“AWAL PERJALANAN HATI”
***
Pagi hari, Aji datang ke kampus dengan perban di kepala.
Sesampainya di kelas, Aji menghampiri Nayla dan mengatakan bahwa Gio mengalami
kecelakaan semalam, yang menyebabkan Gio terluka parah sehingga harus dirawat
di rumah sakit.
Padahal sebenarnya hari itu Gio
sedang tampil band di acara TV swasta. Gio memohon kepada Agung--salah satu
teman di kampus--untuk membantu Gio memberikan dua tangkai bunga berwarna merah
dan putih. “Warna merah berarti menolakku,
sedangkan bunga warna putih berarti kau menerimaku” begitu
kira-kira skenarionya. Bunga itu akan diberikan ketika Nayla akan menjenguk Gio
di rumah sakit. Namun Gio tidak memberitahukan arti dari setiap bunga tersebut
kepada Nayla. Memang sengaja seperti itu karena Gio hanya ingin mengetahui isi
hati Nayla yang tulus, berharap ada kesinambungan seolah Nayla, mengerti arti
semua ini.
Kecemasan
mulai mengerayangi tubuh Gio. Bagaimana jika Nayla memilih bunga warna merah,
tak ada lagi sudah kesempatan Gio untuk memiliki Nayla, ujar Gio. Kekhawatiran
Gio mulai muncul saat Gio melihat Agung mengirimkan pesan singkat ke Gio.
Dengan tenang Agung mengungkapkan bahwa bunga merah yang
tidak Nayla pilih. Dengan kata lain Nayla memilih bunga berwarna putih, seolah
Nayla mengerti maksud dari hati ini dan berkata “iya.. aku menerimanya”. Tapi
apa benar Nayla mengerti maksud skenerio ini?
Kuliah pun selesai dan Nayla mengajak Agung untuk segera
melihat kondisi Gio di rumah sakit. Bukannya membawa Nayla ke rumah sakit,
Agung malah membawa mobilnya ke acara TV swasta tempat Gio mengisi acara.
Sesampai disana, Nayla melihat Gio dengan marah dan kesal karena telah
dibohongi. Namun Gio mencoba untuk membujuknya agar Nayla tidak marah.
“Please jangan marah dulu ya Nayla” pinta Gio memelas dengan
hati yang berdebar kencang. Ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaan
hati kepada Nayla, pikir Gio. Tiba-tiba Gio menjadi kaku, mencoba untuk
memberanikan diri dan melampaui batas diri untuk berkata dan entah darimana
keberaniannya terkumpul. Gio pun berucap :
“Maukah Kau menjadi kekasihku Nayla
Purnamasari?,” sambil menggenggam tangan nayla. Merespon sikap Nayla, Gio
tegang dan harap-harap cemas dalam hati. Apa skenerio mereka akan berjalan
dengan baik? Apa pilihan Nayla pada warna putih sesuai tengan teori semiotika
yang mereka bicarakan kemarin dengan Aji? Akhirnya Gio mengatakan itu pada
Nayla, namun Nayla hanya diam saja. Berdebar-debar Gio menunggu dimana Nayla
akan mengatakan “iya” atau “tidak”.
Akhirnya, Nayla berkata dan berbicara kepada Gio,
“maaf aku tidak bisa Gi” jawab Nayla pelan.
“Apa?” batin Gio, Gio terdiam dan sedih seketika. Nayla
berbicara dengan wajah yang tidak bersahabat dengan Gio. Genggaman tangan Gio
di tangan Nayla perlahan-lahan dilepaskan.
“Terus selama ini apa Nayla?” tanya Gio dalam hati, hanya
sebuah harapan kosong yang menjadi sebuah mimpi di atas awan dan terjatuh ke
bumi.
“Okee.. aku terima jawabanmu” benak Gio. Lagi pikiran dan hatinya
berkecamuk. Campur baur dalam rasa percaya diri yang semakin ambruk. Euforia
pun tiba-tiba jadi hambar. Tak tau apa lagi yang harus dibicarakan. Gio tak
dapat menguasai dirinya. Dalam kecewa dan tanpa kata, masih shock dengan
jawaban yang diberikan Nayla, Gio pamit sebentar untuk melanjutkan aktivitasnya mengisi acara. walau hati terasa remuk. Padahal itu Cuma alasan untuk menghindar dari suasana
menyedihkan di dekat Nayla. Setelah semua aktivitas Gio selesai, Gio teringat
akan bunga yang Gio berikan pada Nayla melalui Agung. Gio pun menghampiri Nayla
untuk memastikan.
“Nayla,
pada saat kamu diberikan bunga oleh Agung, bunga warna apa yang kamu ambil?”
memasang muka penuh dengan harapan.
Siapa tau ada keajaiban.
“Aku mengambil bunga
berwarna putih Gi, emang kenapa?” ujar Nayla.
“Tidak apa-apa Nayla.” Lalu Gio mengajak Nayla dan yang lain
untuk meninggalkan lokasi acara, mereka berpisah ke tujuannya masing-masing.
Gio menemukan harapan baru bahwa sebenarnya Nayla mungkin
saja mengerti hati Gio dan Gio yakin Nayla juga menginginkan hal yang sama. Gio
masih penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan jawaban yang Nayla
berikan pada Gio. Apa yang ada di hatinya sangat membuat Gio bingung.
Tiba-tiba Gio ingat dengan janji untuk menyusul Aji karena
kawannya itu akan menyatakan cinta kepada kekasihnya di pantai Sadranan. Gio
pun memutuskan untuk mengajak Nayla ke pantai dan akan kembali mencoba
mengatakan itu sekali lagi. Pantai Sadranan menjadi pilihan Gio untuk mengajak
Nayla berbicara mengenai isi hatinya. Gio meminta waktu kepada Nayla untuk
berbicara berdua karena saat itu Gio dan Nayla tidak hanya pergi berdua,
melainkan bersama teman-teman yang lain.
Gio
menceritakan semua yang dipendam, hanya itu yang Gio bisa lakukan untuk
menjelaskan kepada Nayla. Nayla hanya tertawa ketika Gio berbicara tentang
semua ini, seakan-akan apa yang Gio
katakan hanyalah sebuah lelucon saja. Gio hancur saat itu, mendengar tawa
Nayla. Gio berusaha untuk terus melanjutkan semua ceritanya yang telah dia
pendam selama ini. Nayla tetap saja tidak menghiraukan karena menganggap ini
semua hanya sebuah lelucon dari Gio.
“Sial bisa-bisanya dia mempermainkan perasaanku yang sedang
menggebu begini” batin Gio. Gio tatap mata Nayla dalam-dalam, memastikan apa
Nayla menganggap ini lelucon. Kini Gio yang ragu, apa barusan hanya lelucon,
ataukah serius. Dilihatnya di dalam mata Nayla, Nayla mengharapkan sesuatu
secepatnya dari Gio. Gio masih menyelidiki sebelum bahagia membuatnya meledak.
Seketika Gio meminta tanggapan dari Nayla, Nayla hanya
terdiam saja. Diraut wajah Nayla masih terlihat ekspresi sedang melihat
lelucon, sekali lagi Gio terluka.
“Nayla apakah kau mau menjadi bagian dari hidupku?” kata Gio
sambil menjulurkan tangan dan berkata “ DEAL ”. Nayla hanya tertawa-tawa sambil
menyambut tangan Gio. Hal yang membuat Gio tidak PD, senang, sekaligus jengkel.
Perasaan Gio seperti sedang dipermainkan.
“Serius Nayla? kamu ga bercanda? kita jadian?”, ujar Gio sumringah,
antara senang yang tak tertahan, dan rasa kurang percaya, bahwa wanita
idamannya telah menerima cintanya.
Nayla balik menatap mata Gio dalam-dalam terlihat
berkaca-kaca karena girang. Ditatapnya semakin dalam dan agak lama mencoba
masuk ke dimensi yang membuat bola mata itu berbinar-binar. Lalu sebaris kata
singkat keluar dari bibirnya untuk memberikan keyakinan bahwa ini bukan
lelucon.
“Iya Gio, kita jadian” di rangkulnya tangan Gio dengan
tangan yang lain, mencoba memberi pertanda pada laki-laki di depanya bahwa,
tidak ada lagi yang lebih serius dari pada tanda tersebut. Dan itu membuat Gio
langsung meledak
Rasa haru dan senang sudah mengungkapkan semuanya dan Gio
langsung memeluk Nayla sambil berlinang air mata. Gio dan Nayla memutuskan
untuk merekam semua insiden pada hari itu. Gio dan Nayla berfoto dan membuat
semua momen itu sambil tertawa seakan-akan saat ini dunia hanya milik mereka
berdua. Gio sekarang sudah bisa memanggil Nayla dengan sebutan “wahai wanitaku”
dengan santai tanpa rasa malu karena Nayla sudah menjadi bagian dalam hidup
Gio. Sebelum pergi dari pantai Sadranan, Gio sempat bertanya.
“Kenapa tadi di lokasi acara tidak
langsung terima saja Nay” tanya Gio.
“Ya, salah sendiri kamu ngerjain aku, kan harus dibalas biar
impas” jawab Nayla singkat. Sambil bergandengan tangan mereka beranjak dari
pantai Sadranan. Siluet tubuh mereka terlihat mesra di senja yang keemasan.
“Jadi kamu ngerjain aku Nay?” Gio tak terima. Nayla tidak menjawab,
dia terus melangkah sambil merangkul pinggang lelakinya itu.
Gio seperti tidak melangkah diatas pasir pantai Sadranan.
Dia seperti sedang berjalan diatas angin. Yang Gio rasakan hanya rasa hangat
dari pelukan wanitanya : Nayla Purnamasari, dan letupanletupan kecil seperti
air mendidih di dalam darahnya, yang tidak mau berhenti meski logika mencoba
mengontrolnya setengah mati. Maklum, sedang jatuh cinta.
***
Inilah awal kisah cinta Gio dan Nayla. Permulaan yang pada
perjalanannya mengharuskan Gio menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk
mengakhirinya. Mengakhiri dengan cara yang gagah sebagai seorang lelaki.
Awal kisah cinta ini dimulai ketika Gio dan Nayla sama-sama
menjadi pelajar disalah satu perguruan tinggi di Kota Yogyakarta, kota yang
disetiap sudutnya ada kenangan bagi siapa saja yang pernah menyesap nyamannya
Yogyakarta, termasuk Gio dan Nayla.
***
“PERTEMUAN KITA”
***
Kala itu di pagi hari di bulan Mei, Gio sedang mendaftarkan
diri di salah satu universitas ternama di Kota Yogyakarta. Gio berjalan
menyusuri kolong-kolong kampus menuju tempat pendaftaran sambil memandang
ruang-ruang kelas yang ada di kampus itu. Dan sedikit demi sedikit Gio mulai
merasakan sensasi dunia perkuliahaan. Gio terus melangkah hingga sudut matanya
menangkap seorang perempuan di sudut ruangan, perempuan itu terlihat seperti
orang kebingungan. Setelah Gio perhatikan, Gio menyadari bahwa perempuan itu
berkulit putih dengan mata yang cantik berwarna coklat.
“Jika
langkah seumpama rel kereta api, maka aku pasti bisa melangkah menuju arahmu
dengan lurus”. Namun langkah Gio tak semudah itu, walau mata mereka bertemu
tetapi mereka diam tak menyapa. Gio bertanya-tanya, mengapa ketika menatap mata
perempuan itu Gio merasakan sesuatu yang
berbeda. Gio langkahkan kaki terus dan terus hingga matanya mau tidak mau harus
berpaling dari perempuan itu.
Hari ini adalah hari pertama Gio kuliah dan Gio berjalan dengan
percaya diri menuju kelas. Di depan kelas, Gio terkejut melihat perempuan yang
tadi dilihatnya, berdiri juga disana. Tak Gio sangka akan bertemu dengan
perempuan itu lagi. Kembali mereka saling menatap, tapi lagi-lagi tak saling
menyapa. Ini kelas pertama Gio dan tak pernah menduga akan sekelas. Perempuan
itu duduk di barisan terdepan dan Gio duduk di barisan belakang, Gio selalu
mencuri-curi pandang untuk melihat perempuan itu.
Mata Gio tak bisa berhenti melihat perempuan itu dan tangan
Gio pun tak bisa menolak untuk berkenalan dengannya. Hal yang membuat Gio
akhirnya bertanya “Siapa nama mu?” tanya Gio, tetapi perempuan itu tidak
menjawab, Gio tenggelam dalam aroma wangi tubuhnya. Saat berkenalan dengan
perempuan itu, perempuan itu memandang Gio dengan ekspresi jijik seperti melihat
“gembel”. Gio hanya tersenyum menutupi kegelisahan hati dan mencoba berpikir
bahwa itu adalah sebuah pujian.
“Haii... Nayla?” kata Gio lagi.
“Aku? Kok kamu tau namaku?,” jawab Nayla sambil.
“Iyaa.. dari absen di kelas tadi” ucap Gio
sambil tertawa
“Salam kenal Nayla. Kamu asli mana?” Gio sambil menjulurkan
tangan.
“Aku asli Riau, kamu?”
“Kita sama-sama berasal dari Sumatra,
tetapi aku di Jambi”
“Ooohh
iyaa.. Namamu siapa?”
“Aku Gio.” Jawab Gio kaku dan tidak bisa bicara apa-apa
lagi.
Gio putuskan untuk mengakhiri pembicaraan tersebut, karena
Gio rasa Gio tak pantas berdiri di depan Nayla dengan penampilan seperti ini.
Gio menggunakan jaket jeans, sepatu boot, dan memakai anting. Pantas saja ketika
pertama bertemu, Nayla memandang Gio aneh begitu. Perbincangan yang singkat itu
membuat Gio semakin tertarik pada Nayla dan Gio tak bisa berhenti untuk terus
dan terus mencari tau tentang Nayla.
Suatu hari, Gio dan Nayla dipertemukan lagi di sebuah
kepanitian acara kampus. Gathering
jurusan kampus menjadi saksi dimana Gio dan Nayla mencoba untuk
berkenalan lebih dalam. Pada saat itu Gio melihat Nayla bersama seseorang
laki-laki berkulit putih dan berkaca mata. Gio kira laki-laki itu adalah
seseorang yang spesial dalam hidup Nayla. Anehnya hati Gio terus saja ingin tau
tentang Nayla. Tapi ada hal yang memaksa Gio untuk berhenti mencari tau siapa
Nayla.
Tak di sangka lagi dan lagi Gio dan Nayla satu kelompok
dalam tugas kuliah. Mereka duduk di perpustakan melanjutkan perbincangan yang
terputus tempo hari,
“Kok kamu seperti gembel sih?” kata Nayla sambil menatap
mata Gio. Gio bingung harus berkata apa, seperti resah di ambang rasa bimbang
untuk ingin berkenalan dengan Nayla lebih dalam. Gio menjawab pertanyaan Neyla
dengan jawaban bimbang.
“Jika kau ingin menjadi temanku silahkan dan jika kau tak
ingin ya tidak apa-apa” kata Gio sembari menundukkan kepala. Kemudian Gio
mencoba untuk lebih fokus mengerjakan tugas kelompok. Tak banyak Gio dan Nayla
berkata dan tak banyak Gio dan Nayla bertatap mata setelah apa yang sudah Nayla
katakan. Kejadian itu membuat Gio selalu menekankan hati,
“diriku tak pantas untuk dirimu dan saat ini juga aku
mencoba untuk membenci mu”, batin Gio.
***
“ Saat ini izinkan aku untuk berkata bahwa
kau hanyalah sebuah manifestasi dari
mimpi yang hanya bisa ku kagumi tanpa henti”
“CINTA YANG TUMBUH DIAM-DIAM”
***
“Entah kenapa dan mulai kapan kita jadi sering nongkrong
bareng. Perkumpulan kita menjadi seperti keluarga, tetapi kau dan aku tetap
saja tak saling menyapa, rasanya seperti kau menghardik hatiku dalam keramaian”
***
“Gi, hati-hati, kalau kau membencinya, nanti hatimu bisa
saja berbalik mencintainya,” kata Aji sambil memukul pundak Gio. Aji adalah
salah satu teman Gio di kampus.
“Apa mungkin dengan membenci bisa jadi
mencintai Ji?”
“Tak ada yang tak mungkin Gi.. Witing tresno jalaran soko
kulino (Cinta datang karena terbiasa) kan. Akhir-akhir ini sering sekelas juga.”
jelas Aji.
“Iya juga Ji, tapi enggak tau sih.. Ya sudahlah”, ujar Gio
lirih.
Malam itu Nayla, Gio dan teman-teman berkumpul di rumah
kontrakan Gio. Disana Gio berkumpul bersama teman-teman, tetapi tak ada
sedikitpun perbincangan antara Gio dan Nayla, yang ada hanya saling menatap
dengan mata yang kosong dan hampa. Hari demi hari Gio dan Nayla lalui bersama
teman-teman, Nayla tetap saja angkuh, dingin dan tak berkata sedikitpun kepada
Gio. ‘Apa mungkin karena percakapan kami
waktu di perpustakaan itu?’ pikir Gio.
Tetapi semakin Gio pikir, Gio semakin bingung dan tak tau
apa yang harus Gio lakukan karena logika ini semakin mempengaruhi hati Gio
bahwa ini bukan sekedar euforia sesaat. Ini adalah wujud dari rasa cinta.
“Termakanlah aku oleh omonganku sendiri
saat itu, sekarang kurasa aku mulai mencintainya”batin Gio.
Tanggal 4 November
adalah hari ulang tahun Gio, Gio sudah mempersiapkan diri untuk
berangkat menuju Gunung Merapi yang berada di Jawa Tengah. Gio ingin menjauh
sejenak dari dunia yang penuh dengan kekerasaan, kebisingan serta diskriminasi
ini dan memikirkan tentang perasaan aneh yang mulai menguasai Gio.
Semua barang-barang sudah dikemas, kemudian Gio berangkat ke
Gunung Merapi ditemani dua orang teman, Tria dan Oloi. Indahnya Gunung Merapi
di malam ulang tahun Gio itu membuat Gio terhanyut. Suasana hati Gio menyatu
kepada alam, membuat Gio tenang dan bersahaja akan dunia. Mata Gio terus
terjaga menunggu hingga jam 12 malam dimana umurnya akan bertambah tua. Gio termenung di atas gunung dan tiba-tiba
terpikir, ‘
Apakah mungkin kau
sedikit menyukaiku’ Gio bertanya kepada hatinya.
“Aku tidak pernah menunggu akan bertemu denganmu, bahkan aku
tidak pernah percaya akan bisa berbicara denganmu. Mungkinkah aku ditakdirkan
untuk menjadi pemujamu saja atau mungkin untuk menjadi seseorang yang pantas
untuk bersanding denganmu” Pikir Gio.
Hingga Gio tak sadar bahwa sudah jam 12 malam, Tria
berteriak dari jauh.
“Happy birthday to you my brother!!!” Tria datang sambil
menyiramkan air ke kapala Gio. Selesai seru-seruan sesaat merayakan euforia
ulang tahun, Gio langsung mengajak Tria dan Oloi untuk berbicara.
“Tria, apakah pantas orang sepertiku
mencintai seseorang?” Gio memulai obrolan
“Menurutku yah Gi, tak ada yang tak pantas jika kau
mencintai seseorang yang benar-benar kau cintai. Ya kan Pak Oloi?” kata Tria
sambil melemparkan bebatuan.
“Bener Gio..” jawab Oloi
“Tapi entah kenapa aku tak pernah merasa pantas untuknya.
Dia bahkan memandangku dengan tatapan seolah melihat gembel. lanjut Gio”
“Coba kamu
berpikir dengan tenang Gi, kalau memang kamu suka dan sayang sama dia, kejar
terus dan jangan ada rasa ragu sedikitpun,” kata Oloi memukul kepala Gio.
Pagi pun datang, angin dan hujan bergerak secara sporadis
menggugurkan daun-daun yang mengering, seperti hati Gio yang kian dilema. Gio
bergegas untuk bangun dari tidurnya tetapi tibatiba bayangan Nayla muncul,
sungguh membuat Gio gelisah dan tak tentu arah. Untuk pertama kalinya Gio
menuliskan nama Nayla dan teman-teman di selembar kertas.
“Gi.. Kamu nulis apa?” tanya Tria.
“Nama teman-temanku doang kok Tri” elak Gio.
“Kok ada nama dia?” Tria tertawa terbahak.
“Yaaah.. Sekalian kali yah biar penuh
kertasnya,” kata Gio tersenyum malu.
Tiba waktunya Gio harus turun dan pulang ke Kota Yogyakarta.
Di perjalanan Gio selalu memikirkan Nayla, merobek-robek kesehatan tubuh Gio,
dan disini Gio belum mendapatkan sebuah jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya.
“Apa yang harus aku lakukan dan pantaskah aku untuk
bersanding denganmu”, lagi lagi Gio bertanya pada dirinya sendiri.
Sesampainya di basecamp Merapi, Gio langsung bergegas
pulang, karena keesokan harinya Gio harus kuliah pagi. Motor Gio melaju kencang
agar bisa sampai di Yogyakarta dengan cepat. Pukul 21.00 WIB Gio sampai di
rumah dan langsung menyalakan komputernya untuk memindahkan semua foto yang
diambil ketika mendaki. Kemudian Gio teringat pada kertas yang ditulis di
gunung tadi. Segera Gio foto kertas itu untuk dikirim pada teman-teman. Pada
saat gio akan mengirimkan foto ke grup chat, Gio melihat dari obrolan
Teman-teman di group, bahwa mereka sedang pergi ke tempat wisata yang ada di
Yogyakarta. Sungguh miris hati Gio melihatnya. Kenapa dia tidak ikut
teman-teman sekelas saja? Siapa tau Nayla juga ikut? Tetapi berangkat ke Gunung
Merapi itu sudah menjadi pilihan Gio. Gio memutuskan untuk menutup mata dan
beristirahat.
Pagi yang indah menemani Gio. Hari ini Gio awali langkahnya
dengan harapan yang baru. Di kampus Gio bertemu dengan teman-teman dan mereka
memberikan ucapan selamat ulang tahun Gio, kecuali Nayla. Semakin
terheran-heran Gio melihat Nayla seperti itu,
“Seangkuh itukah dirimu dan sebenci itukah kau padaku?” pikir
Gio.
Hingga malam tiba pada saat di rumah Gio, datang beberapa
orang sahabat Gio memberikan kue ulang tahun. Gio berfoto dan memotong kue,
namun Nayla hanya melihat Gio dari kejauhan saja dan tak ikut dalam kegembiraan
itu. Sungguh aneh Nayla melihat Gio saat itu. Gio mencoba untuk mencairkan
suasana dengan cara mencolekkan kue ulang tahun Gio ke pipi Nayla. Entah dapat
keberanian darimana ketika melakukan itu. Seketika Nayla ingin balas
melemparkan kue itu ke wajah Gio. Sungguh tak disangka malam itu menjadi
langkah pertama Gio untuk bisa menggapai Nayla.
“ Berjuanglah hingga akhir, walau
ketika itu dia tak merasakan bahwa itu adalah sebuah perjuangan darimu”
“BAHAGIA
TAK KUSANGKA”
***
“Memang benar pertemuan kita sangat sederhana, tanpa diawali
sesuatu yang sempurna. Hati ini berkata saatnya aku berjuang untukmu, saat
melihatmu saja hatiku sudah tenang. Sebenarnya tidak masuk logika, ketika hanya
dengan memandangmu saja, aku bisa setenang itu. Mungkin ini yang biasa disebut
cinta, dimana aku tidak mempedulikan orang di sekitarku. Terkesan arogan dan
bodoh memang, hanya ingin berkenalan denganmu saja, aku sampai bersikap egois
seperti itu. Seharusnya aku sadar dengan semua itu”
***
Gio dan Nayla tidak pernah berkomunikasi sekalipun. Namun
Gio selalu ingin mencoba untuk mengetahui kisah hidup Nayla lebih dalam.
Layaknya hujan yang selalu ingin tau apa sudah setiap permukaan bumi dia
jelajahi.
Tiba-tiba timbul keberanian dalam hati untuk mencari tahu
tentang Nayla. Malam itu Gio mencoba untuk memberanikan diri menghubungi Nayla.
Saat itu Gio tahu dari teman-teman bahwa Nayla sedang mendapatkan sebuah
masalah. Gio datang seperti malaikat tak bersayap. Dengan keberanian dan
percaya diri, Gio menawarkan sebuah pertolongan dan saran kepada Nayla.
“Naaaaah akhirnya kau akan menceritakan masalahmu kepadaku” ujar
Gio kegirangan. Merasa ada celah. Bagi Gio, tidak ada rasa beban sama sekali
untuk mendengar cerita Nayla.
Mimpi Gio memang terlalu tinggi untuk bisa bersama Nayla.
Namun Tuhan mendengar dan menjawab mimpi Gio. Malam itu Gio bisa dekat dengan
Nayla walau hanya lewat telpon. Entahlah, keajaiban apa yang terjadi malam itu.
Tuuuutt...tutttt...
“Hallo Nay...”
“Iya gi..”
“Sekarang lagi ngapain nih? Aku ganggu kamu enggak?” ujar
Gio
“Sedang tiduran, tidak Gi, tumben banget nelpon.”
“Enggk papa cuma pengen nyapa kamu. Kamu kenapa kok kemaren
pas lihat wajahmu di kampus murung sih, enggak seperti biasanya, sedang ada
masalah?”
“Iya akhir-akhir ini aku memikirkan orang tua nih Gi. Aku
kangen mereka Gi.”
“Coba kamu matikan lampu kamarmu deh, Nay. Dan lihat saja
pasti ruangan itu akan terang lagi walau kamu hanya punya cahaya sekecil
apapun, mereka pasti akan baik-baik saja di sana.”
“Amin... Semoga mereka
disana selau dilindungi oleh Allah” “Amin...”
Tiba-tiba Gio teringat ketika menyolek wajah Nayla dengan
kue, namun saat itu Gio tak berani berbicara dengan Nayla.
“Aaaaah sudahlah” pikir Gio, malam itu Gio bertanya-tanya
mengapa Gio berani melakukan itu.
Gio tersipu malu dan masih tidak mempercayai itu. Bahkan
saat itu beberapa kali Gio mencubit kulit pipinya. Gio pikir ini selama ini
hanya sebuah mimpi dan khayalannya saja bisa menyentuh Nayla. Gio senang sekali
saat itu, tetapi itu tidak cukup. Akhirnya Gio mencoba untuk berani mengajak
Nayla mengerjakan tugas berdua,
“Mau enggak ngerjain tugas bareng?” tanya Gio lewat pesan.
Gio menunggu jawaban dari Nayla, hati Gio berdebar kencang dan takut saat
mengatakan itu.
“Ayo kita keluar dan ngerjain tugas bareng” jawab Nayla. Gio
sedikit terkejut dan tak menyangka saat melihat pesan dari Nayla yang responnya
sangat baik, membuat otak dan hati Gio dipenuhi bunga-bunga tanpa memikirkan
apapun.
Tanpa
menunggu lagi Gio bergegas mempersiapkan diri untuk keluar bersama Nayla. Gio
melangkahkan kaki dari kamar dan menjemput Nayla, sambil tertawa dan memikirkan
apa yang akan dibicarakan pada saat di jalan bersama Nayla nanti? Apa yang akan
dilakukan? Gio bingung dan terus memikirkan itu sepanjang jalan seakan-akan darah
Gio tak mengalir ke seluruh tubuh. Gio teringat perkataan Aji sebelum Gio
berangkat.
“Sudah, ajak bicara yang santai-santai dulu,” ujar Aji.
Gio tersenyum sendiri dengan wajah tersipu malu, akhirnya
Gio bisa keluar bersama Nayla. Saat itu Gio tahu, bahwa Nayla sedang didekati
oleh banyak lelaki yang lebih baik dan lebih kaya dari Gio. Namun semangat Gio
seperti senjata yang selalu mengeluarkan pelurunya, untuk terus dan terus
mencoba agar bisa dekat dengan Nayla. Seakan tak mau kalah dengan yang lainnya.
Di depan rumah Nayla, Gio langsung menghubungi Nayla, Nayla
keluar dengan membawa tas kecilnya dan berjalan sambil tertunduk malu. Disaat
itu juga, Gio berjumpa dengan seorang wanita tua. Gio malu dan takut. Namun apa
boleh buat, Gio sudah terlanjur berdiri di hadapan Nayla dan harus bertemu
langsung dengan wanita tua yang ternyata neneknya Nayla itu. Seolah-olah
keadaan meminta Gio untuk izin terlebih dahulu padanya. Tanpa membuang waktu
Gio dan Nayla berpamitan dan bergegas pergi.
Malam itu
hujan, rintik-rintik syahdu dan aspal yang panas akan terik matahari siang tadi
mengeluarkan aroma yang menusuk rongga-rongga penciuman. Gerimis ini mengawali
langkah Gio untuk keluar bersama Nayla. Selama perjalanan Gio bingung ingin
mengajak Nayla kemana. Gio mencoba berfikir mungkin akan lebih baik jika dia
mengajak Nayla makan terlebih dulu. Akhirnya Gio dan Nayla berhenti di sebuah
warung makan. Makanan di sini menurut Gio sangat pas untuk Nayla, hanya menurut
Gio saja, entah seperti apa pendapat Nayla, Gio tak peduli. Sembari menunggu
pesanan makan tiba, Nayla mengeluarkan buku pelajarannya, Gio hanya bisa
memperhatikan Nayla, entah apa yang akan Gio lakukan.
