio dan Uget memesan kopi untuk menemani malam ini dan karena perut Gio terasa lapar Gio memutuskan untuk memesan mie porsi double.
Gio dan Uget bercerita panjang lebar, kembali melihat keramaian Kota Bandung. Padahal Gio dan Uget keluar malam itu hanya menggunakan boxer saja. Uget bercerita tentang politik, karena dia suka mengikuti politik dan dan membaca sejarah. Dia sangat menentang adanya komunis entah kenapa, Gio tak mengerti karena Gio tidak terlalu mengikuti politik, hanya sekedar tau saja. Malam semakin larut, Gio dan Uget memutuskan kembali pulang. Sampai di kamar, Gio berbicara kepada Uget bahwa besok pagi harus bangun dan jangan telat bangun karena Gio takut ketinggalan pesawat.

***














“Sebuah pelajaran di sekolah tidak mengajarkan tentang kehidupan, namun keadaan dan alamlah yang mengajarkan tentang kehidupan itu secara menyeluruh”










 “KEBAHAGIAN ADALAH MEMPUNYAI
SESEORANG YANG MEMILIKI IMPIAN”

***

18 Februari 2016 
Gio tak sabar hati untuk segera pulang ke Jambi dan bertemu ibu. Gio siap untuk berangkat ke Jakarta pukul 09.00 pagi. Di perjalanan Gio mengecek kembali jadwal keberangkatannya, disana terlihat bahwa ada perubahan jadwal jam keberangkatan menuju Jambi menjadi pukul 11.00 pagi.
“Tidak mungkin aku bisa sampai di Jakarta secepat itu,” ujar Gio pada Uget.
Gio harus merelakan tiketnya yang akan hangus itu dan mencari penerbangan dengan waktu yang berbeda. Gio mencari tiket pesawat, namun semua harga tiket melonjak tinggi, Gio bingung karena uang yang Gio punya tinggal 350 ribu rupiah. Tidak cukup untuk membeli tiket di hari yang sama.
Gio mencoba menghubungi pihak maskapai dan bertanya mengenai perubahan jadwal keberangkatan tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya. Gio berharap ingin pihak maskapai bertanggung jawab dengan kejadian ini, mengingat Gio sebagai klien merasa dirugikan. Untungnya, secara kooperatif pihak maskapai bertanggungjawab dan mengganti tiket yang sudah hangus itu dengan keberangkatan besok pagi. Masalah tiket sudah selesai, tinggal memikirkan dimana Gio harus tidur untuk menunggu keberangkatan besok pagi. 
Gio meceritakan semua kejadian yang Gio alami hari ini pada tantenya Gio di Jakarta dan tante menyuruh Gio untuk tidur di rumahnya di daerah Matraman. Sampai disana tante bercerita panjang lebar pada Gio mengenai diskriminasi di dalam keluarga Gio. Gio hanya bisa terdiam mendengarnya, Gio tidak menyangka itu bisa terjadi. Gio mengambil sisi positifnya saja, bagaimanapun keluarga tetaplah keluarga, bukan orang lain. Berikan kasih sayang dan saling menjaga dengan sepenuh hati.
Malamnya Gio bertemu dengan anak tante yang bernama Gigi. Gio terakhir bertemu dengannya saat Gigi masih sangat kecil Sekarang Gigi sudah menjadi orang yang gendut dan hebat. Gio dan Gigi bercanda tawa berlari-lari di dalam rumah tante dan bermain petak umpet. Gio ingat rumah ini adalah saksi pertumbuhan Gio sejak masih kecil hingga saat ini.
Malam semakin larut, saatnya Gio dan Gigi. Gio lebih memilih untuk tidur di depan ruang tamu karena Gio masih ingin mengenang masa-masa indahnya sewaktu masih tinggal disini dengan ibu. Dipeluk dan didekap olehnya sembari diciumi pipi Gio. Saat itu Gio kangen sekali dengan Ibunya. Tapi tinggal hitungan jam saja Gio akan bertemu Ibu. Gio sangat tak sabar menunggu datangnya pagi, bahkan sampai berharap waktu bisa berputar lebih cepat.
Mata Gio masih tidak mau terpejam, Gio pun mencoba untuk membuka media sosialnya dan untuk stalking tentang kisah Nayla. Gio melihat kemesraan Nayla bersama salah satu teman Gio di kampus.
“Apa kau sudah jadian?” Gio bertanya-tanya.
“Semakin sakit rasanya hati ini melihatmu bersamanya” batin Gio.
Tampaknya Nayla jadian dengan teman sekampus Gio.
Gio mencoba untuk bertahan disini. Namun rasa sakit, sedih dan penyesalan Gio terasa memuncak. Malam itu, bukannya tidur, Gio malah menangis dan melampiaskannya dengan memukul-mukul dinding hingga tangan Gio terluka.
Tiba-tiba, sebuah pencerahan malam itu menyadarkan Gio. Apa yang sudah Gio lakukan, Ini malah membuat Gio semakin terlihat bodoh. Gio pun perlahan mulai tenang, Gio bersihkan sisa air matanya dan kembali mencoba untuk tidur.