Mungkin untuk membahas
pelajaran, tetapi hanya sedikit. Pada saat membahas tentang pelajaran,
terlihat Nayla tak begitu fokus. Dan pada akhirnya Gio dan Nayla lebih membahas
tentang satu sama lain. Ya, itulah yang terjadi. Gio dan Nayla sambil tertawa
seakan gerimis bukan menjadi sebuah masalah untuk malam ini. Gio rasa keadaan
ini membuat Nayla tidak terlalu fokus dengan tugas. Gio dan Nayla lebih fokus
dan intens dalam membicarakan hal-hal kecil sambil tertawa.
“Tapi apakah Nayla nyaman dengan apa yang kita perbincangkan
saat ini?” benak Gio. Gio tidak tahu apakah nyaman atau tidak yang Gio tahu
cuma bagaimana caranya Gio bisa membuat Nayla tertawa dan bahagia saat bersama
dengan Gio.
Selesai makan Gio bingung akan pergi kemana selanjutnya.
Tibatiba terpikir oleh Gio tentang sesuatu hal yang dingin yaitu es krim. “Bagaimana
setelah ini kita mencari es krim?” kata Gio.
Gio siapkan motor dan pergi sembari berkeliling Kota
Yogyakarta, jalan mereka pun terhenti karena hujan yang sangat lebat. Terpaksa
Gio hentikan laju motornya. Kemudian Gio dan Nayla memilih untuk berteduh di sebuah supermarket.
Situasi dan kondisi tersebut menggagalkan rencana Gio dan Nayla untuk pergi ke
kafe untuk membeli es krim. Gio pun masuk ke dalam supermarket tersebut,
berharap bisa mendapatkan es krim untuk Nayla agar Nayla tidak kecewa.
Setidaknya tetap dapat menikmati es krim meskipun hanya di supermarket.
“Ini
es krimmu, Nayla.”
“Terima kasih, baik banget sih Gio.”
“Bagaimana menurutmu malam ini? Apakah kau
senang? Maaf aku cuma bisa beli es krim di supermarket saja.” ungkap Gio dengan
tulus.
“Tidak apa-apa Gio. Tapi apa tidak aneh kita berdua
menikmati es krim di saat hujan seperti ini hahaha..”
“Yah mungkin sedikit aneh sih, tapi yah kita nikmati aja
malam ini,” kata Gio sambil tersenyum malu.
Setelah itu, Gio dan
Nayla duduk di depan supermarket tersebut, Nayla tertawa karena candaan Gio.
Saat itu Nayla menceritakan sedikit tentangnya dan Gio menceritakannya juga.
Gio dan Nayla berbagi pendapat dan sharing satu sama lain untuk menambah
pengalaman pada diri masing-masing.
Hujan tak kunjung reda dan Gio hanya mempunyai satu jas
hujan dan tidak mungkin di bagi dua. Akhirnya timbul rasa tanggungjawab pada
diri Gi untuk selalu melindungi Nayla bahkan dari hujan sekalipun. Gio minta
Nayla untuk mengenakan jas hujan satu-satunya yang Gio bawa untuk melindungi
Nayla dari derasnya hujan.
“Nay hujan loh ini, kamu sekarang harus pake mantel ini agar
tidak kebasahaan ya” pinta Gio.
“Tapi... Kamu cuma ada satu mantel Gi?”
“Ya tidak apa-apa yang terpenting kamu tidak kehujanan
dulu.” “Ya sudah Gi, tapi... Bagaimana kalau kita sama-sama tidak menggunakan
mantel saja” “Sama-sama?” Gio berpikir.
“Tapi enggk baik buat kesehatan tubuhmu Nay, dengerin kali
ini dan kamu harus pakek mantel ini ya.” lanjut Gio.
“Ya sudaah Gi”
Sesampai di rumah Nayla, perasaan senang menghujani Gio
karena malam ini Gio bisa pergi bersama Nayla. Saat Gio pamit, Gio seperti
tidak ingin mengakhiri malam ini karena masih banyak yang ingin Gio tunjukan
kepada Nayla tentang istimewanya Jogja, tentang Gio bahkan tentang dunia ini.
Namun Nayla harus beristirahat agar tidak sakit, karena Nayla baru saja
melewati hujan yang sangat lebat.
“Nayla aku pulang dulu yah, dan selamat istirahat untukmu
malam ini dan jangan lupa dibasuh badanmu karena tadi habis hujanhujanan” ujar
Gio.
“Iya Gio, terima kasih ya”
“Ya Nayla, aku pamit pulang dulu, sampai
jumpa di kampus.”
“Iya, hati-hati di jalan.”
Perasaan senang dalam hati tak bisa Gio bendung lagi.
Sepanjang perjalanan pulang Gio tak bisa menahan senyumnya.
“Mari
berjuang hihihi, aku akan berusaha agar bisa membuatmu bahagia dan terus
tertawa bersamaku” kata Gio pada dirinya.
Saat menjelang larut malam, Gio hanya bisa memandang
langitlangit kamar sambil memikirkan Nayla. “Ini kah nama nya cinta? Aaaaaah
aku harus tidur” Gio berbicara sambil senyum-senyum pada dirinya sendiri.
Saat pagi tiba, dengan semangat membara Gio langsung membuka
handphone berharap ada nama Nayla dalam notifikasi, dan tak Gio sangka, Gio
benar-benar mendapatkan sebuah pesan dari Nayla,
“Terima kasih atas tadi malam” kata Nayla.
Gio sangat senang, “Oohhh.. Akhirnya memang benar,
kemungkinan untuk bisa dekat denganmu, inilah yang Gio harapkan” ujar Gio dalam
hati. Semangat sekali Gio pagi ini menjalani perkuliahan. Siang hari Gio lagi- lagi
bertemu dengan Nayla tanpa sengaja, dan saling menyapa menundukan kepala sambil
tersipu malu,
“Hai.. Nay” ujar Gio dan Nayla membalas dengan semangat.
Sikap Nayla memotivasi Gio untuk lebih berani mendekatinya. Gio beranikan
dirinya sekali lagi untuk mengajak Nayla sekedar makan siang bersama, dan
sekali lagi pula Gio mendengar kata “ iya ” dari Nayla. Siang itu Gio dan Nayla
memilih makan di tempat yang semua makanannya bertema pedas, ini kedua kalinya
Gio keluar bersama Nayla. Hari ini tak ada kata sedih karena hari ini adalah
hari yang akan selalu Gio ingat, dimana Gio dan Nayla semakin dekat.
“Jika
kau ingin melangkah, langkahkanlah kakimu, aku akan menjadi bumimu agar kau
bisa terus bahagia tanpa memikirkan masalah yang ada”
“JANGAN KAU MENJADIKAN AKU DAUN
GUGUR”
***
“Sinar mentari memerah dan membakar langit
dengan sendirinya menghancurkan keindahan yang membuatku resah dalam dilema”.
***
Gio dan Nayla berkomunikasi semakin intens, setelah kejadian
mengerjakan tugas bareng itu Gio memberanikan diri untuk menelpon Nayla lagi
dan lagi. Komunikasi Gio dan Nayla semakin lancar, seakan-akan tidak ada
batasan untuk Gio dan Nayla bercerita satu sama lain, dan seakan dunia hanya
milik mereka berdua tanpa mempedulikan hal-hal di sekitar. Gio dan Nayla
seperti sepasang kekasih, saling mengetahui aktivitas satu sama lain. Rentang
waktu ini membuat Gio selalu berpikir apa mungkin ini bisa menjadi sebuah
cerita cinta.
“Apa ini hanya angan yang akan hilang ditiup angin atau ini
benarbenar suara hati yang tumbuh secara diam-diam dan mekar di seluruh hati
dan jiwa”, pikir Gio.
Malam datang dan angin bertiup kencang dari jendela kamar
Gio, menusuk Gio secara perlahan tapi pasti, tak ada cahaya di ruangan itu.
Mata Gio terbuka, hati Gio terketuk dan Gio harus mencari apa maksud dari
ketukan tersebut. Gio mencoba melangkahkan kaki berpikir, “Ya sudahlah mungkin
aku butuh ke suatu tempat,’ pikir Gio. Terpikir oleh Gio menuju ke tempat
favorit Gio yang tak jauh dari Kota Yogyakarta, tempat yang selalu Gio tuju
saat Gio bersama ibunya. Pada malam itu Gio berangkat bersama Wati. Sesampainya
disana Gio merenung dan memikirkan Nayla dan bertanya ‘apa ini hanya sekedar
euforia saja yang akan hilang dengan sendirinya atau ini benar-benar rasa cinta
untuknya? ’ batin Gio sambil mengelus dada. Padahal saat itu Gio juga
mengetahui bahwa ada beberapa teman gio yang juga menyukai Nayla, tetapi Nayla
lebih dekat dengan Gio.
Seketika angin bertiup kencang dan angin membisikan nama
Nayla disela-sela telinga Gio. “Serasa aneh dan tak masuk akal jika aku terus
maju” pikir Gio. Namun hatinya selalu memaksa Gio untuk maju dan maju, sehingga
Nayla bisa menjadi milik Gio.
“Jika aku memang mencintainya, aku harus terus berjuang
karena dialah bahagiaku” Hati Gio meyakinkan. Suasana menjadi dingin dan sunyi
sekali, sang Merapi dan sang Merbabu mengintip dari sela-sela embun malam itu.
Dan akhirnya Gio memutuskan suatu jawaban tentang sebuah
arti cinta. Tingkah Gio tak dapat menutupi kelegaan hati ini. Tak terbendung
senyuman yang keluar secara tiba-tiba dari bibir Gio membuat Wati melihat
dengan aneh.
“Kenapa
kamu tersenyum sendiri, Gi?” tanya Wati
“Aku hanya bahagia akhirnya aku bisa menemukan jawaban di
sini. Aku sangat senang malam ini, tak bisa kuungkapkan dengan katakata, Wati.”
Jawab Gio jujur.
“Emang jawaban seperti apa yang kau dapatkan, Gi?” Wati
penasaran. Sejak tadi dilihatnya Gio seperti ada di dunianya sendiri.
“Ini semua bukan tentang maju ataupun mundur Wati. Tapi ini
semua adalah tentang bagaimana perjuangan seorang laki-laki yang ingin
membahagiakan orang yang dia cintai.” Jelas Gio meyakinkan.
“Gio..Gio.. terlau bijak kau malam ini.” Sambut Wati, tanpa
tahu maksud yang Gio bicarakan.
“Hahahah mungkin ini hikmah jalan-jalan enggak jelas kita
malam ini.” Ucap Gio masih membuat Wati penuh tanda tanya.
“Hati ini sudah menjadi seperti mortir yang bisa
membombardir sebuah gedung”.
Tapi tiba-tiba timbul sebuah pertanyaan baru dalam benak
Gio. Gio mencoba untuk berpikir lebih dalam mengenai kegelisahan ini, yaitu
tentang keluarga. Ini menjadi salah satu alasan besar kenapa Gio susah untuk
bisa maju agar bisa mendekati Nayla. Selain tentang siapa aku? pantaskah aku?
Dan salah satunya lagi adalah keluarga. Keluarga Gio yang hancur serta Gio
memiliki adik yang menderita downsyndrome.
“Apakah dia mampu dan mau menerima itu semua?” Gio membatin.
Alasan itu yang membuat Gio semakin takut untuk mencintai seseorang. Gio mengalami
kekerasan dalam keluarga semasa kecil. Imbas dari seorang ayah yang selalu
ingin menang sendiri dan ibu dengan ego yang tinggi. Kejadian memilukan yang
Gio saksikan sendiri ketika Gio masih kecil. Mata polos dan hati yang bersih
dari seorang balita yang polos saat itu ternodai oleh kekerasan seorang ayah.
Gio juga takut akan menjadi seperti ayahnya, tapi Gio yakin, Gio telah
mendapatkan pelajaran yang cukup tentang itu. Kepala Gio penuh dengan
pikiran-pikiran itu sampai Gio dan Wati memutuskan pergi dari tempat mereka dan
pulang ke rumah masing-masing.
Ketika Gio sampai di rumah, Gio terduduk di kursi biru di
depan ruang tamu. Pada malam itu Aji, Agung, dan Mir ada di rumah kontrakan,
termasuk Nayla untuk mengerjakan tugas bersama. Gio terus berpikir dan berpikir
tanpa henti dan semakin yakin ketika melihat senyuman Nayla. Akhirnya Gio
memutuskan untuk berdiri dan mencari kaca sambil bertanya kepada dirinya
sendiri.
“Rasa ini bukan hanya sebuah euforia
sesaat yang akan timbul dan hilang dengan sekejap mata.” Gio meyakini hati.
Kenapa pertanyaan itu muncul lagi padahal Gio sudah
mendapatkan jawaban itu? Gio melihat Nayla melirik kepada Gio dan Gio yakin
Nayla sendiri pun pasti sedang bertanya-tanya.
“Apa yang sedang ku lakukan?” batin Gio..
Seketika Gio
langsung duduk kembali di kursi biru bersama Aji, Aji bertanya.
“Kapan kamu
akan menyatakan bahwa kamu jatuh cinta kepadanya
Gi?” ujar Aji
“Aku enggak tau kapan akan mengatakan itu. Apa dia tau
tentang perasaanku Ji ?” jawab Gio padanya.
“Dia tau apa yang kamu rasakan, dia juga pernah bercerita
kepadaku bahwa kamu sudah dekat dengannya dan dia menunggumu untuk berani
mengatakan itu,” Aji membuka rahasianya.
“Apakah benar yang dikatakan oleh Aji? Kalau memang benar
takkan ada lagi kata ragu di dalam hatiku dan tak akan lagi memikirkan hal-hal yang selalu membuatku
ragu” pikir Gio sambil menghela nafas.
Malam itu Gio semakin yakin akan mengatakan perasaannya pada
Nayla, tapi Gio butuh sedikit keyakinan lagi untuk melakukan itu, hanya sedikit.
Gio berharap akan mendapatkan keyakinan dan keberanian untuk mengatakan itu
semua.
Akhir-akhir ini Gio selalu merasakan bayang Nayla hadir di
setiap langkah Gio. Semua orang memberi tahu Gio untuk mengatakan kepada Nayla
secepat mungkin, “bahwa aku mencintaimu”. Gio ingin mengajak Nayla untuk masuk
ke dalam dunianya serta merasakan apa yang Gio rasa terhadap Nayla. Gio bingung
saat itu, Gio harus melakukannya dengan cara seperti apa. Tanpa kata, Gio duduk
di ruang tamu untuk luangkan semua imajinasinya memikirkan cara untuk bisa
mengatakan semua yang berkecamuk dalam dada. Hati Gio telah menjadi biru karena
memendam perasaan ini, dan tak ada sedikitpun yang Nayla tau tentang perasaan
tersebut.
Malam semakin larut, dan Gio masih berdiam diri diruang tamu.
“Kurasa aku perlu teman bicara”, pikir Gio. Segera beranjak dari duduk, Gio
pergi menemui Aji.
“Aku pengen ngomong nek aku sayang karo
de’e (aku ingin berbicara kalau aku sayang sama dia)” ujar Gio pada Ji.
“Oh.. kok podo aku ya pengen
ngomong karo gebetanku (kok sama, aku juga ingin berbicara ke gebetanku), ya
wis nek tenan
serius ungkapke wae (ya udah kalau serius
ungkapin aja)” kata Aji.
Akhirnya Gio dan Ji selesai membuat skenario cara untuk
mengungkapkan perasaannya masing-masing. Gio gembira karena sebentar lagi Gio
akan menyatakan perasaan yang telah sekian lama dipendam dan gelisah mengenai
rencana yang akan Gio lakukan besok dan perasaan Nayla terhadap Gio.
***
“Jangan pernah berhenti untuk membuat orang yang kamu sayang
tersenyum dan bahagia bersamamu, walau cobaan terus datang silih berganti”
“AKU, KAU DAN DIENG”
***
“Sekarang Nayla sudah menjadi milik Gio, dan Gio adalah
milik Nayla juga. Gio selalu ingin membuat momen spesial bersama Nayla. Kali
ini Gio dan Nayla memutuskan untuk traveling ke Dieng untuk menikmati malam
yang indah”.
***
Kesempatan untuk selalu bersama Nayla tak pernah Gio
sia-siakan sedetikpun. Kini Dataran Tinggi Dieng-lah yang menjadi tujuan dari
perjalanan mereka, bersama Aji, Agung, Mir, dan Mima. Kawankawan Gio di kampus.
Dengan sedikit persiapan mereka berangkat tanpa ragu. Cuaca yang sangat dingin
membuat Gio dan Agung, Aji, Mir, Mima, dan Nayla berhenti beberapa kali untuk
sekedar menikmati bakso yang lezat, cocok untuk disantap pada saat cuaca Dieng
yang dingin. Gio menyantap bakso yang panas itu sembari sesekali melihat wajah
cantik Nayla. Saat melihat Nayla tidak menggunakan jaket, Gio langsung
melepaskan jaketnya dan di memberikan kepada Nayla.
“Kamu kok enggak pakek jaket sih, Nayla?”
“Jaketku ketinggalan di
dalam mobil Gi..brrr...” Nayla mengigil. “Kamu pakai jaketku aja yah, biar
enggk kedinginan, Nayla.”
“Terus kamu pakai apa Gi, nanti malah kamu yang kedinginan
tau?”
“Aku mah aman saja Nayla, coba aja tanya
si Aji.”
“Bener tuh Gio mah laki-laki strong Nayla” Ujar Aji
membenarkan.
Gio tidak ingin
melihat Nayla kedinginan bahkan hingga sakit, dan kalau itupun terjadi, Gio
pasti menyalahkan dirinya. Angin malam ini menusuk rongga-rongga dada Gio
secara perlahan. Setelah menikmati bakso mereka memutuskan untuk pergi ke
losmen yang sudah mereka pesan.
Pagi pun tiba, terdengar suara burung berkicau merdu di
balik jendela losmen. Entah mengapa Gio merasa badannya tidak enak sekali,
bahkan Gio berkali-kali memuntahkan semua makanan yang ada di perutnya. Gio
menggigil dan tidak tau apa penyebabnya. Inilah akibat jika sok-sok kuat di
cuaca Dieng yang dingin dan berangin. Masuk angin tingkat tinggi. Walaupun itu
demi terlihat kuat di depan Nayla, atau demi cinta sekalipun, cuaca Dieng tidak
kenal kompromi. Tidak pakai jaket, harus diganjar dengan masuk angin. Dan Gio
jadi korban kesekian.
Gio putuskan
untuk menutup matanya lagi, melanjutkan tidurnya, berharap bisa mengurangi rasa
sakit. Tak lama kemudian Gio merasakan ada seseorang masuk ke kamarnya dan
tangan yang lembut itu menyentuh kening Gio. Ketika Gio membuka mata, ternyata
Nayla yang sedang menyentuh kening Gio.
“Kamu kenapa Gi kok badanmu panas banget sih?” sambil memegang
jidat Gio dan menggenggam tangan Gio.
“Aku enggak apa-apa Nayla mungkin kecapekan aja, mungkin
cuma butuh istirahat aja Nayla” kata Gio sambil menutupkan mata kembali.
Nayla pergi dari hadapan Gio untuk mengambil air dingin,
lalu mengkompres kepala Gio. Beberapa jam kemudian badan Gio terasa baikan, Gio
tak paham kenapa bisa begini, Gio mengira mungkin ini kekuatan cinta karena Gio
tak ingin melihat Nayla tak dapat menikmati hari-harinya di Dieng.
Gio langsung mengemas beberapa barang dan langsung pergi
menuju ke wisata yang ada di kawasan Dieng dengan keadaan tubuh yang sedikit
membaik.
Salah satu destinasi yang mereka kunjungi yaitu Candi
Arjuna. Gio tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, Gio dan Nayla langsung
mengabadikan momen bersama. Seakan-akan Gio dan Nayla adalah sepasang kekasih
yang sedang bercinta di atas awan. Ibaratnya Gio adalah Arjuna, dan Nayla
adalah Dropadi, dan mereka berdua sedang memadu kisah cinta yang sedang
manismanisnya di Negeri Diatas Awan itu.
***
Siang hari Gio dan Nayla
pulang ke Yogyakarta, Gio dan Nayla duduk di kursi paling belakang. Pada
saat itu Gio kelelahan, Gio tertidur dengan pulas. Saat Gio membuka matanya,
Gio terkejut mendapati kepala Gio berada dipangkuan Nayla, mengingat saat Gio
tertidur kepala Gio menempel ke kaca mobil bukan di pangkuan Nayla. “Rasanya
seperti aku sedang berbaring di pangkuan ibu” gumam Gio dalam hati. Gio menutup
matanya kembali karena Gio merasakan Nayla sedang mengelus kepala Gio.
Gio terbangun saat Mir di dalam mobil berteriak sangat
keras, membuat Gio kaget. “Senang rasanya bisa berbaring di pangkuanmu”, batin
Gio lagi. Gio ingin terus merasakan kenyamanan berbaring di pangkuan Nayla,
tetapi Gio tidak enak karena mungkin kepalanya membuat paha Nayla menjadi sakit.
Gio langsung duduk dan melihat wajah Nayla yang tertidur pulas di samping Gio
dengan kepala yang menempel ke kaca. Gantian, Nayla yang tertidur pulas sehabis
mengelus kepala Gio. Mungkin Nayla juga kelelahan. Gio melipat kakinya dan
membenarkan letak kepala Nayla dengan lembut dan meletakannya di pangkuan Gio.
Gio sangat senang. Orang yang dia sayang tertidur di
pangkuannya. Nayla terlihat seperti bidadari yang dikirimkan Tuhan. Wajah Nayla
memancarkan cahaya membuat Gio merasa tenang.
Sampai di Kota
Jogja, Gio dan Nayla turun di depan rumah kontrakan Gio, Nayla bergegas
pulang dan berpamitan. Mereka berpisah
sesaat pada malam itu. Gio berharap kisah hari ini akan berlanjut dalam
mimpinya.
“Perpisahan tidak tau kapan akan datang, dan kita dipaksa
untuk bisa menerima itu semua walau nestapa menemani setiap langkah”
“DUNIAMU, DUNIAKU MENJADI SATU”
***
Hari demi hari gio lalui bersama, membagi kasih dan memadu
kasih dan rasa sayang bersama. Kau dan aku menjadi satu, dikala aku sedang
terjatuh, engkau selalu ada untukku. Engkau semangatku, engkau kekuatanku dan
engkau anugerah terindah yang pernah aku miliki. Cobaan demi cobaan terus
datang, tapi kita selalu hadapi bersama dengan sekuat tenaga untuk menahan itu semua”
.
***
Suatu ketika Daddy datang ke Yogyakarta. Gio memperkenalkan
Nayla pada Daddy, orang tua Gio.
“Daddy ini dia Nayla.” Gio memperkenalkan dengan bangga
“Wah.. ini Nayla yang sering Gio ceritakan
ke Daddy ya?” kata Daddy .
“Iya Dad, yang Gio pernah bilang ke Daddy, dia pacar Gio”
ujar Gio dengan senyum
“Iya Om saya Nayla, salam kenal
yah om” jawab Nayla tersipu malu. “Iya Nayla, jagain Gio yah, dia dulu dari
kecil sampe sekarang masih saja nakal enggak ngerti juga ngikutin sifat siapa.”
Daddy sambil tertawa kecil.
“Tentu saja om, sudah tugas Nayla itu mah. Kalau dia enggak
kuliah nanti telinganya biar Nayla jewer Om,” canda Nayla sambil memandang ke
Gio. Ada butir-butir cinta disetiap pandangannya.
Sebuah kebanggaan bagi Gio bisa mengenalkan Nayla pada orang
tua Gio. Gio senang, Gio bangga, dan Gio bahagia, bahwa secara tidak langsung
Daddy setuju dengan apa yang sudah Gio pilih.
Saat Gio memandang Nayla, tiba-tiba pandangan Gio menjadi
samar melihat Nayla yang sedang
berbicara bersama Daddy. Nayla seperti melihat sesuatu yang entah apa, yang
datang dari entah alam bawah sadarnya, entah dari masa lalu, ataukah masa depan.
“Apa yang terjadi?” batin Gio, Muncul perasaan takut dari
Gio.
“Seakan Nayla akan
meninggalkanku, padahal keadaan sekaranglah yang membuatku sangat mencintainya”
ujar Gio. Apa ini perasaan takut kehilangan dari setiap orang yang mulai
menemukan sesuatu yang mana dia tidak ingin kehilangan hal tersebut? Gio
membatin.
Gio, Nayla,
dan Daddy pergi makan siang bersama. Mereka makan di tempat soto favorit Gio
tak jauh dari tempat rumah kontrakan. Gio dan Nayla bercanda tawa bersama
Daddy, cara Nayla berbicara dengan Daddy membuat Gio semakin yakin bahwa, “aku
telah menemukan orang yang tepat”.
Setelah melanjutkan hari bersama-sama, mengelilingi kota
Jogja hingga petang dan pergi menjemput
Tio dan Vina yang sedang menikmati senja. Daddy memutuskan untuk makan malam.
Makan di resto yang megah membuat Gio kurang nyaman, karena perut Gio tak
terbiasa menerima makanan itu semua. Akhirnya Gio hanya bisa mengikuti apa yang
diinginkan Daddy. Makan malam diselingi perbincangan yang hangat seperti
layaknya sebuah keluarga kecil.
“Gio, Tio, Vina, Nayla mau pesen apa aja nih ?” Daddy
melipat lengan kemeja
“Sebentar dad kita pilih dulu menu makananya” Tio menjawab.
“Oh ya dad setelah ini kita mau kemana?” ujar Gio yang
gelisah di restoran mewah.
“Coba nanti kita keliling mall untuk mencari kebutuhan
kalian di sini yah,” kata Daddy.
“Nayla jadinya pesen apa?” Daddy bertanya
“Pancake aja om sama jus alpukat” Nayla
menjawab.
“Terus Vina mau pesen apa?” ujar Daddy
“Vina sama saja om dengan Nayla pancake juga tapi minumnya Cappucino
aja om” Vina menjawab
“Ya sudah.. Gio panggilin masnya dan suruh
ambil daftar pesenan kita,” Daddy sambil menyentuh pundak Gio
“Ok siap bos!” Gio berdiri sambil menghela nafas
Gio berharap semoga suasana ini akan tetap terjaga dan selalu
begini selamanya. “Cuma apakah itu mungkin?” batin Gio. Tetapi kenapa saat Gio
memandang Nayla bayangan Nayla terlihat begitu semu. Seperti ada yang aneh. Gio
menyerahkan seutuhnya kepada waktu (biarkan waktu yang akan menjawab). Malam
indah ini rasanya tak ingin Gio akhiri.
***
Mata Gio terbuka di pagi hari, Gio akan memulai hari ini
bersama Daddy. Gio dan Daddy menunggu kedatangan Nayla ke rumah kontrakan Gio.
Mereka akan pergi mengantar Daddy ke acara reuni SMA-nya dan Gio bersama Nayla
pergi menuju Candi Ratu Boko untuk menikmati senja bersama.
Di Candi Ratu Boko Gio dan Nayla berfoto-foto tanpa
mempedulikan orang lain, mengabadikan momen-momen mereka bersama. Gio dan Nayla
tertawa dengan romantis tanpa melihat suasana di sekitar. Gio sangat senang dan
bahagia bisa merasakan itu semua. Akhirnya Gio dan Nayla kembali ke kota untuk
menjemput Daddy. Sampai disana Gio dan Nayla langsung menuju sebuah rumah makan
bersama Daddy dan kembali berbincang hangat bersama-sama.
Pertemuan
Nayla dengan Daddy sangatlah singkat, namun penuh dengan makna yang mungkin
akan menjadi awal untuk bisa ke jenjang berikutnya.
“Mungkin itu hanya sebuah harapan semu saja” batin Gio.
Menghayal tentang cinta hingga tua mungkin bukan sebuah masalah untuk Gio. Gio
tertawa sendiri, bahagia sendiri membayangkan hingga tua bersama Nayla.
“Hingga nanti putih rambutku” pikir Gio.
Selesai makan Nayla dan Gio pulang karena matahari mulai
terbenam. Malam itu Gio dan Daddy bercerita membahas tentang Nayla.
“Gi, pacarmu tidak secantik pacar abangmu, namun hatinya
lebih lembut dan Daddy suka dengan tata kramanya, pertahankan jangan sampai
seperti Daddy dan Ibumu,” ujar Daddy sambil menghela nafas.
“Ya dad, tapi fisik bukan hal utama dad, Gio nyaman bersama
Nayla tanpa ada embel-embel lainnya” ujar Gio yakin.
“Semoga hubunganmu tetap bisa bertahan
hingga tua yah nak.” doa Daddy
“Amin.”
Gio kembali diam dan berpikir
sendiri, Gio semakin yakin akan pilihannya. Namun setiap Gio menghayal
pandangannya selalu membentur kabut. Seakan ada sesuatu di depan sana yang
masih terasa kabur, namun Gio selalu mengelak. Itu semua akan baik-baik saja
ketika Nayla bisa menerima Ragil—adik Gio--yang memiliki
symptom down syndrome.
“ Mungkin
pertemuan ini adalah akhir kau dan aku menjadi kita, memaksaku untuk terus
berperasangka buruk pada waktu, kau mengajarkan aku agar mampu melangkah
tanpamu, tapi ku tak mampu.”
“SEJENAK KITA BERPISAH”
***
Tak lama kemudian Gio kembali ke kampung halamannya, di
Kuala Tungkal, Jambi. Sangat berat hati Gio untuk meninggalkan Nayla, namun
Nayla juga harus kembali ke kampung halamannya. Nayla mengantarkan Gio ke
bandara. Gio dan Nayla berbincang sejenak dan disana Gio mengenalkan Nayla
kepada Anggun sahabat Gio yang bekerja di bandara Yogyakarta.
“Hei... Anggun,” sapa Gio ketika melihat temannya.
“Gio.. Kamu pulang? Kok tidak kabar-kabar
aku sih?” Anggun membalas antusias
“Waaah maaf Anggun, aku tidak sempat bicara denganmu lewat
sms ataupun telpon karna ini benar-benar mendadak,” sambil mengelus jidat.
“Tapi kemarin terakhir kan kamu bilang ke aku tidak pulang?”
kata Anggun dengan muka memerah seperti ingin marah.
“Heheheh... maafin aku nggun, kan sudah dibilang ini
mendadak harus pulang.” Tangkis Gio.
“Terus
perempuan ini siapa Gi?” Anggun melihat ke Nayla sambil bercanda, tapi tanpa
curiga apa-apa.
“Ini Nayla, kenalkan dia akan menjadi
calon dari anak-anakku nanti hahaha...” canda Gio.
“Wahh, Pede sekali kamu Gi,....Halo Nayla..” sapa Anggun.
“Halo Anggun..” sambil menjabat tangan
Anggun
“Sini Gi, Nayla, kita nongkrong dulu di
bandara sambil nunggu waktu berangkat.”
“Iya, ide yang bagus tuh Anggun,” jawab Gio.
“Nayla sudah berapa lama jadian sama Gio?”
tanya Anggun.
“Wah baru 4 bulan Anggun, yah bisa
dibilang baru sih untuk jenjang sebuah hubungan.”
“Kok kamu bisa mau sih sama Gio? Udah hitem, kecil dan dekil
hahaha” canda Anggun, sekali lagi.
“Waah ini bukan tentang fisik ataupun tentang materi tapi
ini tentang rasa dan cinta, hahaha” balas Nayla.
“Dengar kan Anggun.. sama layaknya puisi Sapardi Djoko
Damono, aku ingin mencintaimu dengan sederhana, hahhaha.” Gio menambahkan.
“Yaeelaah Gi, gaya bener ente yaah...”
kata Anggun.
“Anggun, pesawatku udah mau berangkat
ini.” Gio bergegas
“Ya sudah Gi,
sini aku yang urusin semua check-in pesawatnya.”
Anggun pun bergerak ke bagian Chek in, diikuti Gio dan Nayla
“Makasih
Anggun..”
“Nay, Gio pamit pulang dulu yah ke Jambi untuk beberapa
minggu. Gio pasti bakal kangen banget, jangan nakal di Jogja yah, jaga diri
baik-baik dan salam buat keluarga,” sambil memegang erat kedua tangan Nayla.
“Ya, Gi... Besok sampe di Jambi matanya dijaga yah biar
enggak kepincut yang lain disana. Kalau disuruh ibu jangan melawan, dan jangan
nakal serta jangan pulang malam. Nayla juga bakalan kangen sama Gio,” sembari
memeluk tubuh Gio dengan erat. “Gio pamit pulang dulu yah Nayla. Assalamualaikum.”
“Iyaaa Gio. Wa’alaikumsalam,” dengan mata
berlinang seakan air Tuhan akan turun dari kelopak mata.
Gio dan Nayla sempat berfoto, selalu ada kenangan pada saat
itu, Nayla memeluk Gio dan melepaskan kepergian Gio untuk sesaat, air mata Gio
menetes tak bisa dibendung. Padahal hanya beberapa saat Gio harus terpisah
dengan Nayla, bukan untuk selamanya.
Sesampai di Jambi Gio disambut oleh keluarganya dengan rasa
sayang dan haru. Hari itu juga Gio harus langsung mengabari Nayla bahwa sudah
berada di Jambi. Beberapa hari kemudian, Gio terbawa oleh suasana di Jambi,
sehingga melupakan kewajibannya mengabari Nayla dan menjadi sebuah masalah
antara Gio dan Nayla.
Akhir-ahkir ini Gio sibuk bersama keluarganya. Ketika Gio
memiliki waktu luang sebisa mungkin Gio akan menghubungi Nayla, agar bisa tau
keadaan satu sama lain. Pada saat itu Gio dan Nayla sedang diuji oleh jarak
kota yang berbeda, namun Gio dan Nayla bisa mengatasi itu. Gio rindu dengan
Nayla dan Gio sedikit takut akan keadaan Nayla yang jauh dari jangkauannya.
Nayla memiliki penyakit yang benar-benar harus dijaga.
Ketika pagi datang sahabat Gio yang bernama Dwi tiba-tiba
menjemput dan mengajak Gio berkeliling Kota Jambi. Dwi dulunya pernah menjadi
pacar Gio, hubungan Gio berakhir karena Dwi mempermainkan hati Gio dengan cara
melakukan perselingkuhan bersama sahabat karib Gio sejak kecil yang bernama
Arif. Sejak hubungan tersebut berakhir Dwi selalu saja menunggu kepulangan Gio
ke tanah kelahirannya. Berharap semua bisa kembali utuh seperti dulu.
Gio tak tau Dwi akan mengajak kemana dan bermaksud apa, Gio
hanya mengikuti langkahnya saja. Karena beberapa hari lagi Gio sudah balik ke
jogja, ternyata Dwi mengajak ke suatu tempat yang indah di tepi sungai.
“Kenapa kau mengajakku kesini Dwi? Apa ada
yang ingin kau bicarakan denganku?” tanya Gio yang rada curiga, tapi juga
penasaran
“Tidak, aku hanya ingin kita menikmati pagi menjelang siang
ini Gi. Sudah terlau lama kita tidak bertemu dari saat kau lulus SMP, kau sudah
jarang sekai pulang ke kampung halamanmu ini,” ujar Dwi sambil memukul pundak
Gio.
“Oalah iyaa
Dwi... Aku juga kangen sekali masa-masa kita SMP dulu yang selau ceria tanpa
memperdulikan kejamnya dunia, hihihi....” Gio tertawa.
“Oooooh iya Gi, itu siapa yang sering kamu update fotonya di
instagram?” Dwi mulai menembak ke inti masalah.
“Oh itu si Nayla namanya, emang kenapa?” jawab Gio sambil
menunggu lanjutan pertanyaan dari Dwi berikutnya
“Tidak apa-apa Gi aku hanya ingin tau saja.” Dwi membatasi
diri, namun wajajhnya bisa berbohong, dia masih menyimpan banyak rasa ingin
tahu.
“Waaaah... Jujur saja sebenarnya ada apa?” pikiran Gio
merasa ada yang aneh di wajah Dwi
“Serius tidak ada apa-apa kok Gi, jangan memikirkan yang
anehaneh. Aku hanya sekedar bertanya.” Ujar Dwisambil menatap mata Gio.
“Yaa sudah kalau begitu.” Gio menyerah
“Emang istimewanya si Nayla apa sih Gi sampe kamu ‘kayaknya’
sayang banget sama Nayla?” Dwi memulai lagi.
“Bukan ‘kayaknya’, tolong digarisbawahi ya Dwi. Hmm, Keistimewaannya?
Menurutku dia selalu spesial di mataku. Apapun yang Nayla lakukan selalu bisa
membuatku nyaman tanpa memikirkan masalah dunia. Dia memang tidak cantik tapi
itu bukan menjadi tolak ukurku untuk mencintai Nayla. Nayla berbeda dari yang
lain Dwi.” Jelas Gio panjang lebar.
“ya...ya...
Semoga aja yang kamu bicarakan itu benar.” Ujar Dwi dengan nada menyangsikan.
Namun Gio merasa tidak nyaman dengan respon singkat dan hambar dari Dwi.
“Kamu tidak percaya sama aku Dwi? Coba deh untuk sedikit
percaya. Apa karena yang dulu? Lagian kan dulu kamu pernah menjadi bagian
hidupku, tapi kamu yang berselingkuh di belakangku dan yang mengatakan putus
kamu juga kan? Apa masih kurang puas menyakiti aku?” Gio agak emosi, lalu
mengungkit masa mereka pacaran dulu.
“Bukan begitu Gi, tak ada sedikitpun aku ingin kembali
menyakiti hatimu Aku hanya ingin kau benar-benar mencintainya Gi, bukan sekedar
mencintai biasa saja,” kata Dwi sambil menundukkan kepalanya.
“Dwi, aku mencintainya dengan setulus
hati, tanpa ada yang cacat sedikitpun dalam hatiku.” tegas Gio.
“Sudah sudah.. enggak usah bahas itu lagi, sekarang lebih
baik kita pulang saja” uja Dwi. Dwi tampaknya salah memulai obrolan dan
sekarang kehabisan cara untuk menjelaskan ke Gio. Mereka terlanjur sudah saling
ungkit dan obrolan jadi tidak sedap.
“Ya sudah ayo kita pulang saja lagian juga tidak terlalu
baik kalau kita mengungkit masa lalu.”
Saat menuju jalan pulang Gio tidak berkata apa-apa kepada
Dwi. Sesampai di rumah Gio langsung menuju kamar dan berpikir sejenak.
“Apa yang
terjadi dengan Dwi?” Gio terdiam sendiri sambil memikirkan hal itu. Gio semakin
yakin bahwa ada sesuatu yang ditutupi Dwi dari Gio.
Sore harinya, teman Gio yang bernama Fitra datang ke rumah,
Fitra mengajak Gio untuk melihat senja sambil menikmati kopi. Gio tak akan
menolak ajakan Fitra karena dia adalah sahabat Gio sejak SMP yang selalu ada
ketika Gio membutuhkan pertolongannya.
“Fit tadi aku keluar sama Dwi loh” pancing Gio.
“Yakin Gi? Emang kalian kemana aja tadi?” Fitra terpancing.
“Aku hanya pergi diajak ke tepian sungai saja menikmati
siang hari disana. Namun ada sesuatu yang aneh terjadi dan aku tak mengerti apa
yang sedang dia tutupi dari aku,” kata Gio sambil menggaruk kepala dan melihat
ke jalanan.
“Sepertinya aku tau Gi. Mungkin Dwi masih suka atau masih
mencintaimu karena dulu kalian cukup lama kan pacarannya?” Fitra menduga.
“Iya lama sekali, aku pacaran sama dia 4 tahun. Aku
merasakan pahitnya bersama Dwi, Dwi menyakitiku, tapi aku tidak ada dendam
sedikitpun kok.” bongkar Gio
“Nah... Bisa jadi gara-gara itu Dwi jadi seperti itu
kepadamu, tapi yah itu hanya perkiraanku saja.” Fitra merendahkan suaranya.
“Mungkin saja sih karena terlalu kelihatan gerak-geriknya”,
ujar Gio
“Tapi kan gi... bukannnya kamu sudah punya
pacar?” Fitra menatap Gio dengan tatapan menyelidik.
“Iya aku
memang sudah punya pacar dan aku sayang sekali kepada pacarku ini, jadi enggak
mungkin aku jatuh hati lagi kepada Dwi.” Gio menghela nafas sejenak.
“Ya sudah setidaknya kamu tau siapa yang
terbaik untukmu, aku sebagai temanmu hanya bisa mendukung apa yang kamu pilih”
ujar Fitra bijaksana
Setelah kopi habis, Gio dan Fitra langsung menuju ke rumah
untuk melanjutkan perbincangan ini, namun ternyata di rumah Gio ramai sekali.
Teman-teman Gio semasa SMP sudah berkumpul di rumah Gio. Jadi tertunda pembahasan tentang semua kepada
Fitra, dan mungkin tahun-tahun yang akan datang baru bisa Gio dan Fitra bahas
kembali. Tapi setidaknya sekarang Gio bisa bernostalgia bersama-sama.
“Gio.....!!!” Ariful berteriak kencang sekali sampai telinga
Gio sakit dibuatnya. Ariful adalah teman SMP Gio.
“Iya kenapa Ful??” jawab Gio sedikit kesal.
“Tidak apa-apa, aku hanya kangen kita berbincang-bincang
seperti biasanya Gi.” Jawab Ariful setelah merendahkan suaranya sambil senyum-senyum.
“Emangnya kamu datang sama siapa Ful ke
rumahku?”
“Liat aja di dalam ada siapa aja.” Gio mengikuti arah
telunjuk Ariful dan bergegas kesana.
“Ryan, Yadi, Ekky,
Kevin, Muda..!” teriakk Gio senang.
“Gi..gi.. Sini-sini kita berfoto dulu untuk kenang-kenangan,”
Ryan menarik lengan Gio.
“Tunggu..tunggu aku juga mau ikut,” Fitra berteriak.
Ckreeeekkk..
“Waiittt !! Malam ini kita mau ngapain yah teman-teman” ujar
Gio.
“Mari kita bercerita-cerita hangat saja bersama sambil
menikmati malam ini, karena esok Gio kan akan pulang ke Yogyakarta,” Ryan berbicara
kepada teman-teman.
“Aku setuju dengan itu,” Yad memotong pembicaraan
“Setuju aja loh Yad..Yad,” Ryan membalas
“Kita mulai dari mana ini?” ujar Gio.
“Bahas tentang percintaan saja
bagaimana?” Fitra seketika menyambar perkataan Gio. Kebetulan Fitra juga ingin
mengorek lebih banyak tentang kawan yang lama tak dijumpainya itu.
Kebetulan ada momennya sekarang.
“Boleh.. Boleh siapa yang akan pertama
menceritakan kekasihnya?” Ryan langsung memberikan opsi.
“Terus siapa yang akan bercerita pertama kalinya?” ujar
Fitra menunggu umpan lambung dari kawan lainnya agar meminta Gio. Fitra yakin
mereka juga sama penasarannya. Sebabnya karena sama-sama sudah lama tidak
bertemu Gio.
“Bagaimana kalau Gio saja? Kan kita belum
pernah mendengar kisah dia dengan kekasihnya yang ada di Jogja,” Ryan tertawa
terbahak-bahak.
“Nah cocok! Kamu aja Gi” Yadi, Ekky dan
Muda menyambar.
“Gimana
Gi? Siap?” tunjuk Fitra.
“Oke....oke... Pertama aku yang akan bercerita, tapi
ceritaku akan sangat dan sangat memakan waktu, jadi yang penting saja yah,”Gio
menerima, Fitra tersenyum dan Yadi tertawa.
“Aku memiliki seseorang kekasih
yang bernama Nayla, Nayla anak yang lucu dan selalu membuatku tertawa. Entah
apapun yang Nayla lakukan selalu saja membuatku ingin mendampinginya, Nayla
berasal dari kota Pekanbaru Duri, memiliki pipi yang chubby dengan mata
berwarna coklat. Sudah lumayan lama aku bersama
Nayla, dan banyak sekali momen yang aku buat bersama Nayla.
Dari traveling, nonton saat aku performance band dll, dan Nayla menjadi
seseorang motivator yang membuatku bisa berubah menjadi baik dan lebih baik
lagi dari sebelumnya,” cerita Gio bernada lantang dan keras, memaksa
teman-teman untuk tertawa dalam kisahnya.
“Ooohh, itu toh yang sering kita liat fotonya di instagram.
doang. Kayaknya seru sekali yah ceritamu Gi, mungkin kamu beruntung sudah
mendapatkan dia,” Yadi dengan wajah serius.
“Hahahah... maaf ya, bukan kayaknya, tapi sebenarnya. Dan
satu lagi kalau mau dibilang mungkin dia yang beruntung mendapatkanku,” ujar
Gio memberi penekanan.
“Udah ga usah banyak
pembelaan Gi. Gi yang bener tuh ya, itu kamu yang beruntung mendapatkan dia”
Ryan tertawa terbahakbahak. Diamini oleh yang lainnya. Gio tersudut.
“Ya sudah.... iya aku yang beruntung mendapatkan dia, aku
udah ngantuk nih aku izin tidur ya. Kalian lanjut aja kalau mau bercerita,” mulut
Gio menguap.
“Huuu! Katanya mau bercerita panjang lebar
malam ini!” Ekky memprotes.
“Hahaha.. sorry banget. Ada urusan penting besok. Kalian
kalau mau lanjut ga papa, besok aku minta bocoran ceritanya. Hehhehee” Gio
mengelak dan segera beranjak ke kamar. Ekky sambil bercanda melempar kotak
rokok ke punggung Gio dan disambut dengan elakan dari Gio. Yang lain hanya
tertawa melihat tingkah mereka.
“Besok dia mesti berangkat pagi-pagi, nanti kebablasan” bela
Fitra yang mengetahui Gio akan segera ke Jogja esok harinya. Mereka pun lanjut
bercerita sementara Gio tidur lebih cepat.
***
Hari yang ditunggu telah tiba dan Gio sudah sampai di
Yogyakarta. Gio langsung bertemu dengan
Nayla, Gio sangat senang karena tak ada
sedikitpun yang berubah dari sikap Nayla.
“Kau tetap seperti queenbee-ku yang dulu dan kau akan selalu
ada dalam hatiku” pikir Gio ketika pertama kali melihat Nayla.
Pagi ini burung berkicau di depan jendela kamar Gio, saatnya
untuk ke kampus. Gio dan Nayla bertemu di kelas, Gio dan Nayla duduk bersebelahan
sambil belajar dengan serius, terkadang bercanda dan tertawa. Nayla selalu
memandang Gio ketika Gio mulai ribut di kelas, Nayla selalu melihat Gio saat
Gio mencoba untuk berbincang dengan orang lain. Gio tahu apa yang Nayla maksud, Nayla ingin Gio fokus untuk belajar pada saat
di kelas. Namun Gio tidak bisa, memang Gio seperti ini, orang yang lincah dan
selalu ribut di kelas, tetapi Gio selalu bisa mengerti apa pelajaran itu.
Ketika siangpun tiba akhirnya Gio dan Nayla memutuskan untuk pergi makan
setelah itu memesan kue, terlihat raut wajah Nayla yang begitu senang.
Gio selalu menolak ketika Nayla mengajak Gio untuk menonton
film di bioskop. Gio selalu menolak karena gio tidak pernah menyukai itu!
“Lebih baik kita membeli nasi padang saja dan terus nonton
di rumah saja. Atau jika perlu kita beli proyektor saja, seperti nonton di
layar tancap” ujar Gio suatu kali. Terlihat raut wajah kecewa di wajah
Nayla.
Malam pun datang Gio dan Nayla langsung bergegas untuk
memesan kue ulang tahun. Saat di perjalanan Gio berkata kepada Nayla,
“Besok Tyo ulang tahun, alangkah baiknya jika kamu ikut
membuat kejutan untuknya,” namun Nayla menolak ajakan Gio.
Nayla menemani Gio memesan kue cokelat Tyo. Setelah memesen
kue, Gio dan Nayla langsung pergi ke tempat makan. Sekali lagi Gio mencoba
membujuk Nayla untuk ikut membuat surprise, tetapi bukan reaksi baik yang Gio
dapat, melainkan Nayla membentak Gio dengan nada tegas.
“Yakin Nayla kamu tidak ingin menemaniku
membuat surprise untuk Tyo?” tanya Gio dengan lembut.
“Kan aku sudah bilang berkali-kali sama kamu, enggak usah
memaksaku untuk ikut, jangan buat aku kesal deh!” tegas Nayla sambil memainkan
tangan menunjuk-nunjuk dan dengan mata melotot.
“Okee. Tapi tolong jangan marah-marah seperti ini, apa
menurutmu aku tidak sakit kamu melakukan hal begitu terhadapku? Aku hanya ingin
kamu ada saat membuat surprise untuk Tyo karena ulang tahunnya itu hanya satu
tahun sekali. Itupun kalau umurnya panjang, tapi kalau emang tidak mau yah
sudah, terima kasih buat tumpangannya,” Gio keluar dari mobil dan menutup pintu
berjalan menuju rumah kontrakan yang jaraknya masih jauh.
Sesampainya di rumah,
Gio hanya bisa terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa. Gio langsung mengambil handphone
dan meminta maaf karena sudah memaksa Nayla untuk ikut ke acara itu. Gio
mencoba untuk menenangkan diri, karena Gio tahu itu hanya emosi sesaat saja dan
besok akan reda.
“Air
mata turun dan memaksaku untuk berdialog senja bersamanya, membisikkan
derai-derai daun cemara pertanda
sebuah
perpisahan akan datang. Ku tak pernah berharap ini akan berakhir di sini saja,
karena ku tak biasa melangkah sendiri tanpamu ”
“MENGAIS-NGAIS KISAH
ITU”
***
“Terbesit dalam pikiran Gio untuk mengajak Nayla ke suatu
tempat dimana di tempat itu hanya ada Gio dan Nayla. Gio berencana untuk
mengajak Nayla ke Bromo, Jawa Timur. Sebenarnya Gio ragu Nayla akan mau karena
jauhnya perjalanan. Namun keraguan itu sirna ketika Gio membicarakan rencana
ini pada Nayla dan Nayla menyetujuinya dengan antusias”.
***
“Tapi harus ajak anak-anak yang lain juga yah, aku takut
malah enggak diperbolehkan orangtuaku,” kata Nayla sambil menggaruk kepala dan
menatap Gio dengan tatapan butuh pembelaan.
“Ya... Coba sekarang aku ajak teman-teman
dulu ya siapa yang mau ikut ke Bromo,” kata Gio seraya menelpon Aji.
“Hei Ji, apa kamu mau ikut ke Bromo?
Mungkin kamu bisa ajak pacarmu juga. Kita berangkat minggu depan.” Ajak Gio
pada Aji, temenya di kampus.
“Waah
sepertinya aku tidak bisa Gi, yah liat besok aja yah,” jawab
Aji.
“Nayla,
Aji tidak bisa ikut ke Bromo. Terus bagaimana?”
“Ya sudah kita berdua aja dan beli tiket
keretanya hari ini aja yah” jawab Nayla
“Ya... hari ini kita beli tiketnya biar
tidak kehabisan.”
Gio melajukan vespanya menuju Stasiun Lempuyangan untuk
memesan tiket.
“Turun Nay, kita sudah sampai di stasiun, buruan nanti
tiketnya keburu habis loh.” Ujar Gio terburu-buru.
“Iyaa Gi, sabar sedikit napa, hehehe” sambil tertawa
terbahakbahak melihat tingkah Gio yang takut sekali kehabisan tiket.
“Mas, tiket ke Malang untuk dua orang,” kata Gio sambil
membuka dompet dan mengeluarkan KTP.
“Lempuyangan ke Malang Kota Lama
sudah booked mas, ini nomor booking-nya,” ujar petugas reservasi. Gio dan Nayla
saling
bertatapan ragu, entah kenapa pada saat itu terjadi seperti
itu.
***
Gio bekerja
keras untuk bisa mewujudkan ini. Semangat Gio semakin membara seperti api agar
bisa mewujudkan momen bersama Nayla di Bromo. Gio memesan Bromo private tour
hanya untuk mereka berdua. Menikmati sabana Bromo ditemani senja sembari
menyantap hidangan yang disajikan dengan iringi lagulagu yang syahdu.
“Aaahh.. Apa ini hanya anganku?” khayal Gio berharap semua
itu menjadi nyata
“bersama Nayla” khayal Gio lagi.
Gio bekerja terus-menerus tanpa menghiraukan lelah yang ada
dipundak. Gio menabung, mengumpulkan uang agar Gio bisa berkeliling bersama
Nayla. Gio bekerja di sebuah tour and travel di suatu perusahaan jasa wisata
milik Revin. Gio bekerja di bagian foto dokumentasi. Terkadang Gio bekerja
hingga keluar kota untuk mengambil dokumentasi dari orang-orang yang
menggunakan jasa tour and travel. Gio juga bekerja sebagai barista di sebuah
coffee shop milik Jeane. Gio juga seorang drummer di band bernama Alice, mereka
beberapa kali diundang manggung, dan Gio dapat sedikit pemasukan dari situ.
Setiap harinya Gio jalani dengan bekerja, dan bekerja tanpa
henti untuk mewujudkan impian agar bsia backpackeran bersama Nayla. Awalnya
semua berjalan lancar sampai suatu ketika sehari sebelum keberangkatan Gio dan
Nayla ke Bromo.
Nayla menghubungi Gio dan membatalkan semuanya tanpa alasan
yang jelas. Ini memunculkan kekecewaan yang tak bisa Gio jelaskan. Gio hanya
bisa tertunduk pasrah mengingat apa yang Gio siapkan sejak lama terbuang
sia-sia. Terpaksa Gio pendam semua impiannya dan Gio bakar semua harapan
backpackeran dengan orang yang dia sayangi itu.
Gio selalu mencoba untuk berpikir positif walau semua itu
susah Gio tahan. Tanpa sadar Gio meneteskan air mata dan kesal akan keadaan.
Mungkin karena penyakit yang ada di punggung Nayla atau mungkin karena orangtua
Nayla tidak mengizinkan Nayla pergi. Gio selalu dan selalu mencoba untuk
berpikir positif menyikapi semua ini.
Untuk mengobati kekecewaan hati Gio dan tiket yang sudah
terlanjur terbeli, Gio memutuskan untuk pergi sendiri ke suatu tempat yang
masih berada di Jawa Timur.
***
“Tak
ada perjuangan yang tersia-siakan untuk kebahagiaan, namun terkadang tidak
sesuai dengan yang kita inginkan, jangan pernah berhenti untuk berjuang hingga
jalan kematian terbentang luas”
“AKU DAN KEKECEWAAN”
***
Hari yang “seharusnya” ditunggu pun tiba, Nayla mengantarkan
Gio ke stasiun. Berat hati Gio untuk melanjutkan langakahnya tanpa Nayla. Nayla
meminjam buku catatan kecil Gio, Nayla menulis sesuatu disana dan Gio tidak
boleh melihatnya sebelum Gio berada di dalam kereta.
Di dalam kereta Gio membuka buku catatannya dan Gio melihat tulisan
“Happy holiday bee” dan di sela-sela buku Nayla menyelipkan sejumlah uang untuk
Gio. Entah apa maksud dari semua itu. Menurut Gio, Nayla tidak perlu melakukan
ini semua karena apa yang Gio lakukan tulus dari hati.
“Aahh sudahlah” ujar Gio mencoba menutupi
kekecewaannya dan pertanyaan dibenaknya.
Di kereta Gio duduk persis di depan sepasang suami istri.
Mereka bertanya dengan akrab kepada
Gio
“Mau kemana mas?”
“Sebenarnya saya mau ke Bromo bersama orang yang saya
sayangi, namun gagal karena dia membatalkan keberangkatannya dan sekarang saya
belum tahu mau kemana. Mungkin saya akan ke air terjun Madakaripura di
Probolinggo,” jawab Gio sambil mengelus dadanya yang sedikit terluka.
Sesampainya di Malang, tanpa basa-basi Gio langsung ke
terminal untuk mencari kendaraan ke Tongas. Lalu menuju air terjun Madakaripura
yang berada di Probolinggo, Jawa Timur.
Gio teringat akan Nayla. “Seharusnya sekarang aku bersamamu
disini, gumam Gio”. Malam itu Gio
habiskan di desa Sapih, sebuah desa di Kecamatan Lumbang, Probolinggo. Pikiran
Gio sedikit teralihkan oleh suhu di desa yang dingin dan pemandangan yang
indah. Desa ini terletak di ketinggian 1000 mdpl dan suhunya lumayan dingin.
Bintang-bintangnya sangat indah karena penerangan disini tidak menghalangi
cahaya bintang. Sambil berbaring di teras rumah dan didukung suasana malam yang
cocok, Gio memikirkan Nayla.
“Apa yang sedang kau lakukan? Apa sekarang kau sedang
memandang langit yang sama denganku? Aku harap begitu dan kau mengerti semua
isi hatiku saat ini” batin Gio.
“Aku sayang kamu, aku akan menabung kembali dan membuat cerita
yang lain bersamamu” tekad Gio.
Mulai dari
pagi hari Gio mengeksplorasi keindahan alam di sekitar desa Sapih, hingga dia
melihat air terjun yang tingginya 200-an meter. Air terjun Madakaripura. Oleh
Mas Bagus, anak muda kampung sebaya Gio
yang menemani Gio di air terjun, Gio dijelaskan tentang air terjun ini. Katanya
ditempat itu dulunya Mahapatih Gajah Mada seringkali bertapa.
Aura magis dan alami di sekitar air terjun mampu mengalihkan
perhatian Gio dari Nayla. Gio menghabiskan waktu lama untuk mandi dan semacam
bersemedi di batu-batu yang di sekitar jatuhan air. Karena Gio sendirian, tidak
ada teman yang bisa diajak bercerita panjang lebar. Gio habiskan waktunya untuk
merenungi perjalanannya. Sambil mandi di jatuhan air, dia menanamkan sosok
Nayla dalam khayalannya. Sore hari, mereka berdua pun pulang kembali ke desa.
Kadang Gio berjalan-jalan sendiri tanpa ditemani oleh Mas Bagus, hanya untuk
mengeksplorasi pemandangan disekitar desa. Begitu terus sampai Gio merasa
liburannya sudah cukup.
Memang benar kali ini Gio gagal untuk mengajak Nayla
menikmati dan memperkenalkan alam Indonesia, tapi Gio takkan pernah berhenti
untuk bekerja, dan ketika Gio memiliki uang lebih Gio akan mengajak Nayla
kembali untuk menyusuri kota-kota yang ada di negeri ini bahkan mungkin ke
mancanegara.
Beberapa hari kemudian Gio kembali ke Malang untuk bertemu
salah satu teman lama bernama Evan. Di Kota Malang Gio menghabiskan waktu untuk
berbincang bersama evan.
“Bukannya kamu ke sini bersama pacarmu Gi? Terus dia dimana?
tanya Evan.