***














“Doaku pada dunia adalah semoga kau menikmati hari-harimu bersama kebahagiaannya”









 “MENAPAKI JEJAK LANGKAHKU”


***

19 Februari 2016
 Kali ini Gio tidak ingin ketinggalan pesawat, Gio bangun lebih awal dan pukul 05.00. pagi-pagi sekali Gio sudah menuju Bandara Soekarno Hatta. Sampai disana Gio menunggu dan menunggu. Menunggu benar-benar kegiatan yang sangat membosankan. Gio mulai check in dan kali ini Gio tidak ingin memikul carrier jadi Gio masukan semua ke dalam bagasi pesawat.
Di dalam pesawat Gio sangat senang, tidak lama lagi akan bertemu
Ragil – adik Gio yang laing kecil, dan Ibu. Sabar sabar sebentar lagi.
Sampai di bandara Sultan Thaha Jambi, Gio langsung mencari taksi untuk pulang ke rumah dan saat itu Ibu masih tidak tau kalau Gio sudah di Jambi. Ketika Gio membuka pintu, Ragil yang melihat Gio langsung berlari dan memeluk Gio sangat erat. Kemudian Ragil berkata,
“Ndaaaa na? ( kakak Nayla mana?)” katanya dengan lidah patahpatah.
“Kak Nayla yah dek? Dia di Jogja dan enggak bisa kemari, belum bisa ketemu sama adek, mungkin suatu saat nanti,” kata Gio lirih mencoba memberi penjelasan pada adik kesayangannya itu.
“Eeeeeehhhhh,” jawab Ragil kecewa. Kelihatannya Ragil merasa sangat sedih, terlihat dari mukanya yang langsung berubah.
“Maaf yah dek, abang tidak tau kapan kakak Nayla bisa kesini, mungkin kakak Nayla takkan pernah kesini,” ujar Gio mengelus pipi adiknya sambil merenungkan nasib hubungannya dengan Nayla.
Kemudian Gio berjalan ke dapur untuk menemui ibu. Ibu terkejut melihat Gio sudah ada dihadapannya, Ibu pun teriak, 
“Maaasss akhirnyaa, sudah kemana aja anak ibu yang ibu sayang satu ini, akhirnya pulang juga.” Gio langsung mendekati ibu, memeluknya, dan menangis.
“Kamu kenapa nak?” tanya ibu khawatir.
“Tidak apa-apa bu,” kata Gio sambil memeluk ibu dengan erat.
“Enggak mungkin, anak ibu yang satu ini kalau nangis pasti ada apa-apa,” kata Ibu sambil menghelus kepala Gio.
“Ya Bu, terutama aku kangen sama Ibu dan satu lagi aku sedih tidak bisa mempertahankan hubunganku Bu, dan aku masih belum bisa melupakannya. Padahal, aku sudah keliling kesana-kemari untuk belajar melupakan Bu, tapi aku masih belum mendapatkan cara untuk melupakan Bu.” Gio bersedu sedan di pelukan Ibunya.
“Sudah Nak, dia kan juga sudah bahagia, kamu laki-laki harus bisa menerima itu semua karena itu keputusan dia. Dulu sebelum ibu berakhir hubungan sama papamu, Ibu juga merasa sangat berat untuk mengakhirinya, namun Ibu harus kuat untuk kehilangan dan bisa jalani sendiri,” kata Ibunya Gio memberi nasehat ke anak lelaki kesayangannya.
“Terima kasih Bu, terima kasih selalu mendengar ceritaku Bu, aku sayang Ibu. Aku harap sekarang dia tetap bahagia bersama pasangan barunya. Biarlah aku pendam semua dan terluka akan semuanya Bu.” 
“Itu baru anak ibu, seorang laki laki yang hebat dan kuat! Sini cium dulu, mana adek? Ayo kita rangkulan bertiga.” ujar Ibu menenangkan Gio, lalu meraih ragil. Tiga keluarga ini pun berangkulan mesra.
Saat itu Gio menangis, Ragil memeluk Gio sangat erat.  Bocah polos itu seakan mengerti yang dirasakan Abang dan Ibunya. Dieluselusnya pundak Gio yang sedang terisak, seakan-akan dia berkata semua akan baik baik saja.
Hari demi hari Gio lalui bersama Ibu dan keluarga, namun tak lama lagi Gio harus kembali meninggalkan kota Jogja karena Gio harus pulang melanjutkan aktivitas biasanya di kenangan tersebut. Gio tidak menyia-nyiakan waktunya yang terbatas di kampung halamannya. Gio menghabiskan waktu bersama Ragil. Gio dan Ragil mengunjungi sebuah mall dan pergi ke bagian permainan, Gio dan Ragil bermain ria tanpa ingat waktu. Tak ada rasa malu sedikitpun mengajak Ragil berjalan walau orang-orang di sekitar memandangnya dengan sebelah mata. Gio sudah berjanji dari dulu bahwa Gio akan melindunginya.
“Sedikit saja orang menyentuh dia atau mem-bully dia, orang itu akan berhadapan denganku,” ujar Gio tegas. 
Puas bermain di mall, Gio dan Ragil beralih berenang pada sore hari di sebuah waterboom terbesar di Kota Jambi. Menghabiskan hari bersama Ragil, itulah yang Gio inginkan. Sampai tua pun Gio akan tetap ada untuk Ragil dan akan selalu menjaga Ragil sepenuh hati. 
“Kamu harus menjadi orang yang kuat yah wahai adikku,” ujar Gio. Karena Ragil adalah sebuah anugerah dari Tuhan, Sang Maha Pencipta. Kita hanya harus mensyukuri apa yang sudah Dia berikan kepada kita. 
Hari kepulangan Gio ke Jogja pun semakin dekat, saatnya Gio kembali pulang ke Yogyakarta. Berat bagi Gio berpisah dengan Ragil, adik tercintanya itu, dan pada Ibu yang selalu mendukungnya juga. Namun Gio harus mampu berpisah. 