“Hihihihi..
gagal Van, mungkin itu bukan rejekiku,” kata Gio sambil menggaruk kepalanya dan
mengusap wajahnya.
“Yaa sudah mungkin dia tidak diperbolehkan
oleh orang tuanya, sabar sedikit saja mungkin itu juga yang terbaik buat dia,”
nasehat Evan.
“Aku juga selau coba untuk berpikir positif kok Van, jadi
yah Insya Allah tidak ada apa-apa.” Ujar Gio pasrah
Senang bisa melihat Evan lagi dengan keadaan yang lebih baik
sekarang. Perbincangan saat itu membuat
Gio lupa waktu, padahal Gio harus beristirahat dan keesokan harinya harus pulang ke Yogyakarta.
***
“Tak
hentinya melangkah mencari senja, selalu saja senja hilang dengan waktu cepat.
Tak ingin ku mengadili waktu agar berhenti
sejenak
dan dapat terus menikmatinya. Poros senja sore itu selalu membekas di benakku.
Kau, aku dan senja”
“KESIBUKAN YANG
MENYADARKANKU”
***
“Suasana sedikit menjadi berubah antara Gio dan Nayla.
Kesibukan yang begitu padat membuat hubungan Gio dan Nayla menjadi renggang.
Waktu yang tak seirama membuat Gio dan Nayla jarang bertemu. Selalu saja ada
halangan yang tak diinginkan ketika waktu sudah mendukung. Perubahan sikap yang
sering Nayla tunjukan pada Gio semakin memperkeruh suasana ini. Entah apa yang
terjadi dengan Nayla, tapi sungguh ini sangat mengusik hati dan pikiran Gio”.
***
“Aku tidak bisa bertahan dengan pikiran menganggu ini” keluh
Gio lesu. Gio sadar ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Gio hanya terdiam
membisu dan memejamkan mata.
“Yaa.. Ketenanganlah yang aku perlukan,” kata Gio menghela
nafas.
Ketika Gio bosan dengan hiruk pikuk dunia, ketika Gio butuh
ketenangan batin, Gunung selalu menjadi tempat Gio menemukan jawabannya. Gio
pun memutuskan untuk melakukan perjalanan yang terbilang nekat menuju Gunung
Argopuro yang terkenal dengan trek terpanjang di Pulau Jawa. Mendaki Gunung
bukanlah hal yang biasa apa lagi memakan waktu
selama tujuh hari berjalan di tengah hutan belantara. Entah apa yang Gio
pikirkan namun hati Gio berkata harus melakukannya. Seperti biasa, Gio memulai
persiapan dengan menyiapkan barang-barang yang Gio perlukan dan butuhkan ketika
disana. Nayla mengantar Gio ke stasiun dimana itu menjadi akhir Gio dan Nayla
bertemu.
“Nayla, Aku akan berangkat menuju Gunung Argopuro dan akan
memakan waktu yang sangat lama, disana tidak akan ada sinyal dan tidak tau juga
aku akan selamat atau tidak disana. Doakan saja aku kembali dengan selamat,”
ujar Gio sambil meletakan kedua tangannya di bahu nayla.
“Amin.. Semoga kamu dapatkan apa yang kamu
inginkan dan kembali dengan selamat,” kata Nayla dengan tatapan kosong.
Baik Nayla, maupun Gio, tidak mengetahui inilah obrolan
terakhir mereka berdua yang terbaik sebelum mereka akhirnya berpisah. Gio tidak
mengetahui, ini terakhir kalinya dia memegang tangan Nayla.
Gio kembali melangkahkan kaki menuju dalam kereta, sama
seperti yang dulu pernah terjadi saat mencoba untuk berangkat ke Bromo. Langkah
Gio sangat berat untuk memalingkan padangannya dari Nayla. Semoga aku kembali
dengan mendapatkan jawaban untuk hubungan kita, Gio bersedu sedan dalam
hatinya.
Di dalam
kereta Gio hanya terdiam memikirkan bahaya dari perjalanan ini. Gio tidak tau
apa yang akan terjadi di perjalanan nanti.
“Aku berharap semoga tidak terjadi apa-apa, supaya aku bisa
kembali melihat senyummu dan melanjutkan semua momen bersamamu”, batin Gio.
Di kereta Gio bersama dengan dua orang teman yang bernama Rexy
dan Agung. Sungguh perjalanan ini Gio
mulai dengan sebuah harapan baru dan sebuah tujuan baru. Sesampainya di
Surabaya, pada waktu itu tepat pukul 04.00 Wib, Gio duduk bertiga menikmati
sore Surabaya di Stasiun Gubeng.
“Rex, disini kita menunggu siapa? tanya Gio pada Rexy
“Menunggu temannya Agung agar kita bisa istirahat di
tempatnya,” katanya sambil menoleh ke Agung.
“Iyaa.. Kita tunggu temanku yah” ujar Agung menenangkan
kebosanan mereka berdua.
“Sekalian saja Gung, aku coba untuk menghubungi teman SMA-ku
dulu yang bernama Raffan” kata Gio memegang HP mencari kontak Raffan.
***
“Halo Raffan, sekarang aku di
Surabaya. Bisa kita bertemu sore ini karena besok aku dan teman-temanku akan
berangkat menuju
Gunung Argopuro.” ujar Gio dalam telpon
“Mendadak sekali Gi kamu memberi tahuku, sebentar aku
siap-siap dan langsung ke stasiun” jawab Raffan
“Oke Fan ditunggu di stasiun, see you Fan,” kata Gio sambil
menutup telpon.
Sore itu Gio coba melawan matahari tapi mata tak mampu untuk
itu, Gio terus membayangkan perjalanan ini. Apa saja yang akan terjadi, pasti
akan banyak sekali pelajaran-pelajaran baru disini.
“Rex.. kok aku tiba-tiba kangen Nayla ya? Walau baru
sebentar aku enggak ketemu dia,” ujar Gio menundukkan kepala dan memeluk lutut.
“Baru saja kita memulai perjalanan ini masa iya kamu
langsung ingin pulang dan bertemu dengan dia, coba liat anak kecil itu,” ujar
Rexy sambil menunjukan jari tangannya.
“Tapi rex ada sesuatu perasaan yang tidak enak dalam hatiku.
Emang kenapa dengan anak kecil itu?” Gio sambil mengikuti arah jari telunjuk
Rexy.
“Itu hanya perasaanmu saja Gi. Aku ingin sekali kembali ke
masa kecilku tanpa adanya kepalsuan dunia ini” jawab Rexy serius tapi sendu.
“hahahahhaa... Gi...Gi” Agung tertawa,
mendengarkan obrolan Rexy dan Gio.
“Mungkin bener Rex ini hanya perasaanku saja, ya sudah
semoga tidak terjadi apa-apa” ujar Gio
“Amin....!”
kata Agung dan Rexy kompak.
Temannya Agung dan Raffan sudah datang, saatnya menuju
penginapan untuk beristirahat karena esok memulai perjalanan yang panjang
sekali. Sore hilang dan malam pun datang, Gio dan kawan-kawan pendakiannya
kembali mempersiapkan logistik untuk besok agar tidak ada yang kurang
sedikitpun.
***
“ Tidak ada yang abadi. Senang, sedih, bahkan tawa dan tangis
bisa datang lalu pergi”
“AKU, KAMU DAN ALAM”
***
“Gunung Argopuro menjadi saksi perjuangan Gio untuk
hubungannya. Hari pertama disaat Gio memulai perjalanan ini timbul keraguan
dalam benak Gio, tak yakin apakah sanggup melakukan ini. Gio harus berjalan
menyusuri hutan yang lebat dan masih banyak hewan-hewan buas yang hidup disana.
Pendakian ini awalnya Gio lalui hanya bertiga orang, kemudian bertambah menjadi
sepuluh orang”.
***
Hari pertama pendakian
Argopuro
Gio
menangis, perjalanan yang cukup panjang dengan jalur pendakian yang ekstrim.
Gio baru menyelesaikan satu pos selama 12 jam dan itu membuat Gio ingin menyerah. Tetapi Gio
teringat dengan tujuannya melakukan pendakian ini, apapun yang terjadi Gio
harus bisa mendapat jawaban di Argopuro. Semangat yang tadi hampir saja hilang
kini muncul kembali. Setiap kali Gio bertanya apakah sudah dekat, seorang
pendaki selalu saja menjawab ‘Tidak lama lagi pos satu semangat,’, namun itu
hanya sebuah kebohongan belaka.
Hari kedua pendakian
Argopuro
Gio bertemu dengan dua orang perempuan yang pada awalnya
biasa saja, namun ada suatu hal yang membuat mata Gio selalu ingin melihat
mereka. Gio mencoba berpikir positif dalam hal ini, karena Gio sadar akan
tempat yang Gio tapaki sekarang berada jauh dari zona nyaman Gio. Dinginnya
malam ditemani suara hewan malam bernyanyi membuat Gio larut dalam suasana ini.
Gio memikirkan Nayla “sedang apa dia?”. Malam semakin larut, saatnya Gio untuk
tidur karena gerimis telah menunjukkan wujudnya dan dingin menusuk tubuh dari
belakang seperti rindu Gio kepada Nayla yang tak tersampaikan.
Hari ketiga pendakian
Argopuro
Gio bertemu kembali
dengan dua perempuan itu. Semakin hari wajahnya semakin berbeda dan semakin
cantik untuk dilihat. Gio bertanya pada hatinya, “ada apa ini? Kenapa dengan
dua gadis ini?”. Namun Gio berusaha tak mempedulikannya dan meneruskan
perjalanannya. Matahari pun tenggelam. Di setiap angin berhembus, selalu
terlintas nama Nayla. Kembali terpikir akan masalah yang Gio dan Nayla hadapi,
Gio terus menanti dan menanti agar mendapatkan jawaban itu hingga Gio tertidur,
kelelahan.
Hari keempat pendakian
Argopuro
Suasana pagi menusuk setiap tulang yang menyusun tubuh kurus
Gio. Hari ini Gio bangun pukul 05.00 pagi. Gio ingin menghirup dinginnya
suasana pagi di Gunung Argopuro. Gio melihat potret Nayla menyapa di kejauhan
matanya, mata memandang jauh tertutup kabut seakan Nayla ada dibalik kabut
tersebut.
“Andaiku mampu menikmati ini semua bersamamu”, harap Gio
dalam hati. Tidak ada yang mendengarkan harapan itu.
Cukup lama Gio berdiri sembari memikirkan Nayla, tiba-tiba
lagi dan lagi dua orang perempuan sejak dua hari ini selalu muncul dihadapan
Gio. Semakin Gio melihatnya semakin jelas kecantikan yang ada pada wajahnya.
Gio duduk di bawah pohon yang teduh. Gio berpikir kenapa semakin hari perempuan
itu semakin cantik dan kenapa aku harus bertemu dengan mereka setiap harinya.
Gio terus berpikir, hingga sesaat Gio menemukan jawabannya,
“jika di dunia ini hanya hidup dua perempuan itu, walau
sejelek apapun keadaannya, laki-laki akan selalu berjuang dan akan memberikan
sebuah prioritas kepadanya untuk mendapatkan perhatian lebih dari perempuan
tersebut, bahkan mungkin akan banyak laki-laki yang saling membunuh demi mereka
berdua.”
Prioritaslah jawaban yang Gio cari selama ini. Gio sadar
bahwa Gio salah.
“kenapa aku selalu sibuk dengan duniaku sendiri tanpa
memikirkan keadaanmu. Aku salah, aku bodoh, dan aku merasa seperti laki-laki
tak berguna. Aku berjanji ketika aku turun dari gunung ini aku akan memberikan
semua prioritasku kepadamu, Nayla. Setidaknya aku bisa membagi waktu untukmu” Gio
bersumpah dalam hatinya.
Hari kelima pendakian
Argopuro
Matahari pagi menyapa Gio dengan hangat, saatnya untuk
pulang menuju tempat tujuan terakhir ; Taman Hidup. Pukul 09.00 pagi, Gio
melanjutkan perjalanan menuju puncak. Gio membawa bekas banner yang bertuliskan
nama Nayla,
“Karena sebuah kebanggaan bisa menuliskan nama orang yang
aku sayang di puncak Argopuro” ujar Gio ketika dia ditanya kenapa berat-berat
membawa banner hanya untuk difoto.
Turun dari puncak Gio memutuskan untuk singgah di Taman
Hidup.
“ Daun-daun bergoyang kesana kemari memanggil namaku seakan
engkau yang memanggilku”, Gio kembali bergumam.
Gio cuma bisa berkata pada dirinya “sabar sebentar lagi aku
bisa bertemu denganmu”. Waktu menunjukan pukul 21.00 WIB, Gio segera membangun
tenda dan tidur karena besok pagi Gio harus pulang.
Hari keenam pendakian
Argopuro
Saatnya packing dan pulang menuju basecamp Bremi. Perjalanan
dari Taman Hidup menuju basecamp memakan waktu 7 jam. Sesampai di basecamp
pukul 17.00 sore, Gio bergegas mandi kemudian membuat teh hangat dan langsung
mencari ponselnya untuk mengirim pesan Nayla. Gio mencoba menghubungi Nayla
namun tak ada jawaban. Gio ingin Nayla menjadi orang pertama yang mengetahui
bahwa Gio telah berhasil mencapai puncak Argopuro, bukan orang tuanya. Gio
mengirim sebuah foto bertuliskan nama Nayla saat di puncak Argopuro. Betapa
sedihnya Gio ketika membaca balasan dari Nayla yang hanya mengatakan “Ya”
respon yang tidak sesuai disaat Gio begitu antusiasnya menanti jawaban Nayla.
Gio tak menyangka dengan sikap Nayla padanya. Berkali-kali
Gio menelpon Nayla namun tidak ada jawaban seakan-akan Nayla benci kepada Gio.
Hati Gio semakin hancur saat itu. Tak ada yang Gio pikirkan lagi selain harus
segera sampai di Yogyakarta dan meminta penjelasan dari Nayla.
***
“Semua khayalku hanya menjadi semu, semakin kukejar semakin
menjauh”
“BERTANYA-TANYA ISI
HATINYA”
***
Sesampainya di Yogyakarta, Gio segera menghubungi Nayla
namun tetap tidak ada jawaban. Hati Gio semakin gelisah dan bingung akan
kelanjutan hubungannya. Pukul 18.00 Gio sampai di rumah, tak sempat Gio
beristirahat karena beberapa teman meminta Gio untuk bercerita tentang
pendakian Gunung Argopuro.
Saat tengah bercerita ponsel Gio berdering tanda ada pesan
masuk dari Nayla,
“Aku mau telpon dan ada yang ingin aku katakan padamu,” ujar
Nayla. Hati gio bertanya, “apa yang akan kau bicarakan? Apa ini akhir dari
hubungan kita?” ujar Gio dalam hati ketika membaca pesan Nayla. Seperti sudah
ada firasat buruk.
Dengan percaya diri Gio menghubungi Nayla malam itu. Awalnya
Gio dan Nayla hanya berbicara santai, lalu mulai merujuk ke tengah pembahasan
yang semakin berat. Nayla menjelaskan kenapa Nayla bersikap seperti itu, namun
menurut Gio itu semua tidak masuk akal, Nayla selalu membantah Gio. Gio tau
saat itu Nayla tidak ingin mengatakan putus dan selalu memojokan Gio agar Gio
yang mengatakannya. Gio berusaha memutar kata-kata agar suasana malam itu tak
semakin menjurus ke arah putus. Namun perdebatan sangat alot dan Nayla terus
mengarahkan kesana. Sampai akhirnya Gio pun bertanya,
“Kamu mau kita putus Nayla?” tanya Gio.
“Iya!” kata Nayla menyambar ucapan Gio dengan cepat. Ketus.
Seketika air mata Gio menetes dan tak bisa ditahan lagi saat
itu. Namun begitulah tampaknya yang diinginkan Nayla. Dan Gio menanyakan itu
hanya untuk mempermulus keinginan Nayla. Lagipula, apalagi yang harus dilakukan
ditengah keinginan Nayla yang seperti itu? Lama mereka terdiam. Menyesapi
kenyataan yang barusan mereka berdua putuskan.
“Nanti apa yang harus aku jawab ketika teman-teman bertanya
alasan kita putus?” tanya Nayla setengah bergumam. Memecah keheningan.
“Kamu cukup berkata--jika kamu tidak ingin namamu jelek
dimata orang-orang--bilang saja bahwa aku yang salah, aku yang sudah selingkuh
dan aku pula yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini. Biar semua orang
mengira aku yang salah mereka akan mengatakan bahwa aku laki-laki yang tak
berharga,” ujar Gio sambil memeluk lututnya dan menepatkan pundaknya di atas
meja kecil, berbaring pasrah.
“Kamu menangis Gi..?” tanya Nayla hampir tak terdengar.
“Aku tidak menangis Nayla Purnamasari, terima kasih atas
segala rasa, terima kasih atas segala luka, terima kasih atas segala lara, kamu
akan selalu menjadi yang terindah dalam hidupku,” ujar Gio sambil mengusap air
mata, dengan suara yang di perjelas di atur sebaik mungkin.
“Sama-sama Gi... Aku pamit dulu yah, terima kasih untuk
semuanya Agio Jati Suryotama. Assalamualaikum.” tutup Nayla tanpa hati.
“Wa’alaikumsalam..” jawab Gio hampir tak terdengar, bahkan
oleh dirinya sendiri, pikiran Gio sudah buyar entah kemana.
***
Malam itu Gio kembali mengemas barang-barangnya. Tapi dia
tak sempat mengemasi hatinya yang berserakan.
Pukul 07.00 pagi Gio memilih untuk pergi ke Desa Bruno di sekitar Jawa
Tengah untuk menenangkan pikirannya. Namun Gio tau bahwa itu hanya sesaat. Hati
Gio hancur berkeping-keping dan yang bisa Gio lakukan hanya menangis dan
menangis karena Gio masih mencintai dan menyayanginya.
“Andai saja aku tahu bahwa sebelum pendakianku di mulai
adalah akhir dimana aku bertemu denganmu, aku ingin mendekapmu dan mengatakan
betapa aku sangat mencintaimu” batin Gio lirih.
Gio pun
teringat moment di stasiun kereta, saat terakhir kali Nayla mengantarnya
sebelum mendaki Gunung Argopuro,
“Nayla, Aku akan berangkat menuju Gunung Argopuro dan akan memakan
waktu yang sangat lama, disana tidak akan ada sinyal dan tidak tau juga aku
akan selamat atau tidak disana. Doakan saja aku kembali dengan selamat,” ujar
Gio sambil meletakan kedua tangannya di bahu nayla.
“Amin.. Semoga kamu dapatkan apa yang kamu
inginkan dan kembali dengan selamat,” kata Nayla dengan tatapan kosong.
Seharusnya Gio cukup sigap menangkap isyarat dari tatapan
Nayla. Adakah Nayla berat hati melepaskan Gio saat itu? Ataukah bibit
ketidaknyamanan sudah ada di hati Nayla? Andai saja waktu bisa diulang kembali.
Bisa saja Gio tidak jadi berangkat ke Gunung Argopuro. Tapi..
Pikiran Gio kalut.
***
“Akhirnya aku harus belajar berjalan
sendiri tanpamu disisi”
“BELAJAR BERJALAN
TANPAMU”
***
Gio memulai langkahnya menapaki awal yang baru, Gio
berangkat ke Surabaya menggunakan kereta melarikan diri dari penatnya dunia dan
letihnya rasa. Di Surabaya, Gio hanya sekedar transit untuk memulai
perjalanannya. Sampai disana Gio masih harus menunggu temannya untuk menjemput.
Semilir angin membuat mata Gio sayup seakan Gio ingin tidur, namun Gio tak
bisa. Gio merasa seperti sedang diperhatikan. Entahlah mungkin hanya perasaan
saja atau memang orang-orang sedang memperhatikan.
Saat itu yang ada dalam pikirkan Gio hanyalah pergi sejauh
mungkin untuk bisa melupakan Nayla, tanpa memperhatikan penampilannya sendiri.
Hanya menggunakan celana pendek yang sudah kumuh dan robek-robek pemberian
teman Gio--Sabirin, carrier yang sedikit berdebu dan sandal treking yang sering
Gio gunakan ketika melakukan perjalanan panjang.
Tak lama
kemudian teman yang Gio tunggu akhirnya datang, Biasobae namanya. Dia kembali
menyambut Gio dengan pelukan hangat.
“Hai Gio.. terakhir kita bertemu pada saat di Gunung
Argopuro dan sekarang akhirnya kita bertemu lagi.”
“Hai Mas Biasobae... sudah lama sekali
kita tidak bertemu”
“Emang tujuanmu mau kemana Gi?” tanyanya.
“Aku ingin menuju Kalimantan Mas, doakan
saya selamat sampe tujuan yah.”
“Okee... Aman itu. Jadi malam ini kita
keliling Surabaya saja yah.”
“Dengan senang hati mas.”
Dulu pertemuan Gio dengan Biasobae sangat singkat yaitu saat
Gio mendaki gunung Argopuro. Tanpa basa-basi Gio dan Biasobae bergegas pergi
menuju kosnya Biasobae untuk beristirahat sejenak kemudian mengelilingi Kota
Surabaya. Biasobae membawa Gio ke banyak tempat menarik di Surabaya. Tak
ketinggalan Biasobae memperkenalkan jembatan Suramadu yang memisahkan Surabaya
dan Madura. Yaa sesuai dengan namanya. Gio dan Biasobae hanya melewati jembatan
itu dan kembali lagi menuju Surabaya.
“Mas Biasobae, aku ingin sedikit berbagi
cerita nih.” Ujar Gio memulai.
“Monggo ae Gi (silakan saja Gi).” Balasnya
dengan logat Suroboyo.
“Sebenernya aku akan
menggunakan uang ini untuk melakukan perjalanan dengan dia, namun hubunganku
harus berakhir hanya karena ego dan komunikasi yang tidak bisa diperbaiki lagi.”
Ujar
Gio langsung menuju topik utama yang ingin dia sampaikan “Laaah...
Kasian sekali kamu Gi, terus tujuan utamamu berkeliling ini apa? Untuk mencari
pelampiasan?” Biasobae penasaran
“Bukan berarti aku mencari pelampiasan untuk melupakan semua
itu. Aku tak sebejat itu Mas, aku hanya mencari ketenangan atas semua itu dan
atas semua hal yang pernah terjadi dalam hidup dan hubunganku Mas, dan satu
lagi untuk mencari pelajaran apa artinya melupakan.”
“Yaaa.... Semoga kau bisa menemukan itu semua yah Gi.”
“hahahaha semoga saja sekalian menemukan
penggantinya.”
“Jiaaaah katanya enggak mau mencari pelampiasan,
sama aja kan, kalau kau begitu namanya cari pelampiasan.” Tunjuk Biasobae
“Yaaa enggak lah mas, untuk serius sampe
nikah ini mah.” Gio mengelak
“Ya....yaaa Amin!”
Malam itu
Gio dan Biasobae berakhir di sebuah kedai kopi. Gio menghubungi beberapa teman
di Surabaya untuk diajak nongkrong sebelum dia pergi ke Kalimantan. Banyak
pemudapemudi di kedai kopi ini. Ada yang datang bersama keluarganya, bersama
teman-temannya dan bersama kekasihnya. Gio melihat sepasang kekasih duduk tak
jauh darinya, Gio memperhatikan lakilaki dengan sangat telaten selalu
menggenggam tangan kekasihnya. Gio berpikir “itulah kesalahanku yang dulu tak
pernah sedikitpun memprioritaskan dia dalam hidupku”. Seketika muncul dalam
pikiran Gio “Aku ingin bisa bersamanya
kembali”.
Ketika Gio sedang menikmati secangkir kopi tiba-tiba
terdengar suara seseseorang memanggil nama Gio, ternyata itu adalah teman dari
tadi Gio tunggu, Raffan. Sedikit membuat Gio tak mengenalinya karena rambut
gondrongnya. Raffan tak datang sendiri melainkan dengan seorang perempuan.
“Kenalkan.. ini pacarku Gi.” Ujar raffan. Gio terkejut
ketika temannya berkata bahwa perempuan ini adalah pacarnya.
“Kok kamu mau sih sama dia?” tanya Gio
penasaran.
“Karena bagi saya cinta itu tidak harus memandang apa yang
dia punya dan seperti apa fisiknya,” sambil mengelus rambut Raffan, mereka pun
saling melempar senyum satu sama lain.
Gio hanya terdiam mendengarnya dengan wajah yang
tersipu, membuat Gio berkaca pada
dirinya sendiri. Andaikan Nayla tau apa yang Gio rasa saat ini. Gio sedang
hancur dan tak tau kemana akan melangkahkan kaki dan akan berlabuh kemana hati
yang sedang terluka.
Hari sudah semakin larut malam, Gio kembali ke kos Biasobae karena pagi-pagi
sekali Gio harus segera berangkat untuk memulai perjalanannya ke tempat pertama
yaitu kota Banjarmasin (Kalimantan Selatan).
***
“Setiap
ada hal yang membuatmu sakit, jadikan itu sebagai motivasi untukmu karena dari
situ kau akan menjadi orang yang kuat akan permasalahan hati”
“PERJALANAN HATI”
***
24 Janurai 2016
Pagi hari sekali Gio bangun, beranjak dari tempat tidur,
kemudian bergegas untuk mandi dan mempersiapkan semuanya.
“Ayo packing.. Saatnya menuju Bandara Juanda dan tunggu aku
bandara Syamsudin Noor hahaha...” semangat Gio dalam hati.
Sesampainya
di Bandara Juanda Gio berpamitan dan mengucapkan terimakasih pada Biasobae yang
sudah berbaik hati menampung Gio untuk beberapa hari tinggal di Surabaya.
Sembari menunggu jadwal penerbangan, Gio kembali menulis pada buku catatan
hariannya yang berisi tentang perjalanan Gio saat ini, sambil membaca buku
MADILOG buah pikiran Tan Malaka. Ada hal aneh ketika Gio membaca buku ini, Gio merasa
seolah banyak orang-orang yang melihat ke arah buku ini. Gio menutup buku dan
memakai headset untuk mendengar lagu, seketika pengumuman memangil,
“Kepada seluruh penumpang yang akan menuju Banjarmasin
bandara Syamsudin Noor untuk mempersiapkan boarding pass.” Gio berdiri dan
antri, sampai di dalam pesawat Gio meletakkan carrier di bagasi pesawat dan
duduk di sebelah bapak-bapak yang tegap. Gio bertanya kepadanya
“Bapak asli orang Banjarmasin?” sambil menggaruk kepala Gio
yang tidak gatal.
“Iya nih Mas, saya asli orang Banjarmasin, dan Mas sendiri
darimana?” ujarnya.
“Saya orang Yogyakarta pak, hanya saja saat ini sedang
melakukan perjalanan.” jawab Gio dengan sopan.
“ Kamu ke Banjarmasin sendirian mas?”
“Ya Pak, saya sendirian saja.”
“Apa yang kamu lakukan, kenapa melakukan perjalanan ini sendiri?”
ujarnya penasaran
“Saya hanya
ingin pergi dan belajar untuk melupakan seseorang
Pak.” Jawab Gio jujur
“Saya sewaktu muda juga seperti kamu Nak, berkeliling
kesanakemari, tetapi sekarang saya sudah berhenti karena pekerjaan saya sebagai
tentara,” sang Bapak hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Dia memberi tahu sedikit mengenai Kota Banjarmasin. Itu
menambah pengalaman tentang sebuah budaya dan alam baru yang belum Gio ketahui
sebelumnya yaitu budaya “Dayak dan kota wisata Banjarmasin”.
Mendarat di Banjarmasin, Bandara Syamsyudin Noor, Gio segera
turun dari pesawat namun sedikit bingung kemana arah keluar. Saat keluar dari
pintu bandara, suasananya sama saja seperti bandara lainnya namun ada sedikit
perbedaan, disini masih banyak pedagang kaki lima yang menjual nasi kuning dan
lain-lain. Namun Gio ingat apa yang dikatakan bapak tadi, jangan makan di
sekitaran bandara karena MAHAL!
Di depan, Gio
menunggu Yoga dan Bowo, mereka juga teman Gio yang bertemu saat mendaki Gunung
Argopuro. Yoga dan Bowo sahabatan sejak kecil. Yoga dan Bowo tinggal satu rumah
di Kota Banjarmasin, mereka berdua membuka usaha toko peralatan pendakian
Gunung “Belantara Gear Outdoor” di Kota Banjarmasin. Namun selain itu Gio juga
ingin bertemu sahabat semasa SMA yang dulu selalu travelling bersama Gio.
Seperti di Surabaya Gio disambut dengan pelukan hangat, Gio letakkan tas
carrier-nya di dalam mobil lalu memulai perjalanan menuju rumah Yoga dan Bowo
di daerah Banjarbaru yang tidak jauh dari bandara. Sampai disana Gio memutuskan
untuk tidur sejenak dan ketika bangun, Bowo bertanya
“Siapa nama yang selalu kau sebut saat kau tidur Gi?” ujar Bowo.
“Memang aku
tidur ngigau?” tanpa menjawab pertanyaan Bowo, Gio malah balik tanya.
“Iya.. kamu selalu memanggil nama
seseorang dengan ekspresi seperti orang menangis dan bersedih” jawab Bowo.
Ketika Gio mendengar itu Gio hanya bisa terdiam sambil mengelus
dada dan berkata dalam hati “ternyata aku belum bisa untuk melupakanmu Nayla”.
Setelah itu Gio beranjak dari kasur dan keluar. Gio bertemu dengan keluarga
dari Yoga dan Bowo, bahkan Gio di sana diperkenalkan kepada teman-teman mereka.