***













“Keluarga adalah tempat terindah yang takkan pernah tergantikan”








 

“KEGAGALANKU MELUPAKANMU”

***

Kembali ke rutinitas Gio di Yogyakarta, disini Gio mencoba hal yang baru. Kuliah hari pertama Gio tidak bertemu dengan Nayla, terus menerus tak bertemu, namun tak bisa Gio pungkiri waktu kembali memaksa Gio untuk bertemu dengan Nayla.
Saat itu Gio sedang menuruni salah satu tangga di kampus. Saat sampai di bawah, Gio melihat Nayla ingin melewati tangga, namun Nayla terlihat tidak jadi naik, seperti menghindari Gio, padahal baru saja teman-temannya lewat di depan Gio. Gio pun memanggil Nayla.
“Hei, Nayla kenapa tidak lewat sini? Kamu nanti ditungguin temanmu di tangga atas,” ujar Gio tersenyum. Gio hanya ingin mencoba untuk memperbaiki keadaan. Gio pun menjulurkan tangannya dan bertanya kabarnya, namun Nayla hanya diam saja dan memasang wajah tak suka pada Gio.
Waktu terus berlalu, haripun terus berganti, tak lama Gio mendapatkan kabar bahwa Nayla bener-bener sedang dekat dengan salah satu teman Gio di kampus, Rully namanya. Gio bahkan pernah meminta pertolongan Rully untuk menjadi teman ceritanya di kala Gio dilanda kegalauan tentang Nayla. Gio tak menyangka Rully akan menikung dari belakang, saat Gio sedang berusaha menerima keadaan. Muncul rasa curiga bahwa permulaan kisah Rully dan Nayla mungkin sudah terjadi sejak Gio mendaki Gunung Argopuro, bahkan mungkin sebelum itu. Tapi cepat-cepat Gio buang prasangka itu. Gio mencoba tetap positif soal Nayla.
“Maaf aku tidak berguna untukmu, mungkin temanku ini lebih baik dan cocok dibandingkan aku. Aku sadar aku hanyalah seorang gembel seperti awal pandanganmu kepadaku,” pikir Gio sabar. 
Entah mengapa keadaan seakan mempertemukan Gio, Nayla dan Rully, Gio suatu ketika Gio, Nayla dan Rully  berada di kelas yang sama. Sesuatu hal yang berbeda benar-benar dirasakan Gio saat itu. Seakan memberitahu Gio bahwa inilah kenyataannya sekarang.
“Dulu saat Kau menjadi pacarku, kau selalu duduk di sebelahku, tapi saat ini orang itu yang duduk di sebelahmu” batin Gio. 
Hancur rasanya hati Gio melihat kemesraan mereka berdua di kelas. Gio duduk paling belakang saat itu, sesekali Gio melihat ke arah Nayla dan Rully. Tersiksa menahan hati yang dipenuhi kecemburuan. Di kelas, Gio menjadi seorang yang bisu dan tak berguna, tak tau bagaimana caranya untuk bisa biasa saja di depan Nayla dan Rully. Terlalu banyak bisikan orang-orang yang membuat hati Gio semakin terluka, rapuh dan terjatuh.
Di suatu malam, Gio duduk sendiri di ruang tamu rumah mengenang semua kenangan Gio dan Nayla. Gio ingat dia dan Nayla saling bercerita tentang kisah masa lalu disini dan selalu ingin membuat kisah baru berdua.
“Senyummu adalah kekuatan untukku, memilikimu adalah sebuah keberhasilan untukku, namun semua itu hanya sekedar angan yang tak akan bisa kugapai lagi” ujar Gio pasrah. 

***






















“Aku ingin melihat dia bahagia, walau hanya bisa melihat dari kejauhan, asal dia selalu bisa tersenyum meski bukan aku alasannya”











 “MEMELUK ERAT HATI YANG
TERLUKA”

***

Masih tentang Gio dan Nayla di kampus. Gio semakin hari semakin terpuruk rasanya. Ketika itu jadwal kuliah Gio dengan mereka ternyata sama, Gio memutuskan tidak masuk kelas karena terlalu sakit hatinya untuk melihat mereka.
Gio selalu mencoba menjadi orang yang tegar, Gio selalu mencoba menjadi orang kuat. Tapi yang bisa Gio lakukan hanya melihat Nayla dari kejauhan. Di kala Gio berpapasan dengan Nayla saja Gio hanya bisa menundukan kepalanya, setelah kejadian di kelas itu. Gio tahu Gio tak pantas untuk berdiri di hadapan Nayla, selalu saja Gio melihat Nayla dari kejuhan, selalu saja Gio memantau Nayla dari orang lain. Ini adalah sebuah cobaan yang berat untuk Gio. Ini adalah sebuah masalah yang besar untuk Gio. Berkali-kali Gio mencoba, namun selalu saja gagal.
Gio selalu senang walau hanya mampu melihat Nayla dari kejauhan. Gio selalu bersyukur ketika sekelas dengan Nayla, namun Gio terluka. Gio tak bisa menahan untuk bisa kembali ke kehidupan Nayla. Gio tak pernah berhenti berdoa, berharap suatu saat Nayla akan sadar bahwa Gio masih disini, menunggu Nayla.
Gio pun kembali ke kehidupan Gio yang dulu, selalu menggunakan headset dan susah bersosialisasi dengan orang-orang. Gio ingat dulu Nayla pernah mengajarkan Gio untuk lebih memperhatikan sekitar dan bersosialisasi dengan orang-orang. Namun saat ini Gio takut untuk bercerita kepada siapapun. Gio takut Nayla akan semakin membencinya, Nayla semakin memandang Gio rendah dan tak punya harga diri, tapi Gio takkan pernah berhenti berusaha melakukan yang terbaik untuk Nayla.

***




















“Kenangan cinta sejati yang takkan terlupakan adalah disaat pertama kali aku melihatmu dan menatapmu dengan tulus”









 “HANCUR HATIKU KARENAMU”

***

Gio tidak bisa lagi merasakan cinta, apa lagi membuka hatinya untuk orang lain. Gio tak mengerti mengapa efek kepergiaan Nayla sebegitu sakitnya. Berkali-kali Gio mencoba dekat dengan orang lain namun Gio tetap tidak bisa. Berkali-kali Gio mencoba  berjuang untuk seseorang, Gio selalu berhenti di tengah jalan. 
Suatu hari saat Gio sedang di kampus, Gio bertemu dengan Alif, teman Gio dari program studi yang berbeda. Ketika Gio sedang berbincang, Gio melihat Nayla duduk sendirian di student area kampus, Gio berkata kepada Alif, 
“Itu dia orang yang membuatku tidak bisa move on hingga saat ini.” Sambil memberi kode dengan lirikan ke arah Nayla pada Alif
Setelah mendengar Gio berkata seperti itu, Alif mengajak Gio ke kantin kampus, tapi anehnya dia malah melewati student area. Gio sempat heran, tapi Gio pikir Alif ini hanya sekedar ingin lewat saja. Tiba-tiba Alif duduk tepat di hadapan Nayla dan berkata, 
“Kamu anak hubungan international yah?” ujar Alif menyebar senyum. Gio terdiam dan langsung bereaksi.
“Ayo katanya mau ke kantin,” ujar Gio sambil menarik Alif. 
Namun Alif tidak menggubris perkataan Gio. Gio pun terbawa suasana dan akhirnya Gio ikut duduk di hadapa Nayla untuk pertama kalinya setelah sekian lama dan membelakangi Alif. Gio merasa sangat gugup saat duduk di depan Nayla seperti ini. Gio mecoba membuka percakapan dengan bertanya, 
“Kamu sedang ngapain?” Gio kepada Nayla dengan sangat kaku. 
Tapi Nayla hanya diam saja dan tak menjawab pertanyaan Gio. Sekali lagi Gio bertanya, 
“Oh ya, makamnya Mbahmu posisinya di dekat mananya ya Nayla?” tanya Gio lagi.
Akhirnya Nayla menjawab, “Susah untuk jelasin makamnya, pokoknya tidak jauh dari rumah,” jawab Nayla singkat. 
Tidak tau apa yang harus Gio bicarakan lagi, Gio menoleh ke belakang untuk melihat Alif, tapi Alif sudah menghilang. Gio pun bertambah gugup. Gio rasakan badan Gio menjadi semakin dingin. Gio bingung harus tetap duduk di situ atau pergi. Ingin sekali rasanya tetap duduk, namun Gio tidak enak jika gebetan Nayla melihat.
Akhirnya Gio berdiri dan melihat ke gedung sebelah, terlihat Alif melambaikan tangannya dan tersenyum pada Gio. Gio pun tertawa melihatnya. Kemudian Gio berpamitan dengan Nayla dan berkata,
“Aku pergi dulu yah, semangat ngerjain tugasnya.” Kata Gio sembari menyebar senyum yang diajarkan Nayla.
Saat Gio berpaling dari Nayla, hatinya sangat senang. 
“Akhirnya aku bisa berbicara denganmu walau hanya sebentar. Beberapa kata dan beberapa menit seperti itu saja sudah membuatku sangat senang, bagaimana jika aku bisa kembali memilikimu? Mungkin aku akan pingsan saking senangnya. Andai esok atau lusa kau bisa kembali padaku, aku berjanji akan menjagamu sampai akhir hayatku. Aku sangat berharap kau ingin memikirkan sekali lagi tentang kita dan mempertimbangkan untuk kembali padaku” harap Gio, hanya dalam hati saja.
Malamnya hujan turun sangat deras, kembali Gio mengingat Nayla dan berpikir, 
“Andai aku bisa memutar waktu kembali seperti di kampus tadi, takkan kusia-siakan sedikitpun. Hanya butuh waktu satu detik untuk mengatakan “Aku masih mencintaimu.” Sederhana, tapi sangat bermakna untukku”
Seperti bumi yang merindukan langit, Gio tak bisa menggapai Nayla, tapi Gio ingin tetap berusaha, walaupun kali ini hati kecil Gio berkata semuanya hanya sia-sia.
Gio memutar kembali lagu kesukaan Nayla. Sakit rasanya saat bagian lagu kesukaan Nayla terdengar,
“I really, really like you”
Lalu foto Gio dan Nayla berdua di kursi biru di rumah kontrakan, liburan di Dieng, dan banyak kenangan-kenangan lain yang Gio dan Nayla buat bersama. Takkan pernah Gio lupakan sedikitpun momen bersama Nayla. “Apakah aku bisa mengikhlaskanmu?” benak Gio.