Gio memutuskan hari ini untuk beristirahat sejenak, namun ketika malam tiba Gio
minum di wedangan di daerah kampus sambil menunggu sahabat SMA-nya. Sabirin
datang dengan mengagetkan Gio.
“KAMU... Akhirnya kita bertemu, setelah lulus SMA kita tidak
pernah bertemu,” teriak Birin dengan suara keras. Mereka sedikit berbincang
disana.
“Apa alasan kamu jalan-jalan sendirian gini bro?” tanya
Birin dengan antusias.
“Gini, sebenernya uang yang sudah aku tabung ini udah aku
persiapkan untuk jalan-jalan bersama orang yang aku sayang, namun huunganku
harus berakhir tepat ketika aku sudah mendapatkan jawaban dari masalahku
dengannya.” Jawab Gio sendu.
“Hahahah... Saya tau orangnya yang inisial
namanya N kan yang dulu pernah kamu ceritain lewat telpon.” Birin tampak
sumringah.
“hmmmmmmmmmmm” jawab Gio sambil mengelus dada.
“Sudah Bro setidaknya kamu sudah menemukan apa itu prioritas
untuk seorang perempuan mungkin dia sekarang sudah bahagia terima sajalah
hahahaha...” tambah Birin seakan tidak peduli dengan kesedihan hati Gio
“Benar Bro aku sudah mempelajarinya tetapi aku masih mencintainya
dari pertama kali putus hingga sekarang.” Jelas Gio dengan jujurnya
“Yaa sudah setidaknya kamu tau apa yang
harus kamu lakukan! Laki-laki tidak akan kehabisan cara.” Birin memberi
semangat
Banyak sekali yang Gio ceritakan saat bersama Birin. Waktu
menunjukkan saatnya Gio harus kembali ke rumah Yoga dan Bowo untuk beristirahat
karena besok pagi Gio akan berkeliling ke hutanhutan di Kalimatan Selatan ini.
***
“Yang datang pasti akan pergi, lewatkan yang telah berlalu,
orang bebas untuk memiliki, kita dituntut untuk bisa menerima semua itu, tanpa
harus memaki diri”
“KU TAK SIAP UNTUK
MERINDU”
***
25 Janurai 2016
Kali ini Gio sudah siap untuk berangkat menuju Matang
Kaladan, sebuah tempat di Kalimantan Selatan. Perjalanan ditempuh selama tiga
jam. Gio terdiam ketika melihat hutan yang luas.
“seharusnya aku bersamamu disini” benak Gio.
Gio ingin memberi tahu pada Nayla bahwa Indonesia itu indah.
Gio sangat ingin menjaga Nayla dengan segenap hati, Gio hancur dan bingung,
“apa yang harus aku lakukan agar kau tahu bahwa selama ini
aku masih menantimu untuk kembali”, ujarnya dalam hati. Gio bersedih.
Akhirnya sampai juga Gio, Yoga, dan Bowo di Matang Kaladan.
pegunungan yang indah dengan semilir angin yang menyejukkan. Angin seperti
meneriakkan nama Nayla di sela-sela telinga Gio, berkata bahwa Nayla sudah
bahagia.
“Tapi apakah
pantas untukku terus dan terus menunggumu hingga saat ini?” lagi, Gio meratap
dalam hati.
Seketika Gio tersenyum melihat indahnya anugerah Tuhan ini
namun tetap tersimpan raut sedih di hati Gio yang tak mungkin orang lain bisa
merasakan ini.
Gio bersama Yoga dan Bowo menunggu senja datang, duduk di
sebuah pondok kecil sambil tertawa dengan keadaan dunia, sesekali mengabadikan
momen dengan berfoto bersama. Mereka mengajarkan Gio bagaimana Gio harus
menikmati ini, untuk tidak terlalu memikirkan Nayla. Perlahan Gio mencoba,
namun hati Gio selalu menolak. Yoga dan Bowo yang mengetahui itu kemudian
berusaha menghibur Gio dengan membuat Gio sibuk bermain, bercanda dan berfoto
agar Gio tak terlalu memikirkan Nayla meski Gio tahu ini hanya sementara.
“Ayo Gi... sedang apa kau? Kenapa harus merenung di saat
kita seharusnya bahagia.” Teriak Bowo
“Aku hanya sedang berpikir apakah dia yang
jauh disana sedang memikirkanku yang sedang terluka karena lara hati?” ujar Gio
lirih
“Sudah Gi, dia sudah bahagia, dan untuk apa kau menunggu
menantinya. Bagaimana kalau saat ini kau yang membuat dirimu sendiri bahagia
dan menikmati setiap lara yang ada disetiap harimu Gi” kata Bowo sambil menatap
Gio kasihan.
“hmmmmmmm... apa mungkin mulai saat ini
aku mencoba untuk biasa saja?” tanya Gio setengah pada dirinya sendiri.
“Mungkin
saja karena itu yang dapat membuatmu sedikit tidak terluka Gi.” Nasehat Bowo
“Terima kasih mas bow, atas segala sarannya,” kata Gio
sambil menunjuk indahnya Matang Kaladan. Mereka pun sempat mengabadikan
beberapa momen di Matang Kaladan.
Senja telah datang dan menghilang dari pandangan, tanda
untuk Gio bergegas pulang. Mereka kembali menempuh perjalanan selama tiga
jamuntuk kembali ke kota. Sesampai di rumah, Gio langsung mandi untuk
menyegarkan diri dari kepenatan hari ini, melegakan harapan-harapan Gio tadi.
Malam ini Gio, Yoga, dan Bowo saling berbincang kemana besok
akan pergi dan apa yang akan dilakukan, sembari sedikit curhat tentang apa yang
Gio alami saat mendaki Gunung Argopuro.
“Argopuro menjadi saksi perjalananku mencari jawaban dari
sebuah masalah” ujar Gio memulai cerita.
Gio menceritakan semua yang Gio alami di pendakian Gunung
Argopuro, ketika dia terus bertemu dua perempuan yang semakin hari semakin
cantik, ketika dia mendapatkan sebuah jawaban tentang masalahnya yaitu prioritas,
termasuk ketika Nayla menginginkan untuk mengakhiri hubungan dengannya.
“kamu harus bisa mengikhlaskan itu semua dengan lapang dada
walau aku tau hatimu saat ini sedang bersedih dan susah untuk melupakan dia,”
nasehat Yoga sambil memutar lagu untuk Gio.
“Tapi apa yang harus
aku lakukan agar bisa berlapang dada dan bisa menerima itu semua?” tanya Gio
“Gio... Kamu itu laki-laki, pasti kamu akan menemukan
caranya bagaimana bisa menerima ini semua. Teruslah belajar dari keadaan dan
pengalamaanmu.” Tambah Yoga
Pembicaraan malam itu telah usai dan saatnya Gio untuk tidur
dan memulai hari esok dengan harapan yang baru.
***
“Haruskah aku mengalah? Haruskah aku mengalah sebelum berperang?
Karena kau menuntunku ke jalan rapuh yang membuat hatiku semakin jatuh”
“MELANGKAH TANPAMU”
***
26 januari 2016
Tujuan Gio kali ini adalah Lok Ba Intan (pasar terapung) di
Banjarmasin. Disini pasarnya memang masih tradisional, bahkan perdagangannya
masih menggunakan sistem barter. Pada saat berjalan menyusuri pasar, mata Gio
terpaku pada sosok seorang ibu yang bersemangat sekali mengayuh sampannya
(perahu. Pen).
Tersenyum Gio melihatnya seakan-akan Gio sedang melihat
ibunya sewaktu berjuang melahirkan Gio hingga menjadi seperti sekarang. “Ibu
oh.. Ibu kamu teramat istimewa bagiku” ujar Gio dalam hati.
Setiap kali Gio berjalan, lagi dan lagi, Gio menemukan
sepasang kekasih menyewa kapal untuk membuat momen bersama. Seketika Gio
menjadi teringat dengan rencananya berangkat ke Bromo bersama Nayla, namun
Nayla batalkan. Pikiran Gio teralihkan ketika Bowo tiba-tiba memanggil.
“Sini Gi,
saatnya kamu foto biar ada kenang-kenangan di Lok Ba Intan,” kata Bowo sambil
tersenyum, Bowo sudah paham apa yang sedang Gio pikirkan pada saat itu.
Gio, Yoga, dan Bowo kembali tertawa dan akhirnya pada saat
itu Gio langsung berjalan menuju hanging bridge, yaitu jembatan kayu yang
diikat dengan kawat. Jembatan itu jadi salah satu sarana warga yang tinggal di
seberang sana untuk menyeberang. Gio sedikit takut saat menaiki jembatan karena
jembatannya terus bergoyang ketika dilewati. Ketika sepeda motor ingin lewat
pun, mereka harus antri terlebih dulu, karena akan sangat berbahaya kalau
melewatinya bersamaan.
Selesai dari sana Yoga memutuskan untuk pergi makan Soto
Banjar yang katanya soto itu sangat terkenal di Banjarmasin. Pada saat makan
tiba-tiba Yoga mendapatkan kabar bahwa adiknya sedang sakit. Saat itu juga,
Yoga bergegas untuk pulang agar bisa membawa adiknya menuju rumah sakit. Mereka
pun pulang.
Sisa waktu hari itu Gio habiskan untuk packing dan
bersiap-siap, karena malam ini Gio, Yoga, dan Bowo akan berkemah di Danau Biru
Pengaron. Yoga masih sangat sibuk karena mengurus adiknya yang sakit. Wajah Gio
menjadi sedih, karena merasa sudah menyusahkan mereka di sini. Gio memasukan
baju, membersihkan tenda, dan bergegas mandi. Akhirnya packing selesai dan
saatnya untuk berangkat menuju Danau Biru Pengaron.
“Time to
camping ciaaaoooo..” seru Gio. Perjalanan ke danau ditempuh selama lima jam,
harus menuju kedalam pertambangan Batubara yang ada di Banjarmasin terlebih
dahulu. Di jalan Gio asik tertawa, pada saat melewati Martapura Bowo berkata ,
“Disini permpuannya putih putih loh” katanya sambil
senyumsenyum.
Ketika Gio lihat beberapa perempuan yang mereka lewati,
memang putih sekali wajahnya, tapi bedak semua. Namun Gio salut dengan
Martapura, karena Martapura adalah kota pengasil intan yang indah.
Gio sempat melihat mesjid terbesar di Martapura, walau
kotanya kecil kehidupan disini sangat teratur dan tenang. Sampai di depan
gerbang pertambangan, Gio sedikit takut karena jalannya sangat gelap dan tidak
ada lampu jalan. Namun Gio melihat satu cahaya lampu jalan persimpangan.
“Saya lupa jalannya”, seketika Yoga berkata. Gio sedikit
kaget mendengarnya, namun dibawa santai. Disini jarak antar perkampungan
sangatlah jauh. Gio selalu melihat motor lewat silih berganti, Gio
bertanya-tanya apa yang sedang mereka lakukan, Bowo menjawab mereka sedang melakukan
penjagaan malam, berkeliling tambang Batubara. Yoga sempat kebablasan pada saat
itu, terhenti di sebuah kampung dan bertanya kepada orang-orang di kampung itu,
“Untuk menuju Danau Biru Pengaron sebelah mana yah Pak?”
kata Gio pada seorang bapak yang sedang jaga di persimpangan jalan.
“Wah Masnya kelewatan tuh
harusnya Masnya belok ke kiri nanti langsung kelihatan danaunya” Mereka
menjawab dengan halusnya.
Gio langsung memutar kepala mengikuti arah di tunjukan
warga.
Let’s
go....!
Sesampainya di Danau Biru Pengaron, Gio terdiam karena
lokasinya sangat gelap dan tidak ada cahaya. Mereka mendirikan tenda dan
membuat api unggun sambil bercerita hangat dengan ditemani secangkir kopi.
Seorang bapak paruh baya menghampiri mereka.
“Mas kalau butuh kayu
bakar ambil aja Batubara itu Mas, biar lebih lama”, ujar bapak tersebut dengan
sopan. Gio dan Yoga tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Gio sangat senang saat itu, menikmati langit yang dihiasi
oleh bintang dan bulan, dan tanpa sadar Gio tersenyum sendiri. Tibatiba bayang
Nayla terlintas dibenak Gio.
“Dia sedang
apa ya? apa mungkin dia sedang memikirkanku?
Hihihi,” gumam Gio, diam sambil tersipu malu.
Namun Gio tau itu hanya sebuah harapan. Perlahan mata mulai
mengantuk karena semilir angin danau. Akhirnya Gio tertidur, tidak sabar
bertemu pagi untuk bisa langsung merasakan air Danau Biru Pengaron.
***
“Kau memilih
untuk mengakhiri cerita cinta ini. Aku yakin suatu saat kau akan mengerti apa
artinya mencintai”
“LARA”
***
27 januari 2016
Gio terkejut saat melihat betapa indahnya Danau Biru
Pengaron, airya biru dan tenang, tak ada ombak yang harus ditakutkan. Gio tak
tahan untuk segera berenang disana, pasti segar. Namun Bowo berkata,
“Danau ini sangat dalam Gi, kalau tidak bisa berenang sebaiknya
jangan terjun ke danau,” kata Bowo.
“Hahah tidak apa-apa,” Gio terkekeh.
“1..2..3.. Nayla..!!” loncat Gio sambil meneriakan nama
Nayla. Untungnya orang-orang di sekitar Gio tidak mendengar itu. Tak lama
kemudian Bowo menyusul Gio melompat namun kakinya terluka karena terkena
dinding bekas tambang. Kaki Bowo robek dan berdarah. Bowo memutuskan untuk
berhenti berenang. Walau begitu, Gio dan Bowo sangat menikmati itu semua.
Gio melihat ikan-ikan kecil di pinggir danau, Gio masukan
kakinya ke danau dan langsung dikerumuni oleh ikan-ikan kecil itu. Ini terasa
seperti terapi ikan. Ikan-ikan itu menggigit-gigit kaki Gio, sangat
menyenangkan dan membuat Gio rileks. Gio merenungkan tentang Nayla yang sudah
bukan lagi menjadi milik Gio
“Aku tau saat ini kau sedang bahagia dengan apa yang kau
pilih, kuharap kau bisa mengerti apa yang kupendam dan aku rasa selama ini”
batin Gio.
Setelah puas menikmati Danau Biru Pengaron, Gio berkemas dan
pulang ke Banjarbaru untuk beristirahat. Badan Gio terasa amat lelah. Namun
esok harus melanjutkan perjalanan menuju Desa Loksado, dan untuk sampai disana
akan memakan waktu enam jam perjalanan.
Sesampai di Banjarbaru, Gio beristirahat, kemudian mandi dan
pergi ke warung kopi. Gio berbincang dengan penjual kopi dan Bowo hingga malam
datang.
Gio ingin sekali makan nasi padang. Gio memutuskan untuk
membeli nasi padang di warung terdekat, Dikira harganya akan berbeda jauh
dengan Jawa, ternyata tidak. Disini Gio membeli nasi ayam hanya 15 ribu.
Sedikit terobati dengan masakan padang, Gio kembali ke rumah sambil bermain
facebook, Gio ingin melihat apa ada teman-teman lamanya yang sedang online,
untuk bisa sedikit bernostalgia, tetapi malam itu tidak ada satupun yang
online.
Malam pun
semakin larut, Gio masih saja teringat tentang Nayla, raut wajah Nayla, senyum
Nayla dan tawa Nayla. Namun selalu Gio menegaskan ke dalam hati bahwa Gio bukan
siapa-siapa lagi, Gio meneteskan air mata untuk melegakan hati dan Gio pun
tertidur dalam kesedihan.
“Bukan tentang nestapa, bukan tentang hiruk pikuk dunia.
Melainkan ini tentang rasa yang sudah
terluka karena cinta”
“NELANGSA HATIKU
MENGINGATMU”
***
28 Januari 2016
Gio menuju ke air terjun dan Bukit Langara di Desa Loksado,
kali ini harus menempuh perjalanan selama 6 jam. Kali ini selain Bowo, Yoga dan
pacarnya, juga ada Syahrul. Teman dari Bowo yang diperkenalkan ke Gio.
Disana Gio langsung menuju ke Air Terjun, Gio tergoda akan airnya yang mengalir jernih,
membuat Gio ingin merasakan segarnya air Kalimantan tersebut. Hasrat semakin
tertantang ketika melihat sebuah batu besar di dekat Air Terjun itu, Gio ingin
mencoba melompat dari batu itu. Gio putuskan untuk menaiki batu itu namun
selalu terpeleset karena sangat licin, Gio terus berusaha seperti Gio yang
selalu berusaha menerima keadaannya.
Akhirnya Gio berhasil menaiki batu itu, gemetar seluruh
badan ketika melihat ke bawah dari atas batu yang tinggi itu. Namun mau
bagaimana lagi Gio harus melawan ketakutannya untuk mengetahui sesuatu hal yang
baru.
Gio menghitung dalam hati “1.2.3 lompat”, rasanya seperti
beban masalah seketika hilang saat Gio melompat dari batu itu. Mereka bermain air dan sesekali berbincang mengenai
budaya-budaya di Kalimantan. Syahrul menceritakan kepada Gio tentang banyak hal
yang belum pernah Gio dengar sebelumnya.
Setelah selesai di air terjun, Gio menuju ke tujuan
berikutnya yaitu Bukit Langara. Bukit Langgara sangatlah indah, Gio melihat
hijaunya hutan dan sungai kecil di bawahnya, sangat menenangkan hati Gio.
Ketika tengah menikmati pemandangan bukit yang indah, Gio
melihat seseorang perempuan dan dengan keisengan Gio memberanikan diri meminta
agar berfoto dengannya sekedar untuk berkenalan dan saling sapa. Melihat Yoga
dan pacarnya berfoto membuat Gio teringat dengan Nayla.
“Andaikan kamu ada disini, mungkin aku juga bisa berfoto
seperti itu, batin Gio.
Namun Gio sadar itu hanya mimpi. Gio sangat berharap Nayla
mampu mengerti keadaan Gio, namun Nayla tak mampu mengerti apa yang Gio rasa
dan Nayla tak mampu tau apa yang Gio inginkan. Gio menjadi begini itu semua
karena Nayla, Gio ingin selalu bisa menjaga Nayla dikala sedih dan bahagia.
“Apakah aku harus mengatakan sampai jumpa, merelakan dirimu
dan harus siap dengan semua pilihanmu? Aku hanya bisa berharap ini semua
terbaik untukmu”, ucap Gio lirih dalam hati.
Gio kembali ke kota Banjarbaru, untuk melupakan tentang keluh kesahnya. Sesampainya di rumah, badan
Gio terasa lelah, ingin rasanya Gio mengistirahatkan badan, namun Gio harus
pergi untuk membuat gelang senpai bersama teman-teman Bowo dari Mapala Apache
Kalimantan Selatan. Pada saat membuat gelang, Gio sempat mengucapkan janji
:
“Aku akan kembali ke kesini lagi bersamamu dan menyenpai gelang
itu berdua bersamamu.” ujar Gio dengan semangat dan mantap. Bowo hanya tertawa
mendengar impian Gio.
“bukannya sudah putus.” sindirnya.
“Uppsss aku lupa,” kata Gio dengan malu yang tak tertahan.
Birin--teman SMA Gio—datang bersama pacarnya, Bunga. Dia
datang sambil tertawa-tawa melihat wajah Gio yang sudah gosong kepanasan. Birin
hanya mampir sebentar karena Birin harus mengambil foto wisudanya Bunga.
Gio tetap di tempatnya semula, menyenpai gelang hingga
selesai. Menyenpai gelang ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama. Hingga
membuat Gio sedikit mengantuk. Gio sangat senang bisa mendapatkan gelang
langsung dari sini. Selesai gelang itu dibuat, Gio langsung mencari warung kopi
untuk menikmati malam di Banjarbaru bersama teman-teman barunya.
“Senang rasanya bisa berkenalan dengan orang-orang baru yang
membuat setiap perjalanan ini semakin berarti” kata Gio. Hingga larut malam
mereka pun pulang ke rumah masing-masing.
***
“Kenapa semua ini terjadi kepadaku? Aku
tak bisa jauh dari angannya, karena sesungguhnya aku masih mencintainya.”
“TABULAKU TERLUKA”
***
29 Janurai 2016
Hari ini Gio
memutuskan untuk diam di rumah dan tidak kemanamana, mungkin akan lebih baik
jika mengistirahatkan tubuhnya yang kecil ini. Gio mengisi aktivitas hari ini
dengan mencuci bajubaju kotornya selama perjalanan.
Namun di sela-sela waktu, Gio berjalan di seberang landasan
terbang, melihat alang-alang yang tumbuh. Gio harus bisa terus dan terus
berusaha untuk melupakan Nayla agar bisa berjalan sendiri tanpa memikirkan
Nayla yang sudah membuat hatinya terluka. Tetapi tetap saja Gio tidak bisa
melupakan Nayla dengan secepat itu, layaknya pesawat yang harus meninggalkan
tempat dimana dia berhenti. Gio tak seperti itu, melainkan Gio seperti hujan
yang jatuh ke dalam tanah yang mengendap sejenak di dalam tanah sehingga
membantu sebuah tanaman untuk tumbuh.
“Dimana pun kau berada saat ini harapku kau tetap bahagia,
dimanapun kau berada harapku selalu bisa menemanimu walau hanya dengan
bayangan, dimanapun kau berada aku ingin kau selalu ingat tentang kita,
dimanapun kau berada aku berharap kau tak kembali membawa cahaya surga ke
hadapanku, dimanapun kau berada aku harap kau tak sesekali kembali ke dalam kehidupanku. Dan andai saja
aku tau dimana dirimu saat ini mungkin aku akan datang dan berkata kalau kau
pantas untuk kuperjuangkan”, ucap Gio dengan khusyuk dalam sedu-sedan.
Sore pun tiba, Gio harus berjalan kembali ke rumah Yoga dan
Bowo. Gio langkahkan kakinya dengan kepercayaan diri yang tinggi pada saat itu,
menegakkan kepala dan tak menyimpan wajah sedih.
Saat malam tiba Gio memilih untuk berbaring melihat plafon
atap kamar sambil mendengarkan lagu dan meresapinya. Playlist 04 – Fly Alice menjadi teman Gio
malam ini, lirik lagu ini Gio dan Mir yang membuatnya I will fly, I will start,
Living Without You By Myside. Mungkin terlalu gila mendengarkan lagu sedih saat
ini, namun ini mampu membuat Gio sadar akan sebuah keadaan yang sedang terjadi,
agar bisa lebih tegar dan menerima semua. Mata Gio perlahan mulai mengantuk dan
pundak terasa berat, seketika Gio menutup matanya dan melupakan segala hal
untuk beberapa saat saja.
***
“Mencintai itu tidak salah, tapi
akan menjadi salah ketika kita mencintai seseorang yang tidak mau
memperjuangkan kita”
“SUDAH KULAKUKAN BANYAK CARA
UNTUK MELUPAKANMU”
***
30 Janurai 2016
Beristirahat di rumah jadi pilihan tepat. Terlalu berat
rasanya badan untuk bergerak, karena setelah Banjarmasin Gio harus ke
Balikpapan. Gio mengisi waktu dengan berbincang dengan wargawarga sekitar
sembari mencari charger handphone dan sekalian mencari paket internet.
Sorenya Gio menuju alun-alun
Banjarbaru untuk sekedar menikmati sore sambil memesan teh hangat. Bowo
menunjukkan alat latihan wall-climbing milik Mapala di kota Banjarbaru. Bowo
menawarkan Gio untuk mencobanya, namun
Gio tidak memiliki keberanian untuk naik ke atas sana. Jika salah melangkah
saja maka Gio akan terjatuh ke bawah. Sama seperti sekarang jika sedikit saja
salah langkah, Gio akan kembali terjatuh di lubang yang sama.
Seketika Gio membayangkan hal itu.
Gio kembali berkeliling menikmati kota Banjarbaru dan
kembali lagi ke warung kopi yang sama. Teman Gio yang bernama syahrul menyusul
Gio saat sore. Syahrul datang dengan tiga orang temannya. Perempuan semua. Gio
dikenalkan pada seorang perempuan. Menurut Gio perempuan itu cantik. Tapi hanya
karena cantik saja bukan berarti Gio senang atau berniat untuk mendekati
perempuan itu. Gio belum bisa melupakan Nayla hingga sekarang sehingga harus
terus berpikir untuk maju dan tidak jatuh di lubang yang sama. Namun entah
kenapa setiap Gio melakukan perjalanan, Gio selalu jatuh di lubang yang sama.
Gio hanya bisa tertawa karena ternyata hati Gio masih terisi oleh nama Nayla.
“Mungkin aku adalah orang yang bodoh karena terus mengharapkan
seseorang yang sudah membenciku” Gio bergumam lirih.
Menurut pengamatan di group kampus, dan informasi dari
temanteman dekat Gio, kini Nayla bahkan sangat membenci Gio. Penyebabnya adalah
gosip di kampus. Ada yang menjelek-jelekkan nama Gio di kampus dan membuat
Nayla percaya dan memakan mentah-mentah gosip tersebut. Gio sakit sekali ketika
mengetahui siapa yang membuat Gosip itu. Gio membiarkan saja, mungkin orang
tersebut senang mengurusi kehidupan Gio. Apalagi yang salah dengan Gio sehingga
orang itu tega melakukan hal seperti itu, namun Gio adalah orang yang tidak
mempedulikan itu.
Gio, Syahrul
dan Bowo memutuskan untuk pulang dari warung kopi karena besok Gio harus
bertemu dengan Birin di Kota Banjarmasin. Sampai di rumah, Gio langsung
melompat dan mencari tempat enak untuk tidur. Gio menginginkan saat ini tidur
dengan lelap, karena tidur yang dapat membuat Gio sejenak lupa akan keluh-kesah
dunianya.
“Perlahan
tertekuk pundakku saat menatapmu. Perlahan ku peluk lututku saat kau melintas
di depanku, ku coba mampu untuk melihat semua itu”
“KEJAMNYA
NESTAPA DUNIA”
***
31 Januari 2016
Gio menuju ke kota Banjarmasin untuk bertemu Birin dan teman
kuliah Gio di Yogyakarta bernama Arif. Ketika Gio sampai di Banjarmasin, Gio
langsung menuju kosan Birin dan berbincangbincang dengan teman-temannya birin.
Akhirnya malam itu Gio dan Birin memutuskan untuk menikmati malam di pusat kota
Banjarmasin.
Gio bertemu dengan Arif. Gio dan Birin diajak untuk mencoba
makanan lontong sayur Kalimantan dan nasi kuning, semuanya ditraktir oleh Arif.
Setelah itu Gio dan Birin lanjut menuju warung kopi di Coffee Toffe untuk
bertemu dengan Bowo.
Gio terkejut
karena tiba-tiba ada razia narkoba. Gio melihat itu amat kasian pada orang yang
tertangkap. Namun mau bagaimanapun dia salah karena telah menjual barang haram
tersebut kepada generasi muda mudi Indonesia. Setelah hirukpikuk itu, kembali
Gio, Birin, dan Bowo menikmati kopi dan berbincang hangat tentang dunia.
“Bagaimana? Apa sudah ikhlas dengan keputusannya?” tiba-tiba
Birin menanyakan itu. Gio hanya terdiam tak bisa menjawabnya.
“Dari pada sedih lebih baik kita foto-foto untuk
disombongkan ke teman-teman kelas kita dulu” ujar Birin. Gio hanya tersenyum
mengiyakan. Setelah foto itu diunggah di group kelas, banyak sekali pesan masuk
di handphone Gio, banyak orang bertanya,
“Kamu sedang sama Birin?”
“Titip salam yah buat dia”
Yah sangat dimaklumi karena Birin terlahir eksis pada masa
SMA dulu. Gio hanya tertawa melihat pesan teman-teman sekelas itu.
Waktu sudah menunjukan jam 23.00 ketika Gio dan Bowo pulang
ke Banjarbaru. Perjalanan ditempuh satu
jam dari kota Banjarmasin. Gio dan Bowo berhenti di ATM untuk mentransfer
reservasi tiket karena Gio mendapatkan tiket murah untuk melanjutkan perjalanan
menuju Balikpapan. Tiket sudah dibeli dan tinggal menunggu hari keberangkatan.
Gio pikir lebih baik akhirakhir ini Gio menghabiskan waktu di kota saja, karena
besok Gio harus bertemu dengan Birin lagi.
***
“Aku tak butuh alasan untuk melakukan semua ini, yang kutau aku
hanya ingin bebas dan lepas”
“SISI LAIN”
***
1 Februari 2016
Hari ini Gio memiliki janji di Banjarmasin, Gio bersiap-siap
untuk berangkat. Gio berangkat ke Banjarmasin di sore hari pukul 15.00, dan
sampai di tempat Birin sekitar jam 17.00. Sesampai di kosnya, Gio sedikit
jengkel dan kecewa terhadap Birin, Gio dapati saat itu Birin meminum
obat-obatan yang membuat Birin tidak sadar diri.
Gio kesal sekali melihat teman-teman satu kos Birin dan
ingin sekali Gio rasanya mengajak mereka berantem satu persatu karena Gio
jauh-jauh datang dari Jogja malah melihat teman SMA-nya menjadi seperti
ini.
“Cukup aku kehilangan seseorang yang aku sayang dan aku
tidak mau kehilangan teman yang sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri” ujar
Gio.
“Gio, jangan melakukan hal-hal arogan di sini, karena ini
bukan kampungmu, dan ini semua juga
kehendak dari teman SMA-mu itu,” kata mas Bowo sambil bersuara tegas.