“Lelahku takkan berarti buatmu, matiku juga takkan bisa membuatmu kembali, aku sadar itu dan akan kuusap air mataku”










 “LUKA HATIKU”

***

Memang tak bisa Gio pungkiri bahagianya hanya dengan Nayla. Nayla yang selama ini membuat Gio berdiri dan bertahan. Bahkan sampai saat ini, Gio masih merasa bahwa Naylya lah wanita terbaik untuknya yang takkan tergantikan oleh siapapun. Mungkin waktu sedang menguji Gio untuk bertahan, walau waktu juga membuat mereka semakin sering bertemu, mulai dari sekelas, di jalan, dan di depan kampus. Menurut Gio, waktu saat ini sedang membantunya untuk menjadi laki-laki yang kuat dan terlatih akan yang namanya patah hati.
***

Nayla memang wanita terindah di dalam hidup Gio, setelah Ibu. Nayla juga menjadi cahaya surga untuk jalan hidup Gio. Nayla mengajarkan Gio arti sebuah senyuman, ingatkah itu?
Gio merasa tak tenang akhir-akhir ini. Semua khayalnya tak akan menjadi kenyataan. Gio hanya bisa melukis bayang Nayla saja di setiap malam-malamnya. Gio sadari dan terima bahwa Nayla selalu melintas dipikirannya. Gio menerima kehadiran Nayla untuk menyakiti hari-hari Gio. Ada satu yang selalu Gio rindukan, kehangatan cinta dalam pelukan Nayla. 
“Sekarang izinkan aku tetap melukiskan bayangmu karena aku sadar semua itu akan sirna. Kau akan menghilang perlahan karena waktu, sama seperti perasaanku yang hancur, aku percaya akan hilang perlahan seiring waktu.
Wahai engaku wanitaku yang dulu, kau selalu ada dan tersimpan di relung hati terdalam. Dulu kau seperti rumah bagiku, dulu kau seperti alam bagiku, aku selalu nyaman di dekapmu dan aku selalu bisa menyatu dengan hatimu. Kepergianmu kali ini sungguh kubenci. Kau tinggalkan tempat kita merajut semua kenangan dan mimpi kita, kita berjalan sendiri-sendiri, kau bahagia dengannya dan aku terpatri disini, sendiri” kenang Gio sembari perlahan-lahan Gio mengais masa lalu.
Tenggelam Gio dalam mimpi dan memburai Gio menjadi udara. Sinar Gio mulai padam dan terpatah Gio tanpa arah menanti Nayla, membiarkan harapannya musnah dengan sendirinya. Walaupun kenangan selalu memaksa Gio untuk mengingat Nayla, kenangan pula yang selalu membunuh Gio secara perlahan. Tangis Gio mungkin tak terlihat oleh Nayla, namun Gio ingin sekali meninggalkan perihnya. Gio ingin sekali bisa melangkah tanpa Nayla. Gio tau saat ini belum seutuhnya Gio bisa melupakan Nayla.
Di malam yang dingin penuh dengan bintang-bintang Gio melihat
Nayla dengan Rully, 
“Mungkin saat ini engkau dengan bangga memberi tahu kepada dunia bahwa kini kau menjadi miliknya, namun aku hanya bisa terdiam ketika kau sudah melupakanku. Kan kurelakan dirimu tapi itu semua butuh waktu, aku masih menunggu suatu momen dan aku ingin mengakhiri sisa-sisa tugasku untukmu dan keluargamu” tekad Gio sambil berlalu dari pandangan yang membuatnya sedih itu.
Tugas pertama Gio mencari tahu dimana keberadaan makam Neneknya Nayla. Gio mencari tau lewat teman Nayla yang bernama Mangesti. Mangesti memberi tau bahwa makam neneknya beberapa meter saja dari rumah Nayla. Gio telah mendapatkan info dimana neneknya Nayla dimakamkan dan Gio menunggu waktu yang tepat untuk berkunjung kesana.
Gio menuju ke makam orang yang pertama kali Gio temui saat menjemput Nayla, nenek Nayla. Beliau yang terbaring disini adalah seseorang yang mengenal Gio saat Gio bersama Nayla. Di sampingnya ada makan kakeknya Nayla. Gio berdiri di hadapan makamnya, sambil memegang tanahnya.
“Maafkan aku yang tidak bisa menjaganya saat aku masih menjadi bagian dari hidupnya,” ujar Gio.
Gio duduk di samping makam kedua orang yang berarti bagi Nayla tersebut. Gio membersihkan semua makamnya dan menaburkan bunga-bunga agar makam itu tetap indah dan mendoakan sembari meletakan sebuah surat maaf Gio kepada Nayla di sana. Gio membasahi batu nisannya dan berpikir sejenak,
“Suatu saat nanti aku akan bertemu denganmu, wahai orang yang mengenalku, kita akan bertemu di surga dan aku yakin engkau masih mengingatku disana,” ucap Gio.
Ketika usai Gio mengatakan semuanya Gio pamit makam kakekneneknya Nayla tersebut. Dalam batinya Gio berujar,
“Bila musim berganti dan sampai waktu terhenti, walau memang dunia saat ini membenciku, aku akan tetap di sini dan bila waktuku sudah habis dan diriku harus kembali, disanalah aku akan bertemu dengan kalian. Tunggu aku disana, carilah ketenangan disana dan sampai jumpa”.
Seketika angin berhempus mengantar kepergian Gio. Daun-daun Suji pun melambai-lambai. Aroma semerbak dari bunga melati terpendar oleh tiupan angin.

***
















“Mungkin saat ini kau sedang berbahagia bersamanya, dan biarkan yang aku rasa ini membunuh dan membuat hatiku
membiru secara perlahan, sampai akhirnya kutemukan kebahagiaan”









 “AKHIR PERJALANAN HATI”


***
“Aku tahu kau semakin membenci diriku jika aku terus mengganggumu. Aku sedang menunggu momen yang pas untuk bisa mengucapkannya. Aku kembali mengingat setiap rincian tentang kita, bukan untuk aku lupakan, melainkan untuk kutuangkan ke dalam sebuah cerita pendek. Akan kubuat cerita ini menjadi sebuah buku kecil dan kuberikan padamu di hari ulang tahunmu” - Gio
***