“Aku mengerti mas Bowo, tapi birin adalah saudaraku dan aku
tidak bisa melihat dia seperti ini. Sungguh jahat teman-temannya disini, aku
tak cukup kuat untuk menahan amarahku, ingin sekali aku berantem dengan mereka
semua, walau ujungnya aku harus kalah, ujar Gio lirih pada Bowo.
“Iyaaa.. aku mengerti, tolong dengar, ini
adalah keputusan temanmu sendiri jadi jangan salahkan mereka.” Ujar Bowo.
Seketika amarah Gio reda dan Gio hanya bisa menghelus
dadanya. Akhirnya Gio menggendong teman SMA-nya ke kamarnya, dan disana Gio
melihat pacar Birin yang bernama Bunga.
“Kenapa dia?” Bunga hanya menangis pada saat itu.
Entah kenapa bunga menangis dan Gio tak mengerti, perlahan
Gio bertanya kepada Bunga
“Kamu kenapa?” ujar Gio.
“Maafkan aku yang tidak bisa jadi pacar yang baik buat
birin, aku tidak bisa mencegah dia melakukan ini, kau jauh datang dari Jogja
hanya untuk ketemu dia, namun sekarang keadaan dia seperti ini, aku tau itu
sangat membuatmu kecewa,” ujar Bunga menangis.
“Jujur aku tidak mempermasalahkan itu, aku harap hal yang
seperti ini bisa menjadi pelajaran untuk hubungan kalian, jangan saling
meninggalkan satu sama lain ya,” nasehat Gio sambil meletakan kepala Birin
dikasur secara perlahan.
Seharusnya Birin sadar bahwa
dia mendapatkan seseorang kekasih yang sangat baik dalam hidupnya. Kemudian Gio
pergi membelikan susu untuk Birin agar dia sedikit merasa lebih segar.
Akhirnya Gio habiskan harinya untuk mengurus Birin.
“Bunga aku pamit dulu yah ke Banjarbaru,
karena tak lama lagi aku akan melanjutkan perjalananku,” kata Gio, berdiri di
depan pintu sembari menatap Birin yang sedang tertidur.
“Iya Gi... Maafkan kita ya Gi, semoga kita bisa bertemu
kembali dalam keadaan yang lebih baik,” ujar Bunga masih sedih.
“Amin, itu harapku untuk Birin dan kamu.
Tolong jaga dia dan jangan sampai hal ini terulang kembali.”
Gio masih tidak percaya dengan apa yang baru terjadi, Gio
kecewa dan marah, namun Gio harus terima karena itu sudah pilihan Birin. Gio
percaya masih ada hari esok untuk bisa bertemu Birin lagi. Gio menekankan dalam
hatinya bahwa ini adalah sebuah jalan kehidupan yang setiap orang bebas untuk
memilihnya.
***
“Nestapa dunia membuatku terpatri untuk
melihat mentari”
“BUKAN SEKEDAR ANGAN DAN
HARAPAN”
***
2 Februari 2016
Gio terbangun di pagi hari, Gio ambil
handphone dan Gio melihat notifikasinya, disana ada pesan masuk dari sahabat
karib Gio itu
(Birin).
“Aku ingin bertemu denganmu malam ini,”
ujar Birin lewat pesan singkat.
“Ya ayo kita bertemu malam ini” balas Gio
sigap.
Sembari menunggu malam datang, Gio mengurus cucian baju Gio
karena esok Gio akan melanjutkan perjalanan menuju Balikpapan. Siang hari Gio
berkeliling kota Banjarbaru, menikmati kota dan berharap akan bisa kembali lagi
kesini.
Malam tiba,
Gio berjanji bertemu dengan Birin di angkringan. Gio mengajak Bowo untuk
menemaninya bertemu dengan Birin, tak lama Birin pun datang ditemani Bunga.
Disana awalnya kita tertawa berbincang hal-hal santai namun seketika Gio
berkata,
“Aku butuh waktu sedikit untuk bicara dengan Birin dan Bunga,”
bergetar nada suara Gio saat berbicara.
“Seharusnya kamu merasa beruntung bisa mendapatkan seorang
kekasih seperti dia Rin, yang mau mengurusi kamu dalam keadaan apapun. Dia
menangis malam itu, apa kamu sadar?” ujar Gio tegas.
“Maafkan aku Gi, itu di luar kendaliku,” bela Birin.
Seketika Bunga menangis mengingat kejadian itu.
“Liat sekarang! Bunga menangis atas apa yang kau lakukan kemaren.
Rin, kamu sudah dewasa dan aku yakin bahkan lebih dewasa dibandingkan aku. Jadi
tolong jaga Bunga dan cintai dia selayaknya kau mencintai orangtuamu” tegas Gio.
“Kau tak tau apa yang aku rasa Rin, saat ini hatiku sedang
hancur karena seseorang, aku terpuruk dengan keadaan, aku bersedih akan waktu.
Jadi tolong hargai pacarmu yang sudah menyayangimu dengan sepenuh hati. Jangan
seperti aku, aku adalah salah satu contoh yang tidak baik karena tidak bisa
memprioritaskan pacarnya. Bahkan mungkin aku tidak bisa membuat dia tersenyum
dan bahagia, jadi tolong hargai dia. Aku harap kejadian seperti kemaren menjadi
pertama dan terakhir yang aku liat, jangan kau buat Bunga menangis lagi,” Gio
bergumam dalam hati lirih.
Bunga masih menangis
“Sekarang
lebih baik kalian menyelesaikan permasalahan kalian dengan secara dewasa.” ujar Gio pada Birin dan Bunga.
Gio berada dalam posisi dimana Gio merasa jatuh bahkan
tertatih. Dibenak Gio terpatri akan bayangan Nayla. Gio masih menyayangi Nayla
bahkan mencintai Nayla, dari sejak Nayla mengakhiri hubungan ini. Tapi Nayla
tidak tau bagaimana menderitanya Gio yang masih menyimpan semua file video Gio
bersama Nayla, menyimpan foto Nayla di dalam dompet, Gio bahkan terkadang
bahagia ketika melihat Nayla. Gio hancur karena Nayla tidak pernah tau, bahwa
disini Gio selalu mendoakan dan selalu ingin melihatnya bahagia.
Disini Gio berfikir, mencoba untuk memalingkan hati ke orang
lain. Namun Gio belum siap untuk itu, Gio terus mencoba tapi hatinya tetap
berkata tidak. Jadi Gio memutuskan untuk sendiri.
“Besok aku akan memulai perjalananku menuju Balikpapan,
pesawatku berangkat pukul 18.00, kalau emang besok ada waktu kita bertemu lagi
ya!” ujar Gio pada Birin.
Mereka berpamitan malam itu setelah semuanya kembali normal
seperti biasa.
***
“Aku tak cukup berani untuk mengatakan
aku masih mencintaimu, tapi aku cukup berani untuk memendam itu”
“SEKEDAR EUFORIA”
***
3 Februari 2016
Mengawali pagi dengan senyuman, Gio langsung packing semua
baju dan bersiap-siap melakukan perjalanan sore nanti. Gio pun berpamitan
dengan orang-orang di sekitar rumah Yoga dan Bowo untuk melanjutkan perjalanan
Gio menuju Balikpapan.
Sore pun tiba, sedikit menghirup udara sore untuk terakhir
kalinya di Banjarbaru. Gio menerima pesan singkat dari Birin yang mengatakan
bahwa dia belum tau bisa menuju bandara atau tidak karena hujan. Gio menuju
bandara pukul 17.00, sampai di bandara Gio langsung mengurus boarding pass dan
check in.
Gio sedang duduk di dalam sembari mendengarkan lagu dengan
santai ketika mendapatkan sebuah pesan singkat dari Birin.
“Keluar aku di depan bersama Bunga Gi.” Ujar Birin di pesan
singkat.
Tapi pesawat
Gio akan berangkat 15 menit lagi, Gio ragu apakah sempat untuk keluar, Gio
ketinggalan pesawat. Setelah berpikir dengan cepat, akhirnya dia memutuskan
untuk menemui mereka.
Gio pun berlari keluar dan melihat Birin dan Bunga basah
kuyup karena hujan, Gio hanya terdiam melihat keadaan mereka.
“Aku pamit ya, terima kasih atas semuanya,” ujar Gio,
seketika Birin memeluk Gio.
“Maaf atas kejadian kemaren,” kata Birin sambil memeluk Gio
dengan erat.
“Kita akan bertemu lagi dengan posisi yang lebih baik dan
dengan keadaan yang lebih bagus, terima kasih, sampai jumpa,” ujar Gio.
Seketika Bunga juga memeluk Gio. Terlihat raut wajah Birin
seperti ingin menangis, saat Birin meneteskan air mata Gio terharu dan menangis
pula, terasa berat kaki untuk melangkah meninggalkan mereka.
“Sudah sana masuk nanti ketinggalan pesawat,” ujar Birin.
Namun, ketika Gio ingin melangkah ke dalam, Birin
menghentikan langkah Gio sejenak.
“Ayo foto dulu buat kenang-kenangan” Birin menarik tangan
Gio dan segera mengatur posisi.
Selesai foto, Gio langsung berlari ke dalam karena Gio
mendengar panggilan, “Untuk Bapak Agio Jati Suryatama agar segera memasuki
pesawat karena pesawat akan segera diberangkatkan.”
Gio harus melanjutkan langakahnya kembali, banyak sekali
pelajaran kehidupan yang Gio dapat di sini.
“Setiap manusia bebas untuk memilih kehidupanya, tapi jangan
pernah membiarkan orang yang kalian akung terjerumus di dalam sebuah lubang
neraka”
“SEHARUSNYA MERELAKAN LEBIH
BAIK DARIPADA MELUPAKAN”
***
3 Februari 2016
Gio mendarat di kota Balikpapan dan disambut dengan bandara
yang megah dan besar. Sudah seperti mall. Ramai sekali orang yang kesini.
Namun, Gio sedikit kecewa karena yang Gio lihat dari atas langit sana banyak
sekali limbah perusahan-perusahaan yang merusak alam dan berserakan.
Gio berjalan menuju pintu keluar dan melihat seseorang
dengan jumper hitam, celana pendek dan sepatu vans. Gio mengenali orang itu,
dialah teman satu kampus Gio yang bernama Heru. Gio sudah menghubunginya
sebelum tiba di Balikpapan.
Gio pun menghampiri Heru dan langsung disambut dengan sebuah
pelukan hangat darinya. Sambil menuju parkiran motor, Gio tersenyum dan
berkata,
“Wah,
sekarang aku sedang berada di Balikpapan speechless rasanya, memulai perjalanan
ini sendirian aku kira akan berbahaya namun ternyata menyenangkan.” kata Gio
senang
Detik demi detik berlalu, Gio dan Heru berkendara menuju
rumah Heru, butuh waktu kira-kira 30 menit dari Bandara Sepinggan untuk sampai
kesana.
Terharu Gio saat melewati sebuah tepi lautan kecil yang
dengan jelas memperlihatkan matahari terbenam dihiasi kapal-kapal nelayan dan
hutan konservasi.
“Biasanya di sini kalau sore hari banyak sekali
monyet-monyet berkeliaraan,” Heru berkata sambil menunjuk Gio. Gio dan Heru pun
tertawa.
Gio berpikir memang candaan itu perlu dalam sebuah
pertemanan untuk keakraban dan menjadi dekat. Namun, akan lebih baik lagi
ketika saling melemparkan candaan di waktu yang tepat dimana sama-sama sedang
dalam mood yang baik sehingga tidak akan ada yang tersinggung dan merasa sedih
akan candaan yang di lontarkan.
Heru ini
adalah seseorang yang pendiam di kampus, Heru sangatlah baik, rajin kuliah, dan
jarang sekali skip dalam mata kuliah kampus, Heru selalu tersenyum. Suatu
kebanggaan bagi Gio bisa mengenal keluarganya yang berada di Balikpapan.
Akhirnya Gio sampai di rumah Heru, dengan wajah senyum Gio melangkahkan kaki,
Gio merasa sedikit canggung karena Gio harus beradaptasi lagi. Di Balikpapan
pasti berbeda dengan Banjarmasin dan Jawa. Ketika malam datang Gio makan
bersama Heru, Gio di belikan bebek bakar oleh keluarganya Heru.
Gio terharu, Gio disambut dengan sangat baik disini. Gio
diberikan makanan selayaknya anak sendiri. Selesai makan, Gio memutuskan untuk
membuat kopi hitam mengisi buku catatan perjalanannya yang berisi tentang
PERJALANAN HATI.
Dari lantai dua rumah Heru, Gio menikmati suasana baru, hari
ini Gio merasa mengenal Heru lebih dalam. Ternyata Heru adalah seseorang yang
hebat di keluarganya. Heru orang yang low profile, tidak ingin menunjukan apa
yang dia punya di depan orang lain.
Saat sedang mengisi buku catatan, seorang pria paruh baya
menghampiri Gio di depan. Pada saat itu Gio sedang merokok sembunyi-sembunyi,
tidak enak jika ketahuan oleh keluarga Heru. Namun, orang tua itu berkata,
“Merokok saja Mas tidak papa.” Ujarnya sopan.
Ternyata dia adalah Om dari Heru. Omnya Heru bercerita
sedikit tentang Heru. Gio terdiam sebentar mendengar cerita dari omnya.
“Di Pasar Baru Heru dulunya suka berantem, namun sangatlah
ramah dengan orang-orang di sekitarnya dan selalu membantu orang tuanya setiap
hari,” kata omnya Heru.
“Menurutku kenakalan Heru sangat wajar om, tapi mulai hari
ini aku sangat salut dengan Heru om.” Tegas Gio
Dulu Gio juga seperti itu, namun yang membuat Gio salut
padanya, Heru tidak pernah melupakan yang namanya keluarga. Mungkin itulah
bedanya dengan Gio. Gio tidak memiliki sebuah keluarga yang akur, yang ada
hanya berantem dan berantem sehingga kedua orangtua Gio harus berakhir dengan
perceraiaan.
Kemudian omnya Heru pamit dari hadapan Gio, Gio pun kembali
menulis buku catatan perjalanannya. Tak lama kemudian, seseorang yang sudah tua
tiba-tiba datang sambil membawa kopi. Gio semakin kaget, siapa lagi ini
tiba-tiba datang, ternyata adalah ayahnya Heru. Gio berbincang bersamanya
hingga larut malam. Banyak sekali yang Gio ceritakan dari tentang prasejarah,
Islam hingga sebuah organisasi yang pernah mencoba untuk memukuli Gio. Gio
tersenyum sendiri dan tertawa bersama ayahnya Heru. Banyak pelajaran baru yang
Gio dapatkan di sini, seketika hening dan ayah Heru bertanya,
“Nak kamu berapa hari di sini?” tanya ayah
Heru
“Di sini aku hanya satu hari Pak karena besok aku harus
melanjutkan perjalanan aku menuju kota Palu, Sulawesi, aku sudah terlanjur
janji dengan seorang teman disana Pak,” kata Gio.
“Singkat sekali yah kamu di Balikpapan nak,” ayahnya Heru
sambil menyeruput kopi hangatnya.
Berbincang dengan
ayah Heru membuat Gio rindu dengan sosok seorang ayah yang selalu menemani Gio
saat Gio merasa hancur, dan memberi Gio motivasi untuk menjalani hidup. Sudah
sangat lama Gio tidak merasakan nikmatnya bercerita hangat dengan sosok seorang
ayah. Gio dan ayahnya selalu bertengkar setiap bertemu. Terkadang ingin sekali
rasanya bisa merasakan apa yang dirasakan anak lain, namun Gio yakin suatu saat
nanti ayah akan mampu berubah dan menerima diri Gio dengan baik-baik saja
seperti yang selalu Gio impikan.
Setelah cukup lama berbincang, akhirnya ayah Heru pamit dan
mempersilahkan Gio untuk beristirahat. Tapi mata tidak ingin tertutup malam
itu, Gio masih ingin menikmati malamnya yang hanya satu hari ini di Balikpapan.
Ketika Gio kembali menulis buku catatannya, tiba-tiba nama
Nayla terlintas di pikiran Gio, Gio tersenyum dan bertanya kepada bintang, “Hei,
apakah sekarang dia sedang melihatmu?, ” ujar Gio sambil tertawa sendiri.
Beralih menatap bulan, Gio berkata,
“Tolong sampaikan kepadanya aku ingin sekali memegang
tangannya, memeluknya, dan ingin sekali kembali menjadi imam di setiap
sholatnya. Katakan juga aku ingin menuntunnya agar dia selalu aman dan terjaga
di kehidupan yang fana ini.”
Tiba-tiba bayang dan kenangan tantang Nayla menyeruak dan
memenuhi pikiran Gio. Tanpa sadar, Gio mulai menitikkan air mata, rasa rindu
ini, Gio tidak kuat menahan rasa rindu ini, rasa yang hanya bisa Gio pendam,
tanpa bisa Gio ungkapkan.
Selama ini
hingga sekarang, Gio selalu saja senyum-senyum sendiri dikala sedang teringat
apa yang terjadi di Pantai Sadranan, bagaimana cara Gio menyatakan cinta kepada
Nayla untuk menjadikan seseorang yang spesial dalam hidup Gio, dan
kenangan-kenangan lain tentang Nayla.
Angin membisikkan pada Gio, malam ini Gio harus istirahat,
biarkan semua pertanyaan itu tersimpan di hati yang terdalam, biarkan dia tetap
terjaga dan namanya tetap tersimpan rapi di dalam pikiran.
***
“Kehidupan itu
adalah sebuah resiko yang mana manusia harus menerima semua resiko dengan
lapang dada tanpa mengeluh dan harus terus berusaha untuk itu semua”
“TERPATRI MENCARI ARTI”
***
4 Februari 2016
Gio selalu memulai hari demi hari dengan harapan baru ketika
melangkahkan kaki di hari ini bahkan di setiap harinya. Hari ini Gio berjanji
untuk bertemu dengan teman-teman kampusnya yang tinggal di Balikpapan, yaitu
dua orang perempuan. Gio berjanji bertemu di Pasar Segar. Sebelum bertemu,
paginya Gio dan Heru keluar bersama mencari makanan untuk mengganjal perut
sambil menikmati kopi hangat dengan suasana pagi yang indah disini.
Saat menuju ke pasar segar tiba-tiba ban motor Heru bocor.
Heru pun berhenti sejenak dan menambal ban. Gio penasaran akan sesuatu.
“Apakah mahal ketika menambal ban disini?” tanya Gio. Namun
Heru hanya tertawa mendengarnya.
Setelah selesai ditambal, Gio bertanya lagi, “Berapa kamu
bayar Heru?”
“25 ribu,” jawab Heru sambil tertawa.
“Wahh, mahalnya” batin Gio. Gio terdiam dan berpikir,
ternyata sangatlah berat hidup di Balikpapan dengan biaya hidup yang sebesar
itu.
Gio dan Heru melanjutkan perjalanan menuju tempat coffee, ternyata Gio
dan Heru yang pertama datang, akhirnya pun menunggu. Tak lama, satu persatu
teman kampus Gio datang, Gio sedikit tercengang ketika melihat mereka datang,
mereka terlihat sangat berbeda. Saat itu, Momon
datang dengan mobil jazz cat bunglon, sedangkan Mora datang dengan mobil
jazz warna biru.
Gio terdiam.
“Waaah... ternyata teman-temanku adalah orang- orang yang
spesial di mata keluarganya tidak seperti aku,” batin Gio.
Gio hanya tertawa sendiri, untungnya Gio lebih bisa
bersyukur akan keadaan keluarganya saat ini, tidak ada penyesalaan sedikitpun.
Gio dilahirkan di keluarga yang keren, Gio memiliki ibu dan abang yang hebat
serta memiliki adek seperti superhero yang selalu membuat Gio semangat dalam
menjalani hidup. Walau terkadang Gio merasa seperti dilahirkan dari penolakan
dunia.
Anehnya, selama
Gio berbincang, Gio sedikit mengklarifikasi cerita tentang Nayla, tentang apa
yang mereka dengar. Tapi Gio juga selalu memohon pada mereka jangan sampai
Nayla dengar bahwa Gio belum bisa move on. Gio selalu berkata bahwa Gio lah
yang salah, sambil menampakkan raut wajah sedih di hadapan mereka.
Apakah mereka mengerti betapa sakit yang Gio rasakan karena
Gio sudah mencintai Nayla terlalu dalam. Gio bahkan berharap Nayla bisa menjadi
yang terakhir untuk Gio.
Akhirnya pertemuan pun berakhir disini, karena Gio dan
Heru harus melanjutkan perjalanan menuju
Pantai Melawai untuk menikmati pasir putihnya. Perjalanan dari Pasar Segar
menuju pantai Melawai ditempuh dalam waktu satu jam. Menikmati semilir angin
selama perjalanan. Tidak ada rasa kecewa melihat pemandangan alam yang
tersuguhkan di depan mata. Namun, melihat beberapa botol plastik disana-sini
membuat Gio sedikit kesal. Gio tau ini semua salah siapa, ini semua salah
manusia yang tidak bisa menjaga dan melestarikan alam pantai ini.
Berjalan menyusuri pantai, Gio menulis nama Nayla di pasir
diamdiam agar Heru tidak melihatnya. Melihat sebuah jembatan yang menuju ke
laut, Gio berjalan kesana dan meneriakkan nama Nayla. Gio harap angin dapat
membawa dan menyampaikan teriakan ini pada Nayla. Berdiri kokoh di depan
lautan, Gio berkata kepada lautan, angin dan air.
“Apa yang harus aku lakukan? Hatiku terus mencintainya.
Bagaimana caraku menunjukkan padanya bahwa aku disini masih menunggunya?”
teriak Gio.
Gio tau dia tidak akan mendapat jawaban dari mereka, tapi
mengeluarkan kegelisahan seperti ini membuat Gio merasa lebih baik. Menurut Gio
angin dan air mampu mendengarkan apa yang Gio rasa, karena mereka telah menjadi
saksi dimana Gio dan Nayla pertama kali menjadi sepasang kekasih. Gio
memutuskan untuk kembali menulis buku catatannya disini dan membeli es kelapa
muda sambil menikmati angin pantai ini.
Gio mengerti
waktunya tidak lama disini, jam delapan malam nanti
Gio sudah harus menuju ke Palu, Sulawesi sehingga pukul
19.00 Gio sudah harus berada di bandara. Gio dan Heru memutuskan untuk balik ke
rumah Heru. Di perjalanan, Gio berbincang hangat dengan Heru,
“Sangat berkesan hari ini Ru, Kau membuatku sedikit lebih
lega untuk bisa menjalani perjalanan ini.” Ujar Gio kepada heru.
“Kok bisa Gi?” tanya Heru heran.
“Dari cerita orangtua dan Om-mu membuatku dapat pelajaran
yang sangat lebih disini walau hanya satu hari.” tegas Gio
“Makanya suatu saat nanti kau harus kembai
lagi ke Balikpapan!” tawar Heru.
“Itu pasti!” kata Gio
Gio sampai di rumah Heru pukul 17.00
jadi Gio buru-buru packing karena harus menuju bandara, perlu waktu satu
jam untuk sampai ke bandara. Pukul 18.00
Gio baru selesai packing, Gio pun berkata,
“Apakah bakalan sempat Ru?”
tanya Gio
“Pasti sempat Gi! Tenang saja.” tegas Heru
“Aku hanya takut
ketinggalan pesawat ini, ayo buruan makanya kita harus berangkat sekarang.” Gio
tergesah-gesah.
“Tenang...tenang Gi,” kata Heru.
Gio pun berpamitan kepada keluarganya Heru karena Gio harus
melanjutkan perjalanan.
“Kembali lagi kesini ya nak.” Kata Ayahnya Heru.
“Saya pasti akan kembali kesini Pak! ” jawab Gio tegas.
Selalu saja ada kata susah untuk sebuah perpisahan. Kembali
Gio ingin menangis ketika berpamitan dengan keluarga Heru.
“Ayo kita harus berangkat,” kata Heru.
Mereka pun meninggalkan rumah Heru untuk menuju bandara.
Mereka melewati lorong-lorong kecil, dan di sana terlihat sebuah kampung yang
terlihat sangat tenang. Gio percaya di kampung itu tetap akan ada seseorang
yang cantik dan bisa membuat dirinya bahagia. Tetapi pasti tidak seperti Nayla
yang selalu tersimpan di hati. Teringat tentang Nayla, Gio pun membicarakannya
dengan Heru,
“Aku belum bisa melupakan Nayla, aku menyayangi Nayla
seperti aku menyayangi sosok seorang ibu” Gio bersedu sedan.
Heru hanya terdiam pada saat itu dan tidak bisa berkata
apa-apa. Akhirnya Gio kembali di Sepinggan untuk melanjutkan perjalanan menuju
Palu. Gio berpamitan kepada Heru, seperti biasa perpisahan ini diawali dengan
pelukan dan diakhiri dengan pelukan hangat. Setelah mengucapkan terimakasih dan
berpamitan dengan Heru, Gio langsung menuju ruang check in. Pesawat Gio
ternyata delay karena cuaca yang buruk. Gio pun masuk ke dalam ruang tunggu keberangkatan,
Gio duduk dan kembali membuka buku Madilog hasil karya tangan Tan Malaka,
tiba-tiba pria yang sudah cukup tua menghampiri Gio dan berkata, “Kamu KOMUNIS?” tegas Bapak itu.
“Aku hanya membaca buku ini pak, dan mengetahui buku ini
bukan berarti aku adalah seorang komunis.” Gio menjawab
“Alasanmu saja,” kata Bapak itu melihat Gio sambil melotot.
Gio pun tidak membalas perkataan bapak itu lagi. Semua orang
berhak berpikir seperti apa yang dipercayainya. Namun, kurang bijak jika
langsung men-judge seperti itu. Akhirnya Gio memutuskan untuk menutup buku itu
dan membuka buku catatan perjalanannya. Di sela menulis buku catatan, Gio iseng
mengirim pesan kepada Reza yang ada di Palu,
“Hei.. cuaca pada saat ini sangat buruk makanya pesawatku di
delay, kalau terjadi apa-apa padaku tolong sampaikan kepada ibu dan orang-orang
terdekatku bahwa aku mencintai mereka,” ujar Gio sambil tertawa
“PASTI! Pasti akan aku sampaikan,” kata Reza khawatir.
Tapi Reza tidak berbicara kepada Gio bagaimana cuaca di Palu
sana, Gio mulai merasa tidak tenang dan berkata dalam hati.
“Mungkin perjalananku harus berakhir disini.”
Tak lama, Gio sudah dipersilahkan untuk masuk ke dalam
pesawat karena sudah mau berangkat. Ketika melangkahkan kaki memasuki pesawat,
suasananya terasa sedikit aneh karena di dalam semua penumpang hanya diam.
Guyuran hujan dengan kencangnya menerjang pesawat yang Gio tumpangi pada saat
take off. Gio sudah berpikir negatif,
“Ini akhirku.”
Ketika sampai di atas Bandara Palu, pesawat sudah
berkeliling di atas langit sebanyak tiga kali dan belum bisa landing sama
sekali karena kabut dan hujan yang sangat parah. Gio terdiam dan membaca doa,
semua orang di dalam pesawat juga membaca doa. Kemudian pramugari datang
meminta kita untuk tetap tenang dan menundukan kepala. Gio semakin yakin dan
berpikir bahwa pesawat ini akan jatuh, kemudian pilot menurunkan pesawat dengan
perlahan dan Gio mulai berpikir
“Ini dia sebentar lagi aku akan jatuh ke danau. Tapi aku
bisa berenang, aku akan berenang ke daratan nanti kalau terjadi apaapa dengan
pesawatku,” pikir Gio.
Namun Allah berkata lain, tak lama pesawat yang di tumpangi
Gio sudah mencapai tanah dan landing dengan selamat,
“Ternyata aku masih diberikan kesempatan
untuk hidup” ujar Gio tenang.
Gio langsung
menuju pintu keluar, sangat ingin Gio menceritakan kepada Reza kejadian tadi.
Di dekat pintu keluar Gio melihat Reza dan dua orang saudaranya menunggu Gio,
Gio menghampirinya dan diajak makan di sebuah tempat makan. Gio memesan ayam
yang dimasak penuh cabe untuk meredakan ketakutan ini. Sambil makan, Gio
bercerita kepada Reza,
“Tadi pesawat aku sudah hampir jatuh,” cerita Gio.
“Aku tidak heran,
cuaca di Palu memang sering sekali berubahubah dan ketika kamu kirim pesan aku
seperti itu aku tanggapin dengan serius juga, tapi sekarang kan kamu udah
sampai dengan selamat disini,” kata Reza.
“Halaah pantes aja, besok kalau aku mau berangkat ke
Surabaya aku cari pesawat siang hari aja deh, hahahaha...” Gio tertawa.
Selesai makan, akhirnya memutuskan langsung pulang karena
Gio harus istirahat untuk memulai perjalanan besok berkeliling dan mengunjungi
tempat-tempat wisata di Kota Palu. Setiap malam sebelum tidur, Gio selalu
mendoakan ibu dan keluarganya, tentunya
satu lagi tidak terlupakan mendoakan Nayla yang selalu ada dipikiran Gio.
***
“Perlukah
aku keliling dunia untuk mendapatkan pelajaran tentang melupakan?”
“BUKAN SEKEDAR ANGAN DAN
HARAPAN”
***
5 Februari 2016
Suasana baru dan
harapan baru di kota yang baru. Gio mempersiapkan barang-barang dan saatnya
memulai perjalanan menuju air terjun Wera. Gio menunggu teman-teman barunya
datang untuk bersama-sama menuju kesana. Perjalanan ke air terjun di tempuh
dalam waktu tiga jam dan harus treking menuju hutan-hutan belantara. Saat
parkir mobil di sebuah hutan, ada sebuah desa di sana, Gio lihat budaya dan ada
istiadatnya sangat kental. Kemudian Gio melihat seekor babi yang di pelihara di
salah satu rumah, itu membuat Gio sedikit takut untuk turun, namun Gio tetap
turun dan menyapa warga sekitar.
Tracking pun dimulai, tracking memakan waktu 30 menit
menyusuri hutan–hutan, sambil jalan Gio bernyanyi, sambil berjalan Gio
mencari-cari sebuah arti melupakan dan makna kehidupan, apakah tercecer di
suatu tempat, namun Gio tidak menemukan apa-apa sama sekali. Gio mungkin tidak
menemukan sesuatu hal buat kehidupan, namun Gio mempelajari arti sebuah usaha.
Untuk mendapatkan sebuah hasil perlu perjuangan yang besar dan tekun, tidak
cukup hanya usaha, harus diiringi dengan doa kepada Sang Maha Pencipta.
Setelah tracking selama sekitar 30 menit, Gio disambut
dengan dentuman bunyi air yang sangat deras. Awalnya Gio bingung, suaranya
sangat jelas terdengar dan terasa dekat, namun air terjunnya masih belum
terlihat. Tak lama, Gio melihat tumpukkan batu yang kecil. Gio berjalan
melewatinya dan ternyata dibaliknya tersimpanlah air terjun Wera.
Air terjunnya tinggi dan
memiliki tiga tingkat, sangat exotic. Tanpa menunda lagi, Gio pun loncat dan
berenang sembari menikmati air yang amat bersih dan bening ini. Tidak sia-sia
rasanya Gio jauhjauh datang dari Jawa. Pemandangan alam ini sangatlah indah dan
membuat Gio tenang. Alam ini seperti belum terjamah oleh tangan orang-orang
berdosa dan tidak mau bertanggung jawab.
Semuanya terlihat sangat asri, bersih, dan sangatlah
indah.
Kita seharusnya bersyukur telah diberikan alam seindah ini
oleh Sang Pencipta, namun mengapa masih banyak yang tidak bisa melakukannya?
Bersyukur bisa kita lakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan
menjaganya. Apakah mereka semua tidak pernah merasa sedih? Sedih melihat alam
Indonesia ini perlahan hancur, bagaimana jika ketika anak dan cucu kita lahir
mereka tidak dapat melihat dan menikmati indahnya alam ini seperti kita karena
tangan-tangan tak bertanggung jawab yang merusaknya?
Gio menikmati setiap tetes air yang turun di tubuhnya,
setiap tetesan air yang menjatuhi tubuh Gio membuatnya merenung dan lebih
menikmati indahnya alam Indonesia yang satu ini. Ini seperti candu dunia yang
membuat Gio merasa bahagia tanpa teringat nestapa dunia. Namun sayangnya, Gio
tidak bisa berlama-lama disini, Gio harus berpindah ke tujuan selanjutnya yaitu
ke Matantimali. Gio berpikiran aneh, di pikiran Gio yang terlintas adalah “mantan
timali hahahaha..,” Gio tertawa sendiri.
Gio pun tracking menuju kembali ke parkiran mobil, treking
pulang memakan waktu lebih cepat yaitu sekitar 15 menit. Karena pada saat itu
hari jumat, Gio memutuskan untuk berhenti sejenak di masjid untuk sholat jumat
di sana. Setelah memarkirkan mobil, Gio dan teman-temannya turun, mengambil
wudhu kemudian sholat, melakukan salah satu kewajiban umat beragama islam.
Selesai sholat, Gio dan Reza mampir sejenak ke rumah salah satu saudara Reza
untuk mengajaknya ikut ke Matantimali. Gio pun beristirahat sebentar disana dan
menikmati minuman dingin, hari ini betulbetul panas.
Setelah menjelang sore, Gio dan Reza mengganti kendaraan
menjadi sepeda motor dan berangkat ke sebuah bukit di balik rumah Reza. Gio dan
Reza berangkat sekitar jam 17.00,
“Yah...
yah... yah... aku pikir akan memakan waktu yang lama pula seperti saat menuju
air terjun Wera, ternyata tidak, dalam satu jam kita sudah bisa menikmati
keseluruhan kota Palu dari atas bukit ini,” kata Gio. Reza hanya tersenyum saja
mendengar perkataan Gio.
Perjalanan menuju bukit ini
cukup mendebarkan, saat itu Gio berboncengan dengan Reza, Reza membawa motor
perlahan karena jalan yang berdebu dan sangat licin. Jika tergelincir,
kemungkinan Gio dan Reza akan jatuh ke jurang. Reza berkendara pelan-pelan
sembari menikmati alam dan hutan tropis yang ada di
Palu ini.
Namun Hendra -- saudaranya Reza -- seperti terburu-buru, beberapa kali motor
yang Hendra gunakan terpeleset. Anehnya di antara mereka tetap saja ada yang
menganggap bawah itu lelucon dan sesuatu yang bisa ditertawakan. Tapi bagi Gio
ini tidak lucu, bagaimana jika terjadi sesuatu pada mereka disebabkan lelucon
mereka, mereka lebih berharga dibanding ini.
Namun semua perjalanan ini tetap membuat Gio sangat senang,
Gio dan Reza bernyanyi bersama sepanjang perjalanan, teriak kesana-kemari
seperti orang gila sungguh salah satu perjalanan yang tidak terlupakan.
Pukul 18.00, Gio sampai di atas bukit Matantimali, di sana
Gio dapat melihat keindahan Palu dan bentuk topografinya yang dikelilingi
danau. Gio juga dapat melihat keseluruhan kota Palu, Gio tau salah satu desa di
sana ada yang bernama Donggala. Desa itulah yang akan Gio kunjungi besok, tidak
sabar rasanya.
“Seandainya
aku bisa melihat semua keindahan ini bersamamu, seandainya aku mampu membuatmu
merasakan apa yang aku rasa mungkin kau akan mengerti betapa sakit lara hati
ini,” kata Gio.
Tetapi, selalu saja ada yang bisa membuat Gio tertawa hari
ini, teman-teman mengajak Gio untuk
berjalan ke balik bukit. Gio pun mengikuti langkah mereka dan terpampanglah
indahnya sunset sore itu. Gio merasa seakan semua masalah lepas sejenak dari
pikirannya, Gio menikmati dan menghayati keindahan yang ada di depan mata
seakan Gio lupa dengan keadaan dunia dan kehidupan yang kacau balau.
Saling bercerita tanpa beban, merasa tidak terjadi apa-apa,
tertawa bahagia, semua lengkap di sini. Tak lama, senja telah hilang dari
hadapan Gio dan menyisakan kegelapan, menandakan tiba waktunya bagi Gio untuk
turun kembali ke kota.
Keadaan jalan saat malam membuat Gio sedikit berhati-hati,
tidak adanya lampu jalan membuat jalanan menjadi sangat gelap. Reza menggunakan
kacamata sehingga penglihatannya sedikit berkurang saat gelap.
Akhirnya Gio yang mengendarai sepeda motor itu
menggantikannya. Sebenarnya Gio cukup khawatir, karena Gio tidak mengetahui
secara detail lokasi ini, jadi Gio memutuskan untuk berjalan sangat pelan. Saat
tertutup rimba hutan, Gio tidak mampu melihat apa-apa, namun ketika rimba
hilang Gio melihat ribuan lampu bersinar terang di bawah sana dengan
bermacammacam tragedi yang ada yaitu sedih, senang, bahagia, bahkan tertawa,
mungkin ada juga perkelahian.
Gio hanya terdiam saat itu, Gio sedang menjadi orang yang jauh
dari keadaan kota bawah tapi sebentar lagi Gio akan merasakan hal yang sama
seperti orang-orang yang ada di bawah, betapa tak inginnya Gio. Sembari
menikmati alam, Gio tetap fokus memperhatikan jalanan yang rusak.
“Seperti kehidupan aja hahaha..,” ujar Gio sambil tertawa
mencoba menemani dirinya sendiri. Reza di belakang tidak menyahut.
Sampai di bawah, Gio langsung menuju warung makan kecil.
Disana terdapat makanan khas dari Gorontalo yaitu Binte. Gio mencobanya.
Menurut Gio makanan ini sangatlah enak dan murah. Binte berisi jagung dan nasi,
serta ada sedikit mie dan telor, Gio memesan dua prosi untuknya sendiri karena
dengan harga 10 ribu Gio bisa menikmatinya. Keringat bercucuran pada saat
memakan binte dan respon ketika pertama kali makan binte, Gio sangat
menyukainya.
”Mungkin suatu saat nanti aku harus ke Gorontalo untuk
merasakan langsung dari kota asalnya,” kata Gio.
Perut telah terisi, saatnya
melanjutkan perjalanan pulang. Gio sudah tidak sabar bertemu dengan kasur untuk
merebahkan badan, hari ini sangat melelahkan. Sampai di kos Reza, Gio masuk ke
kamarnya, disana Gio melihat ada rantang makanan, ternyata Reza dikirimi makanan oleh orang tuanya karena tau Gio akan
berkunjung. Betapa baiknya orang tua Reza menyambut Gio
seperti ini. Sambil makan lagi, Gio sedikit curhat,
“Reza apa
yang harus aku lakukan? Apa saatnya sekarang aku bilang ke dia bahwa aku masih mencintai dan
menyayanginya, aku tidak bisa berpaling dari dia,” curhat Gio.
“Memang seharusnya kamu bilang seperti itu Gi, mungkin ketika
kamu sudah berbicara kamu akan lebih lega,” jawab Reza.
“Tapi hati ini selalu berkata ‘jangan’ Reza, bukan karena
berat untuk berkata, cuma aku berpikir apakah aku masih pantas buat dia yang
sudah melukai hatinya karena sebuah prioritas, apakah aku pantas untuk menemani
dia, aku berpikir mungkin ini karena ego atau juga karena aku tidak ingin
dilihat lemah, namun aku tau aku salah Za.” kata Gio sedih.
“Coba kamu pikirkan baik-baik dulu malam ini, kalau sudah
yakin langsung saja katakan padanya Gi.” Reza memberi Gio saran.
Memang saat itu Gio tidak sempat mengucapkan apa-apa pada
Nayla, yang akhirnya membuat Gio terpuruk dan tidak bisa mencari pengganti
Nayla. Gio berpikir mungkin bukan karena tidak bisa, melainkan karena Allah
merasa Gio belum cukup mencintainya sehingga Allah belum memberikan seseorang
yang dicintai. Setiap Gio mengingat Nayla yang ada hanya menangis dan menangis.
Hanya satu hal yang bisa Gio lakukan untuk mengobati rindunya pada Nayla, Gio
mencari kabarnya lewat orang terdekat Nayla. Mengetahui kabar Nayla saja Gio
sudah senang apalagi jika bisa langsung saling sapa, mungkin serasa dunia hanya
miliki diri Gio saja seorang.
“Tetapi aku
harus lebih belajar bahwa sebelum aku mencintai seseorang akan lebih baik jika
aku mencintai Allah, Sang Pencipta” kata Gio memantapkan hati. Mata Gio sudah
mulai terasa lelah, saatnya bagi Gio untuk menutup mata ini dan tidur.
“Terhempas nestapa dunia, aku masih bertahan untukmu, hanya
untukmu seorang”
“EKAKARSA”
***
6 Februari 2016
Hari ini, Gio tidak pergi ke tempat-tempat yang jauh. Gio
harus menjaga fisik tetap fit karena besok Gio berangkat menuju pantai
Bambarano. Perjalanannya akan memakan waktu sangat lama, jadi Gio hanya
berkeliling Kota Palu hari ini.
Sorenya Gio berkeliling di Kota Palu, malamnya Gio
memutuskan untuk nongkrong di Kopi Aweng sambil melihat acoustic band, kemudian
bertemu dengan teman-teman yang lainnya. Gio tertawa terbahak-bahak disana
melupakan kelelahan hari ini, dan setelah cukup lama berbincang, Gio dan Reza
pergi dari Kopi Aweng untuk menikmati suasana malam Kota Palu. Di perjalanan,
Gio ditunjukkan sebuah tempat terlarang (prostitusi) yang ibaratnya di
Indonesia sudah menjadi sebuah hal yang biasa. Gio juga tidak terlalu merasa
aneh ketika melewatinya, karena ketika Gio berada di Jakarta, saudara kandung
Gio yang bernama Angga menyewa seorang perempuan malam kemudian diajaknya ke
dalam mobil dan Angga mengajak ngobrol. Cukup lama mereka mengobrol, Angga
membayarnya dan setelah perempuan tersebut keluar dari dalam mobil, Angga
berkata kepada Gio,
“Jangan pernah sekalipun melakukan hal seperti ini. Abang
melakukan ini agar kalian bisa belajar dan sudah terungkap kan mengapa dia
seperti ini, ini karena keadaan ekonomi dan pergaulan bebas. Jadi Abang harap kalian
menjaga pergaulan kalian yah,” kata Angga tegas dan bijak.
Malam itu Gio berpikir saudaranya sangat bijak dan Gio
beruntung memiliki saudara yang seperti itu. Dan pada saat di Palu Gio hanya
melihat saja. Kata orang-orang di ruang lingkup tersebut, itu adalah bisnis
lendir, itu yang sering Gio dengar. Gio tidak pernah punya niatan untuk mencoba
hal-hal seperti itu.
Gio kembali melanjutkan perjalanan malam itu dengan
mengelilingi kota Palu, tapi akhirnya Gio memilih untuk kembali ke rumah dan
beristirahat. Malam itu, Reza pulang ke rumahnya sehingga tinggal Gio dan
Hendra yang ada di kos.
Gio dan
Hendra saling sharing tentang masalah keluarga, ternyata Hendra mangalami hal
yang serupa dengan Gio, Hendra juga merasa lahir dari penolakan dunia, tidak bisa
move on dari orang terkasih dan memiliki keluarga yang hancur lebur. Bahkan,
Hendra hanya bisa tidur ketika meminum obat tidur. Gio dapat merasakan apa yang
dirasakannya tapi Gio salut pada Hendra, Hendra tetap bisa bertahan dengan
segala hal yang menimpanya. Gio bercerita hingga larut malam bersama Hendra.
“Rasa ingin bersamamu kian membunuhku,
rasa ingin memilikimu kian menyiksaku kapan semua akan berakhir dengan bahagia”
“MELAMPAUI BATAS DIRI”
***
8 Februari 2016
Paginya, Gio mempersiapkan semua barang-barang untuk
berangkat ke Bambarano, Gio berangkat menggunakan mobil Reza karena selanjutnya
Reza harus menjemput saudara dan keluarganya untuk ikut. Mobil singgah di rumah
Wawan, ternyata yang bersangkutan sudah menyiapkan makanan dan minuman untuk di
pantai. Gio kaget dan hanya bisa bilang terima kasih kepada Wawan. Lalu
menjemput Vjay, temannya Wawan dan Hendra.
Dari kota Palu perlu waktu 5 jam untuk sampai ke Pantai
Bambarano. Gio melewati pertigaan arah menuju Poso, saat melihat plang di jalan
Gio sangat tertarik untuk melanjutkan perjalanan sampe ke Poso, namun harus
terhenti karena pada saat itu masih adanya Rombongan Santoso yang membuat Gio
harus berhenti di Palu.
Selama perjalanan, Wawan membawa mobil dengan sangat cepat,
tiba-tiba terlihat seekor ayam di tengah jalan. Sebenarnya Wawan bisa rem
mobilnya, namun Wawan terus menginjak gas mobilnya sehingga ayam itu tertabrak
dan sepertinya mati. Gio merasa marah sebenarnya, tapi apalah daya, di sini Gio
hanya seorang pendatang, dan penumpang.
Gio tau apa yang Wawan rasakan pada saat menabarak ayam itu,
Wawan pasti merasa bersalah. Pertama karena menabrak ayam, kedua karena mobil
Reza hancur bagian depan dan plat mobilnya hilang. Akhirnya wawan berhenti di
suatu tempat untuk melihat keadaan mobil. Gio dan teman-teman berhenti agak
jauh dari desa karena sangat berbahaya berhenti di TKP, bisa-bisa dipukuli oleh
warga. Gio berhenti di sebuah danau, di sana Gio berpikir mencari solusi agar
Reza tidak dimarahi oleh orang tuanya, dan solusinya dapat (intinya berbohong).
Sebenarnya Gio sangat tidak setuju dengan itu tetapi mau bagaimana lagi.
Seisi mobil mencoba untuk mencairkan suasana dengan
berfotofoto dan menganggap kejadian itu adalah sebuah musibah. Sampai juga di
pantai, Gio berlari menuju pantai sedangkan Wawan mempersiapkan makanan. Gio
bermain-main dengan pasir putih yang indah sambil sesekali mengambil foto dan
lari-lari bersama Hendra. Pantainya sangat indah dan bersih, tidak ada orang
selain Gio dan teman-teman yang mengunjungi pantai hari itu. Gio tersenyum
takjub memandang alam yang masih asri ini.Tak lama, Gio mendengar Wawan
berteriak,
“Ayo! Saatnya kita makan.” ujar Wawan. Gio dan yang lain pun
berlari dan langsung memakan masakan Wawan,
“Wahh rasanya enak sekali” puji Gio.
“Ini kamu yang masak Wan?” tanya Gio lagi tidak percaya.
“Ya akulah yang masak, emang siapa lagi?” balas Wawan sambil
tertawa.
“Waaah waaah kamu cocok jadi koki nihh.. Enak sekali makanan
kamu ini, di lidah terasa banget bumbunya. Besok mungkin boleh lagi nih hahaha”
Gio memuji Wawan.
Selesai makan Gio memutuskan untuk mandi di pantai bersama
Hendra dan teman-teman. Kali ini Gio mengerjai Hendra, Gio bilang Gio akan
berenang dan menyuruh Hendra untuk loncat duluan ketika Hendra locat ke dalam
air, Gio lari dan tidak jadi berenang. Karena Hendra terlanjur basah, akhirnya
Gio ditarik juga oleh Hendra menuju air hingga basah semua pakaian Gio. Untung
Gio membawa baju ganti karena saat berangkat Gio memang berniat untuk berenang.
Gio melihat terumbu karang besar dan tinggi, Gio memanjatnya
dan mencoba untuk meloncat dari sana. Saat ingin meloncat, Gio mendengar
seseorang berteriak,
“Jangan meloncat! Di bawahnya
masih ada terumbu karang, kemungkinan kamu bakalan terkena terumbu karang nanti
kalau kamu loncat, jangan sekali-kali mencobanya!” seketika nyali Gio
down.
Sebenarnya
saat itu Gio sudah terlanjur sampai diatas, dan kemungkinan untuk Gio turun
lagi sangat sulit karena bebatuan yang sangat licin.
“Kalau aku berhasil mencapai atas sini, berarti aku bisa
turun lagi ke bawah,” pikir Gio optimis. Perlahan, satu persatu Gio menurunkan
kakinya, namun Gio tidak bisa melihat ke bawah. Ketika Gio mencoba melihat ke
bawah pun kemungkinan untuk terjatuh sangat besar. Dan sepertinya, jika jatuh,
bagian punggung dulu yang akan menyentuh karang. Lebih baik kaki tergores
karena karang-karang yang ada, daripada harus terjatuh.
Akhirnya Gio berhasil turun dengan selamat, walau kaki dan
tangan Gio tergores terumbu karang, tetapi Gio melanjutkan berenang karena
sudah jauh-jauh sampai kesini.
“Nikmatin saja luka yang ada, hati terluka saja masih bisa
dinikmati masa luka yang seperti ini tidak bisa hahaha,” ujar Gio.
Tak lama Gio memutuskan untuk berhenti berenang, namun
ternyata Hendra tidak membawa baju ganti. Setelah Gio selesai mengganti baju,
Gio menemukan sebuah celana boxer di toilet sebelah tempat, celana itu pun Gio
ambil dan Gio masukkan ke dalam tas. Gio
berbohong lagi kepada Hendra, daripada Hendra menggunakan celana jeans basah
lebih baik menggunakan celana yang Gio temukan, ini untuk kesehatan Hendra
juga. Gio menghampiri Hendra,
“Aku punya celana boxer dua nih, mungkin kamu bisa
menggunakanya.” tawar Gio, Hendra pun menerimanya. Hendra tidak sadar bahwa itu
adalah boxer yang Gio ambil dari toilet sebelah, teman-teman yang lain tertawa
terbahak-bahak sejak Hendra keluar toilet hingga masuk ke dalam mobil. Di dalam
mobil Reza yang membuka topik tentang celana itu.
“Kamu tau celana itu dari mana? Hahaha..” kata Vjay sambil
tertawa. Seketika semua orang di mobil teriak dan tertawa.
“Celana itu ditemukan Gio di samping toilet ketika kamu
sedang di dalam toilet,” Lanjutnya tanpa bisa lagi menahan tawanya.
Hendra terlihat terdiam sejenak dan berpikir, lalu menatap
ke Vjay, Gio dan Reza, sedetik kemudian, seperti peluru, Hendra mengeluarkan
kata-kata kotor pada Gio dan tertawa sangat keras.
“Tidak perlu sesuatu yang wah untuk merasa bahagia, bahagia
dapat diperoleh dengan cara sederhana bersama orang-orang spesial” pikir Gio.
Gio dan teman-teman sampai di kos saat sudah malam, kos
terasa sangat sepi pada malam itu. Gio ditinggal berdua dengan Reza ketika
tiba-tiba Gio mendengar suara tangisan seorang perempuan, sedangkan seingat Gio
di sebelah kosan yang Gio inap itu adalah kuburan. Seketika malam berubah menjadi
horor. Gio menoleh untuk melihat Reza, ternyata sudah tidur pulas. Gio pun
langsung menutup jendela kamar, menutup telinganya dan bergegas tidur. Gio
tidak ingin melihat apapun.
***
“Dan jika berkenan waktu keluarlah dari rahasia, akan kuambil
waktu lalu kugelar untuk duduk, aku dan kamu di atas rumput yang nakal”
“ARGUMENTASI HATI”
***
9 Februari 2016
Saat Gio bangun pagi, Gio tidak melihat Reza dimanapun.
“Kemana dia pergi?” pikir Gio.
Ketika Gio membuka pintu kos, Gio heran karena banyak sekali
orang di sekitar kos Reza. Gio bingung dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya
terjadi. Ternyata orang di kamar sebelah Gio melarikan istri orang dan banyak
keluarga dari suami sah si perempuan yang datang dengan wajah marah dan kesal.
Orang tua Reza juga ada disana. Tampaknya masalahnya cukup serius. Gio sedikit
panik karena tidak tau apa-apa, untungnya tak lama Hendra datang dan langsung
memberitahu kedua orang tua Reza, membuat Gio merasa lebih lega. Hendra datang
dengan sok berani, setelah itu Hendra sendiri geleng-geleng kepala melihat
kelakukan laki-laki di kamar sebelah.
Hari ini Gio memutuskan untuk berkeliling dan mengunjungi
tugu perdamaian yaitu tugu Nosarara-Nosabatutu. Di perjalanan, Gio
diperlihatkan rumah-rumah adat Palu, sekolah olahraga, bahkan ditunjukkan
kampus Tadulako. Sampai disana, Gio dan Reza memarkirkan motor dan menikmati
senja sambil melihat indahnya pemandangan danau Palu,
“Sambil cuci mata,” kata Reza, tapi disini malah Gio
teringat seseorang yang selalu terlintas selama perjalanannya yaitu Nayla.
“Kau yang mengajarkanku
tersenyum, kau yang mengajarkanku untuk tidak menjadi orang yang apatis, aku
teringat salah satu momen dimana kamu sedang mengajarkanku tersenyum,” kenang
Gio.
Ketika itu ....
“Coba kamu itu belajar tersenyum bee,” kata Nayla.
“Enggak bisa senyum loh akunya,” jawab Gio.
“Ndeee-ndeee bisa do bee tuh senyum.” Nayla berkata.
“Yaa bee coba yah.” ujar Gio
“Tapi liatin
giginya yah bee biar senyumnya itu enak di liat.” ujar
Nayla sambil tersenyum
“Seperti ini kan Nay?” Gio memamerkan senyumnya
“(Tersenyum dan melihatku) Nah itu bee bisa senyum. Gitu
dong” Gio dan Nayla pun saling lempar tawa renyah dan senyum-senyum cinta.
Percakapan sehari-hari seperti ini ini menjadi salah satu
momen yang selalu Gio ingat.
Kembali di tugu Nosarara-Nosabatutu ini, Gio teringat tentang
Nayla. Saat teman-teman yang lain sibuk berfoto, Gio memilih untuk menyendiri
sambil mendengarkan sebuah lagu dari Fiersa Besari. Gio menangis, namun
tiba-tiba seorang ibu-ibu menghampiri Gio dan berkata,
“Kamu kenapa?” tanya Ibu itu.
“Aku mencintai seseorang Bu dan aku sangat menyayanginya
tapi kenapa dia harus mengakhiri hubungan, aku sungguh masih mencintainya aku
masih ingin bersamanya.” Gio menangis lirih.
“Sudah kamu harus lebih ikhlas,” Ibu itu memeluk Gio sambil
tersenyum lalu pergi. Saat Gio menoleh, tiba-tiba ibu itu sudah hilang. Gio
bingung kok tidak terlihat oleh pandangannya kemana ibu itu pergi. Namun Gio
mencoba berpikir positif,
“Mungkin ibu itu sudah masuk ke mobil dan langsung pergi”
pikir Gio. Kemudian Gio kembali termenung dan melihat ke arah danau dengan mata
penuh genangan air mata. Gio selalu ingat tentang Nayla dari kata-kata yang
sering Nayla ucap dari pertama mereka saling menyapa, dari pertama Gio merasa
jatuh cinta kepada Nayla, lalu Gio tersadar.
“Sudah cukup sampai di sini Gio memikirkan Nayla” ujar Gio.
Akhirnya Gio memilih
untuk pulang dan menikmati malam di kota. Malam itu Gio pun hanya sekedar
berkeliling. Sampai di tempat Hendra, Gio langsung berbaring dan terdiam karena
Gio butuh istirahat dan tenaga Gio habis setelah berjalan seharian.
“Jangan kau lukai seseorang mengatas namakan cinta”
“MELIHATMU DARI
KEJAUHAN”
***
10 Februari 2016
Hari ini Gio berkeliling kota Palu, mengunjungi sebuah
warung sop, dan mencoba makanan yang namanya kaledo. Kaledo, sop yang terbuat
dari daging sapi dan ukurannya sangat besar, Gio sedikit kaget melihat harga
satu porsinya cukup untuk membeli tiga bungkus rokok. Gio hanya bisa tertawa
dan menunduk.
Puas makan, kampus Tadulako lah tujuan Gio selanjutnya.
Namun, Hendra dan Vjay tidak mengikuti, entah kenapa mereka tidak ikut mungkin
mereka punya kesibukan yang harus mereka selesaikan. Berkeliling di dalam kampus,
melihat besarnya kampus, sebenarnya Gio juga bingung apa yang akan dilakukan
saat itu, Gio hanya berkeliling menikmati suasana. Sampai akhirnya Gio
dan teman-teman berhenti di warung sop buah di tepi jalan. Gio menikmati sop
buah sambil mendengarkan lagu dan alunan suara motor yang lalu lalang,
panas-panas begini sop buah memang sangat nikmat.
“Gi, bagaimana sop buahnya, enak?” Reza bertanya
“Sangat enak, apalagi jika dinikmati di siang hari dan sore
hari mungkin akan membuat hati sedikit tenang” ujar Gio
“Nanti kalau kamu ke Palu lagi, jangan lupa untuk mampir ke
sop buah ini lagi yah,” kata Reza.
“Jika aku ke Palu lagi yang jelas aku akan
menghubungimu” jawab Gio.
Hari sudah mulai sore, akhirnya Gio memutuskan untuk pergi
dan mengantar teman-teman yang lain pulang, karena besok pagi Gio harus
berangkat menuju Tanjung Karang. Gio ingin sekali berenang dan snorkeling dan
melihat dunia bawah laut Sulawesi.
Malam tiba, Gio kembali mencari tempat nongkrong bersama
Vjay, Hendra, dan Reza. Kali ini Gio membicarakan usaha dan masa depan. Sedikit
lucu mendengarnya, namun tetap harus di bicarakan. Gio sedang sangat hancur
karena seseorang dan Gio merasa bukan apa-apa tanpanya saat ini. Terkadang, Gio
merasa alangkah lebih baik jika Gio dan Nayla kembali seperti dulu. Mengapa
setiap sepi menghampiri yang kuingat hanya Nayla? Gio seketika hening, tidak
ada yang berbicara, Gio mendengar angin membawa nama Nayla ke sela-sela
telinganya, membuat Gio memeluk lututnya.
“Tidak
mungkin Nayla akan mencariku, memandangku apalagi kembali kepelukanku, ini
semua pasti hanya halusinasiku. Kesalahanku di masa lalu yang tidak bisa
memprioritaskan seorang perempuan, tidak bisa dimaafkan,” ujar Gio dalam hati.