Gio membuat sebuah buku sebagai ungkapan perasaannya yang tak tersampaikan pada Nayla. Apa yang Gio rasakan selama ini, walaupun Gio tidak tau efek dari buku yang diatulis itu. Gio juga akan membeli sebuah buku yang abadi dan sangat bermakna untuk Nayla. Gio memberikan Al-Qur’an warna ungu untuk Nayla.
Ungu, karena Gio tahu Nayla sangat menyukai warna itu.
Hari yang Gio tunggu akhirnya datang, 29 Desember, Gio membungkus kado untuk Nayla, membungkus buku kecil dan sebuah Al-Qur’an. Hanya itu yang bisa Gio berikan pada Nayla. Gio melihat orang-orang lain juga memberikan kado untuk Nayla. “Apakah kau akan suka dengan yang aku berikan, apa kau akan membaca bukuku? Yah, biarkan kau sendiri yang memutuskan akan membacanya atau tidak” pikir Gio.
Gio berikan kado itu melalui teman Nayla yang bernama Mangesti. Gio tidak mempunyai keberanian untuk memberikan langsung kepada Nayla. Namun ketika Gio sudah memberikan kado itu, saat itu juga Gio sudah menutup cerita hidupnya di tahun 2016.
Malam itu Gio coba untuk melintas di depan rumah Nayla. Dari kejauhan Gio selalu melihat setiap detail kenangan. Namun Gio menyadari bahwa dia harus mengakhiri rasa cintanya pada Nayla dan tidak memikirkan tentangnya lagi. 
Beberapa hari berlalu setelah buku itu sampai di tangan Nayla. Gio tidak tahu kenapa selalu saja ada orang yang membuat gosip tentang dirinya. Nayla juga terlihat semakin membenci Gio dan menganggap bahwa buku yang Gio berikan kepada Nayla hanya membuat Nayla semakin risih.  
Gio semakin bingung dengan sikap Nayla. Gio sangat berharap ada sebuah penghargaan dari Nayla untuknya. Tak perlu penghargaan seperti nobel, Gio hanya perlu penghargaan kecil seperti  ucapan terima kasih yang tulus dari Nayla, bukan amarah. 
Suatu hari Nayla mengirimkan Gio pesan singkat yang membuat Gio semakin yakin bahwa tidak ada kesempatan kedua untuk Gio dan malah membuat Gio semakin harus bisa menerima semua ini.
Gio membalas pesan Nayla,
“Buku itu aku berikan kepadamu di akhir tahun 2016 dan aku juga sudah memutuskan untuk menutup buku tentang kamu. Aku telah menyelesaikan tugasku, dan aku yakinkan kamu bahwa tidak akan ada orang yang seperti aku lagi berikutnya yang akan melakukan hal seperti ini untukmu. Bahagiamu bukan di aku dan bahagiaku juga bukan di kamu dan aku sadar dengan semua itu saat ini.
Terima kasih” ujar Gio tegas. 
Tak lama, Nayla membalas pesan Gio,
“Ya bagus kalau kamu sadar, lagian life must go on, dan aku harap kamu enggak usah melakukan hal-hal yang membuat orang lain risih,” ujar Nayla penuh amarah dan masa bodoh.
Malam itu Gio terima mentah-mentah kata-kata Nayla itu dan memasukannya ke dalam hati sebagai catatan akhir dari kisahnya dengan Nayla. Saat itu hujan dan Gio berdiri di jalan sambil mengangkat kepalanya ke atas melihat langit yang gelap. Rintik hujan membuat Gio semakin tegar. Tetesan air itu membasahi badan Gio dan kelopak mata Gio, membuat Gio menutup mata dan merelakan semuanya.
Gio putuskan malam ini bahwa kisah Gio telah berakhir bersama Nayla. Gio harus terus melangkah dan melangkah hingga suatu saat nanti ketika Nayla menoleh ke belakang ; lihat aku, Agio Jati Suryatama, aku masih ada dan menjadi lebih baik karena berpisah denganmu.

 “SELESAI”

SHAPUTRO BELAHASIR
Shaputro belahasir atau biasa dipanggil dengan nama Billy oleh temanteman terdekatnya.
Lahir dan besar di kota yang jauh di tepi sungai yang bernama Kuala
Tungkal, Jambi. Saat ini Billy berkuliah jurusan Psikologi di salah satu perguruan tinggi di Kota Yogyakarta.
Buku berjudul “Akhir Perjalanan Hati” ini adalah  buku karya Billy
yang pertama. Buku ini terinspirasi dari kisah nyata yang pernah Billy alami di kehidupan sebenarnya (true story). 
Selain menulis, Billy adalah seorang drummer dari band indie ALICE
(@aliceofficialid). Band indie ini memiliki mini album yang berjudul awakening.
Korespondensi dengan  Billy dapat dialamatkan ke akun instagram
@sadisticsmile atau akun facebook : Shaputro Belahasir

Comments

Popular posts from this blog