Malam semakin larut, Gio kembali ke rumah dan masuk kekamar,
mengambil buku catatan Perjalanan Hati dan menulis, “Aku masih belum bisa
melupakanmu dan aku masih sayang padamu. Selama ini aku menahan ini semua
bahkan hingga sekarang. Namun, kini aku tau kau telah bahagia, semoga kau
selalu bisa merasa bahagia dan tersenyum bersama orang yang kamu sayang.” - Gio
***
“Rahasia ini membuatku semakin terjatuh, saat aku menatapmu
seakan-akan tak ada cinta bagiku”
“SEIRING WAKTU YANG BERLALU”
***
11 Februari 2016
Pagi ini Gio akan menuju ke Tanjung Karang, Gio kedatangan
tamu dan tamu itu juga teman Gio di Yogyakarta yang bernama Rora. Dia juga
datang untuk menikmati Kota Palu, namun sayangnya besok Gio sudah harus pulang
ke Surabaya dan melanjutkan perjalanannya kembali. Sebenarnya Gio sudah berniat
lanjut ke Ternate, namun di tengah perjalanan ini tiba-tia ibu Gio menelpon dan
berkata,
“Nak, sekarang kamu dimana? Ibu kangen, pulanglah, kalau
masih mau jalan-jalan lagi Ibu patahkan kakimu nanti hahahaha,” katanya sambil
tertawa.
“Kamu berkeliling mesti karena seseorang kan?” lanjut Ibu
Gio.
“Salah satu
alasannya bisa dibilang seperti itu Bu, tapi daripada aku harus melampiaskannya
ke hal-hal negatif seperti obat-obatan dan lainnya, lebih baik kan aku
berkeliling saja untuk menenangkan hati, “ Gio menjawab
“Ya sudah, sekarang saatnya kamu pulang Nak, hentikan dulu
perjalananmu untuk ke Ternate karena Ibumu kangen Kamu,” kata ibu dengan suara
sedih.
“Hmmmmm ya sudah, Gio batal menuju ternate dan langsung menuju
ke Surabaya saja” ujar Gio sambil menghela nafas.
Akhirnya Gio memutuskan kembali ke Surabaya dan mencari
tiket pesawat termurah untuk tanggal 12 Februari. Gio sedang menunggu
kedatangan Rora, lalu langsung menuju Tanjung Karang dan menikmati snorkeling
disana. Gio kira harga untuk snorkeling disini akan sangat mahal, ternyata
harganya cukup terjangkau.
Gio menyewa kapal dan alat renang, kemudian Gio snorkeling
menikmati terumbu karang yang indah dan pasir putih pantai Tanjung Karang. Tak
lama, Gio kembali ke atas kapal, lagi dan lagi Gio mengingat perjalanan yang
pernah Gio buat bersama Nayla ketika ke Dieng bersama, namun itu semua sudah
menjadi kanangan.
Gio kembali melelapkan kepalanya ke dalam air, berharap
dengan ajaibnya mungkin bisa melupakan Nayla. Gio menyelam lebih dalam dan
dalam, melupakan kenangan tentang Nayla, namun saat mencapai setengah kedalaman
air, napas Gio habis. Sadar bahwa ini berbahaya, Gio langsung naik kembali ke
permukaan.
Setelah cukup lama menikmati alam bawah air Tanjung Karang,
Gio naik ke kapal dan kembali ke daratan. Sampai di daratan, Gio mengganti baju
dan kembali ke mobil, kemudian melanjutkan perjalanan. Gio berhenti sejenak di
warung makan ikan bakar yang terkenal di Donggala. Gio dan teman-teman makan
ikan bakar sembari melihat keceriaan anak-anak kecil yang sedang memancing ikan
di tepi danau. Mereka memancing dengan alat sederhana, tidak menggunakan alat
mancing semestinya, hanya menggunakan seuntai tali dan menariknya dengan tangan
kosong.
Gio melihat mereka tertawa bahagia tanpa beban, Gio ikut
tersenyum melihatnya. Tiba-tiba salah satu anak mendekati Gio dan menunjukan
hasil tangkapannya, Gio terkejut melihat anak itu berhasil medapatkan ikan yang
lumayan banyak, walau Gio tidak tau itu ikan apa. Sebenarnya Gio sedikit
khawatir melihatnya menggunakan tali untuk memancing, karena sangat beresiko
untuk tangan anak kecil, jika dia tidak hati-hati bisa saja tangannya tergores
dan terluka. Namun melihat anak kecil itu dengan bangganya menunjukan hasil
tangkapannya membuat Gio ikut bahagia.
Selesai makan, Gio dan teman-teman melanjutkan perjalanan untuk kembali pulang,
namun malamnya Gio merasa membutuhkan kopi sehingga mengajak teman yang lain
untuk ngopi,
“Ayo kita ngopi Hen,”
ajak Gio juga pada Vjay dan Reza.
“Emang mau ngopi dimana Gi?” kata Hendra sambil membersihkan
rumah.
“Di tempat terdekat
saja karena besok aku sudah pulang, nanti kalian kangen aku loh.” ujar Gio
bercanda.
“Yaaa sudah ayo kita ngopi malam ini,”
kata Hendra akhirnya
Gio dan teman-teman ngopi di salah satu kedai kopi di Palu.
Awalnya hanya Gio dan Hendra saja yang kesini, Vjay dan Reza tidak segera ikut
karena ada urusan. Namun tak lama beberapa teman Gio menyusul, termasuk Rora.
Malam ini Gio dan temanteman banyak sekali berbincang. Ketika Rora curhat pada
Gio, Gio menanggapi seadanya saja.
Di tengah ceritanya, tiba-tiba Rora menangis, Gio sedikit
merasa bersalah, apa mungkin Rora menangis karena perkataan Gio yang terdengar
nyelekit atau Rora sedang memikirkan apa yang sedang Gio pikirkan, Gio tak tau.
Akhirnya Gio menanggapi Rora dengan serius. Kembali mereka berbincang hangat
dan Rora bertanya,
“Emang Bang Gio sudah bisa move on sama yang namanya Nayla?”
Rora bertanya.
“Aku belum bisa melupakannya, bahkan hingga sekarang.
Mungkin bukan move on yang lebih tepat, namun merelakannya lah yang lebih
cocok. Mungkin aku sedang dalam proses belajar untuk merelakan, mengiklaskan,
dan meridhoi. Aku masih ada ditahap mengiklaskan dan setiap detiknya aku selalu
mencoba untuk melanjutkan ke tahap berikutnya agar bisa meridhoi dia, dengan
orang lain,” jawab Gio serius dan dalam. Malam ini Gio lewatkan dengan tertawa
dan berbagi cerita dengan teman-temannya.
“Cukup sudah
sedih-sedihnya, besok kan aku pulang. Ada baiknya kita tertawa dulu yah
hahahha, ujar Gio memberi pembenaran.
Malam sudah semakin larut. Saat waktu sudah menunjukkan
pukul 02.00 pagi, Gio memutuskan untuk pulang karena besok jam 10.00 pagi Gio sudah harus berangkat lagi menuju
surabaya. Gio pulang menuju rumah Hendra. Untungnya sebelum itu Gio sudah
packing, tetapi ada beberapa barang yang ingin Gio jadikan sebagai cinderamata
untuk sahabat dan saudara barunya di Kota Palu ini. Gio memberikan jaket yang
selalu menemani perjalanannya pada Hendra, tapi untuk jaket jeans belel yang
selalu Gio pakai, Gio tidak bisa memberikannya. Jaket itu merupakan jaket penuh
makna karena dulu sering digunakan oleh Nayla.
Gio kembali terbaring lunglai waktu itu, tidak bisa tidur
karena banyak pikiran. Gio memutuskan untuk mengikuti jejak Hendra dengan
menelan obat tidur agar bisa terlelap tanpa mengingat nestapa dunia.
***
“Andai
saja aku mampu untuk melupakanmu tanpa mengingat setitikpun tentang wajahmu”
“SUNGGUH KU TERLUKA KARENA
TERUS MENGINGATMU”
***
12 Februari 2016
Pagi tiba. Saatnya bangun dan bergegas mandi. Hari ini Gio
berangkat ke bandara. Jam sembilan pagi Gio pamitan dengan orang tua Reza dan
orang tua Hendra, serta semua teman-teman Gio yang ada di Palu. Perpisahan
seperti ini selalu terasa sulit bagi Gio, ingin rasanya tinggal lebih lama
disini.
“Aku pamit pulang dan terima kasih semuanya,” pamit Gio.
Sampai di bandara Gio pamit pada Reza, Hendra dan Vjay,
suatu saat Gio pasti bertemu lagi dengan mereka. Hendra memeluk Gio sama
seperti teman Gio yang di Banjarmasin dulu, terlihat raut wajah sedihnya dan
Gio pun ikut sedih. Hanya ingin menangis, namun untungnya tidak terlihat oleh
mereka, Gio ingin terlihat tetap tegar dan percaya suatu saat nanti mereka akan
bertemu kembali dalam posisi yang lebih baik.
“Ingat selalu impian kalian jangan lupa di gapai, walau
sebentar kita bertemu, kalian sudah seperti saudaraku sendiri, terima kasih
sudah selalu membantuku selama ini, sudah memberi tumpangan untuk tidur,
memberi kendaraan untuk jalan-jalan, bahkan ditraktir makan. Mungkin saat ini
aku tidak bisa memberikan apa-apa untuk kalian tapi suatu saat nanti aku akan
memberikan sesuatu hal yang spesial untuk kalian semua. Tunggu waktu mainya
saja!” tekad Gio. “Aku pamit dan sekali lagi terima kasih!” kata-kata terakhir
Gio.
Lagu Amnesia dari 5SOS selalu menemani perjalanan Gio, Gio
ingat Nayla suka dengan lagu itu. Pukul12.00 Gio sampai di Surabaya. Gio hanya
transit saja karena pagi besok kereta Gio harus berangkat menuju Bandung. Di
bandara Gio kembali di jemput oleh Biasobae, yang pada awal keberangkatan lalu,
dia juga yang mengantar Gio. Dia orang yang sangat baik, Gio sangat berterima
kasih kepadanya. Biasobae selalu menemani selama Gio di Surabaya.
Gio meletakan barang di kosnya lalu mereka keliling Surabaya
sembari Gio memberikan cinderamata padanya. Gio dan Biasobae berkeliling tak
tentu arah malam itu, di kota yang bisa Gio bilang kota metropolitan kedua
setelah Jakarta. Akhirnya mereka di sebuah angkringan untuk bertemu kembali
dengan Raffan. Disana Gio dan teman-teman mengobrol dan Raffan bertanya,
“Selanjutnya ini kau akan kemana?” ujar
Raffan.
“Aku akan langsung menuju ke Bandung, besok pagi keretaku
berangkat jam 07.00 pagi” jawab Gio.
Tak ada kata lain yang bisa Gio ucapkan kepada teman disini
selain terima kasih. Mereka selalu menemani langkah-langkah Gio dan selalu
mendukung apapun yang Gio lakukan. Setelah dari angkirngan Gio dan Biasobae
memutuskan untuk kembali berkeliling menikmati kota. Gio jadi teringat ketika
siang tadi makan di warteg, seorang Ibu bertanya,
“Masnya tinggal jauh dari Ibu yah?”
“Iya bu, kenapa Bu?” Gio sambil menggaruk kepala.
“Terus jaga orang-orang yang kamu sayang terutama perempuan
seperti Ibumu, juga calon istrimu kelak,” kata ibu itu.
Gio cuma terdiam dan
mulai berpikir, teringat Nayla lagi.
“Aku tuh selalu ingin
menjagamu, Aku selalu ingin memberikan apa yang kamu butuhkan dan aku
ingin selalu ada untukmu, mengutamakanmu, seperti Ibuku, namun Aku telah
terlambat, sudah tidak ada kesempatan bagiku melakukannya. Dulu, Aku hanya
seorang pecundang yang tidak mengerti arti sebuah perhatiaan, prioritas dan
kasih sayang, sekarang aku perlahan mengerti itu semua” ujar Gio dalam
hati.
Malam sudah semakin larut, Gio lebih memilih untuk tidak
pulang karena takut ketiduran, lebih baik tidur di kereta saja nanti sembari
menunggu sampai di Bandung. Barang-barang Gio yang tidak banyak juga sudah
dibawa. Jadi sekalian saja.
***
“Mungkin semesta buta akan aksara tapi hati tak pernah buta untuk
melihat mimpi yang ada”
“SESOSOK
KECIL YANG MENGERIKAN
YAITU HATI”
***
13 Februari 2016
Pagi bersinar cerah dan Gio sudah berdiri gagah di depan
stasiun menunggu kereta untuk berangkat menuju ke Bandung. Kereta yang Gio
tunggu pun tiba, kemudian Gio masuk dan mencari tempat duduk. Di dalam kereta
Gio bertemu seseorang nenek yang bercerita panjang lebar mengenai arti seorang
perempuan, nenek itu selalu berkata,
“Dulu saya memiliki suami Nak, Dia selalu menjaga saya,
sewaktu perang dulu dia harus gugur dalam medan perang. Jujur Sak saya sangat
terpukul namun saya sadar bahwa saya harus bangkit dan harus bisa berjalan
lurus walau tidak ada Dia disisi saya” ujar Nenek itu.
Gio hanya
bisa terdiam, rasanya Gio ingin memeluk nenek itu dan menceritakan apa yang Gio
rasakan saat ini. Perbincangan Gio semakin hangat saat itu, namun Gio meminta
izin untuk tidur karena Gio harus sampai Bandung dengan kondisi badan yang
fit.
Ketika Gio bangun dan hujan pun mengguyur deras sekali, Gio
melihat keluar jendela, menyenderkan kepalanya pada kaca jendela kereta, tak
sengaja Gio mendengarkan lagu yang isinya sama seperti yang Gio alami.
“Lagi dan lagi, teringat oleh luka yang kau goreskan dalam
di hatiku, luka yang tak kunjung sembuh” kenang Gio.
Sepertinya nenek tadi mengetahui isi hati Gio dan berusaha
mengalihkan pikiran Gio dengan menawarkan Gio makanan. Tak lama kemudian nenek
itu turun di Stasiun Klaten. Dia sempat mengucapkan,
“Semoga kita bisa bertemu lagi nak.” Ujarnya saat beranjak
dari kursi kereta.
Namun itu benar terjadi, berselang berberapa bulan Gio
benarbenar ketemu nenek tersebut saat perjalanan Gio menuju Bogor, Gio dan
nenek tidak melupakan satu sama lain, dan nenek itu berkata,
“Nak, apakah kamu masih ingat nenek?” tanya nenek itu.
“Aku tidak mungkin melupakan
nenek karena apa yang dulu pernah nenek ceritakan itu adalah sebuah pelajaran
bagi hidupku”.
Jawab Gio sambil mencium tangan nenek tersebut.
Kembali ke saat Gio di kereta, setelah nenek tadi turun dan
digantikan oleh seorang bapak-bapak paruh baya berkata,
“Darimana Nak kok bawa carrier? Abis naik gunung?”
“Mau ke Bandung Pak” jawab Gio singkat.
“Wah.... sama, bapak juga berhenti di Bandung. Di Bandung
sama siapa Nak?” tanya bapak lagi,
”Saya di jemput teman saya Pak” jawab Gio padanya.
“Oalah.... iya ini, perjalanan ini masih sangat lama, posisi
kita masih di Jogja, kemungkinan kita sampai di Bandung jam 10 malam” jelas bapak
pada Gio.
Gio sempat berjalan-jalan di dalam kereta dan duduk di
sebuah bangku yang kosong, ketika Gio mencoba untuk kembali ke tempat duduk,
datang seorang perempuan dan duduk di sebelah Gio. Badannya penuh dengan tatto,
dia berbincang kepada gio panjang lebar. Betapa terkejutnya Gio ketika dia
jujur bahwa dia adalah penyuka sesama jenis. Tak ada keraguan dalam raut
wajahnya ketika ia bercerita kepada Gio. Di dalam pembicaraan ada hal yang
membuat Gio terkejut sekali, saat dia berkata,
“Aku ingin berhenti menjadi penyuka sesama jenis tapi dengan
satu syarat kamu menjadi pacarku.” Tegasnya.
Gio terdiam
dan tak tahu harus menjawab apa. Kemudian dia meminta kontak Gio dan dengan
perasaan bingung Gio memberikan kontak. Gio berpikir positif. Gio hanya ingin
membuat dia mengerti alangkah lebih baik jika dia mencintai seseorang lakilaki
dibandingkan dia harus mencintai sesama perempuan. Percakapan Gio dan perempuan
itu cukup panjang dan membuat Gio sedikit mengantuk, Gio putuskan untuk
memejamkan matanya dan beristirahat sejenak.
Pada saat Gio terbangun
sampailah di stasiun Kiaracondong Bandung. Gio bergegas turun dan
menemui temannya yang sejak tadi sudah menunggu Gio, namanya Uget. Seketika Gio
melihat perempuan itu masih menunggu keretanya lagi karena dia harus berangkat
ke Bekasi. Akhirnya Gio memutuskan untuk ikut menunggu hingga kereta perempuan
itu datang. Tak ada apa-apa pada hari itu, Gio hanya ingin beristirahat cukup
untuk dapat beraktivitas dengan semangat besok.
***
“Setiap langkah adalah ribuan kenangan, saat air Tuhan turun
dan menyapaku di sudut sana, aku hanya bisa terdiam dan memeluk lututku”
“BERSAMA MASA ITU”
***
14 Februari 2016
“Bandung…. Ooohh Bandung lautan api sekarang aku disini” ujar
Gio ketika bangun pagi. Sendirian tentunya. Pagi ini Gio hanya menghabiskan
waktu di kos Uget karena badan Gio masih kurang fit untuk melakukan kegiatan.
Tapi malamnya Gio dan Uget berkeliling di Braga menikmati Bandung di malam
hari.
Gio dan Uget berhenti dan nongkrong di sebuah caffee
hangover di Bandung, Mereka bercerita dan bertemu teman-teman lama. Di tengah
perbincangan itu ada seseorang bernama teman lama bernama Tino yang menganggap
Gio bukan apa-apa dan hanya seperti pecundang, Gio pun jengkel dan amarah Gio
sedikit terpancing. Gio pun mematahkan kata-katanya dan Tino langsung berhenti
mencemooh Gio dengan sesuka hatinya.
Gio memiliki jalan yang berbeda, tak bisa disamakan. Tino
memilih jalan berbisnis dan meneruskan karir, sementara Gio memilih melanjutkan
pendidikan. Mungkin menurut Tino pendidikan itu tidak penting, namun berbeda
dengan Gio, Gio ingin memiliki pendidikan yang baik dan harus disejajarkan
dengan pergaulan yang meluas.
“Setiap orang berhak untuk menjadi sukses dengan caranya sendiri
tanpa harus menjadi orang lain” ujar Gio. Tapi dia tetap bersikeras dengan
egonya.
“Kamu itu bisa apa mau lanjut kuliah? Tak mungkin kamu bisa,”
kata Tino.
Gio pun membalasnya dengan kata-kata, mencoba memberinya
pengertian bahwa semua orang memiliki prinsip hidupnya sendiri dan kita harus
menghormatinya. Bukannya Gio tidak berani untuk berkelahi, menurut Gio orang
yang hebat itu adalah orang yang bisa membuat orang jatuh dengan akal bukan
dengan kekuatan ataupun pukulan. Namun dia merasa bahwa kekuatan dan pukulanlah
yang bisa karena sempat terucap kata,
“Ayo brantem aja” ujar Tino marah.
Gio sudah mencoba untuk tidak menggubris apa yang dia
katakan dengan berbicara kepada temen yang lain. Tapi akhirnya Gio memilih
untuk keluar dari sana dan melanjutkan berjalan kaki di Braga bersama Uget. Gio
datang kesini untuk mencari ketenangan bukan mencari musuh. Gampang saja untuk
menyari musuh, namun untuk mendapatkan teman butuh waktu yang lama.
“Lebih baik
aku keluar dari lingkaran orang-orang itu,” kata Gio pada Uget.
Kemudian Gio dan Uget menuju ke tempat kesukaan Uget, yaitu
suatu cafe yang penuh dengan musik-musik tahun 70an. Gio dan Uget duduk berdua
menceritakan semua keluh kesah masingmasing terhadap dunia, perbincangan
seperti inilah yang Gio inginkan, bukan seperti yang tadi. Mereka hanya bicara
omong kosong, isinya hanya gosip seakan-akan mereka sudah sempurna.
Sementara itu Gio terpaku oleh suasana malam ini, di sini
Gio berharap hanya ada Nayla dan Gio.
“Namun apakah itu mungkin? Kenapa selalu saja aku
memikirkanmu padahal aku sudah melakukan perjalanan yang cukup panjang. Walau
telah kulalui perjalanan panjang ke beberapa kota di Indonesia, terlalu
banyaknya kenangan yang kita lalui dan haruskah aku terus melangkah jauh dari
semua kenangan itu? Aku sadar bahwa kenangan itulah yang membuatku tetap hidup.
Meyakinkan diri bahwa aku masih memiliki hati dan untuk bisa lebih percaya pada
hatiku sendiri, takkan mungkin aku mengingkari hatiku sendiri” benak Gio.
Selesai Gio dan Uget dari cafe itu, mereka memilih pulang
karena besok mungkin Gio akan bertemu dengan seseorang yang belum pernah Gio
temui sama sekali. Gio harus istirahat karena hari-hari Gio di Bandung masih
panjang.
***
“Apakah kau mengerti apa yang aku
rasa, mencintai tanpa balas, menunggu tanpa kau tunggu, memilikimu tanpa
kumiliki”
“KEJANGGALAN HATI”
***
15 Februari 2016
Gio baru ingat malam ini Gio memiliki janji dengan seorang
perempuan yang berasal dari Jakarta. Gio belum pernah bertemu dengannya, selama
ini Gio hanya kenal lewat media sosial. Gio duduk sendirian di salah satu kursi
di caffe classic rock Braga sambil membaca buku Mein Kamf, menikmati rokok dan
sebotol beer. Gio sedang membaca buku dengan fokusnya tanpa menghiraukan
orang-orang di sekitar ketika tiba-tiba seorang perempuan datang dan bertanya,
“Kamu Gio?”
“Ya, benar aku orangnya dan kamu Veny?” tanya Gio
Gio
mempersilahkan Veny duduk kemudian saling berkenalan, dan bercerita satu sama
lain. Gio menceritakan perjalanannya kemarin dan Veny juga menceritakan
pendakian gunung yang dia lalui. Gio dan Veny saling bercerita, banyak sekali
yang dibicarakan malam itu seakan Gio dan Veny sudah lama mengenal satu sama
lain.
Tanpa ada sedikitpun batas untuk bercerita dan Gio merasa
nyaman sekali bercerita kepada Veny. Namun apa daya, hati Gio sudah membusuk
dan membiru karena seseorang,
“Andai saja dia tau, tapi dia tidak akan pernah tau karena
aku belum berani untuk mengungkapkannya “Gio terdiam, Veny bertanya,
“Mana pacarmu yang kemaren?” ujar Veny kepo. Gio hanya
terdiam dan tak bisa berkata.
“Bukannya kemaren kamu baik-baik saja?” tanya Veny lagi
bersemangat mencari tau.
“Menurutmu sih baik-baik saja, namun kisahku dengannya sudah
berakhir dan jujur sebenernya aku belum move on dari dia,” kata Gio sejujurnya.
Pukul 22.00 malam akhirnya Gio dan Veny memutuskan untuk
keluar dan mencari udara segar, di dalam cafe terasa terlalu penuh asap rokok.
Gio dan Veny berjalan di tepi Braga sambil bercanda, tertawa dan berbagi kisah
traveling di sana. Melihat keramaian Braga jujur saja membuat Gio merasa tidak
tenang hati, orangorang melihat mereka berdua berjalan seakan ada yang salah
dengan mereka berdua. Aneh, walau Gio tidak mengerti apa yang ada di dalam
pikiran orang-orang ini. Rasanya seperti melihat orang asing yang tak patut
untuk hidup. Kesal, marah dan tak enak hati namun Gio harus bisa terbiasa
disini.
Saat malam sudah semakin larut, Veny sudah harus kembali ke
kos temannya. Saat Gio sedang sendiri, sempat terlintas di pikiran Gio, “Kenapa
dia rela jauh-jauh dari Jakarta ke Bandung cuma untuk bertemu denganku?” Tapi
tetap tidak bisa dipungkiri saat itu hati Gio belum bisa berpaling dari Nayla
yang selalu hadir dalam pikiran Gio setiap hari, setiap detik dan setiap aliran
darah Gio.
Setelah sampai di kos Uget, Gio berbicara pada Uget,
“Kok dia mau menyusulku ke Bandung yah?” ujar Gio.
“Mungkin dia ada rasa penasaraan padamu yang tidak dia
temukan di orang-orang lain, hingga membuat dia berani dari Jakarta ke Bandung
dan meninggalkan pekerjaannya di Jakarta,” ujar Uget bersemangat.
Gio diam dan berpikir keras
mengenai apa dan mengapa, serta apa yang harus Gio lakukan, namun mata Gio
memaksa untuk terlelap.
Gio pandangi langit-langit kamar kos Uget.
“Malam ini seakan tergambar wajahmu disana, mataku menolak
melihatmu, namun hati tak bisa berbohong, malam ini aku kembali terjatuh dan
terjatuh” ujar Gio sambil memikirkan Veny yang baru dia temui.
***
“Tak ada lagi yang bisa kulakukan kecuali berteriak, dan pada
saat itu tiba, kau takkan lagi mendengar teriakan dan perlahan aku akan menjauh
seperti apa yang engkau mau”
“PANAH MERAH JAMBU”
***
16 Februari 2016
Siang hari, Gio kembali berkeliling di Braga, kali ini
sendirian. Veny sempat bertanya kepada Gio lewat pesan singkat.
“Malam ini kamu kemana Gi?”
“Mungkin aku hanya akan keliling di Braga saja,” jawab Gio.
Malamnya Gio masih jalan-jalan bersama Uget dan bertemu
teman lama Gio bernama Karisma. Gio dan Uget sedang berbincangbincang hangat
menceritakan tentang nestapa dunia, handphone Gio berbunyi menunjukkan adanya
pesan masuk. Setelah Gio buka, ternyata itu dari Veny. Veny berkata,
“Kamu di kafe
ini yah, aku samperin kamu,” ujar Veny. Di satu sisi
Gio tidak bisa menolak, jadi dengan santainya Gio
menjawab,
“Sini saja.”
Padahal waktu itu Gio sedang membicarakan mantan yang sangat
Gio cintai dan tentang perjalanan. Tak lama, Veny datang menghampiri Gio.
Spontan Karisma berkata,
“Ini orangnya?” ujarnya sambil menoleh ke Veny.
Karena karisma tidak pernah bertemu langsung dengan Nayla,
Karisma asal bicara saja. Melihat perubahan rona wajah Veny, Gio Gio semakin
menduga-duga apa yang ada dibenaknya. Penasaran Gio semakin bertambah.
“Dia ini sebenarnya kenapa dan ada apa dengan dia,” pikir
Gio.
Veny diam saja waktu itu, Gio dan teman-teman pun keluar
dari kafe itu dan berjalan bersama. Tanpa diduga Veny berkata,
“Tidak tau kenapa sejak melihatmu malam kemaren aku merasa
kamu itu berbeda dari yang lain,” kata Veny sambil menendang botol di tepi
jalan.
“Mungkin itu hanya menurutmu saja, Aku ini sama saja kok
seperti yang lain, mungkin akan lebih baik jika sekedar biasa aja jangan sampe
ada perasaan, Aku hanya tidak ingin melukai seseorang lagi,” kata Gio langsung
menjurus ke arah pembicaraan Veny.
Di balik itu, Gio menahan realita bahwa sebenernya Gio masih
mencintai seseorang yang sudah tidak mencintai Gio, Gio masih menunggunya,
padahal Gio tau, Nayla tak akan pernah kembali.
"Aku tau aku ini bodoh menunggu seseorang yang tidak
akan kembali, tapi aku pikir jika aku menunggu lebih lama, mungkin masih akan
ada kesempatan kedua untukku” ujar Gio dalam hati.
Tapi Gio
ingat Nayla pernah berkata, “Kalau aku yang mutusin, berarti masih ada
kemungkinan untuk kembali. Tapi kalau kamu yang mutusin tidak ada kata untuk
kembali,” kata Nayla dulu.
Faktanya sekarang Nayla yang memutuskan Gio. Barangkali
masih ada harapan untuk kembali?
Akhirnya Gio meminta kepada Veny,
“Kita coba saja perlahan dulu yah.” Ucap Gio sambil
memandang wajah perempuan tersebut. Gio dan Veny kembali mengelilingi Braga
malam itu, terlihat raut wajah sedih di wajah Veny cuma Gio tidak tau apa yang
harus Gio lakukan. Mungkin perkataan Gio tadi membuatnya sedih, atau karena Gio
salah bertindak? Gio tidak mengerti. Gio takut.
“Jika aku membuka hati ini dan tidak menjauh dari Nayla, aku
akan melukai Veny dan apabila aku semakin mendekatinya, dia akan semakin juga
sulit menerimanya,” ujar Gio dalam hati.
Malam itu Gio anggap tidak pernah terjadi apa-apa, Gio dan
Veny kembali tertawa dan berjalan seperti biasa. Gio dan Veny foto-foto dan
membuat momen baru dalam hubungan
pertemanan.
Tiba-tiba terlintas di kepala Gio. Gio berubah pikiran.
“Apa yang aku lakukan? Ada seseorang perempuan yang ingin
menjadi bagian hidupku tapi kau tidak menggubrisnya sama sekali.”
Namun hati kecil Gio berkata,
“Aku belum siap, aku belum melupakan seseorang”
Sekarang Gio harus bisa lebih dewasa.
“Nayla sudah bukan milikku
lagi. Nayla sudah menjadi milik orang lain. Aku harus bisa menerimanya dengan
lapang dada,” pikiran
Gio.
Sudah capek seharian berjalan-jalan, Gio memilih untuk
pulang kembali ke kosan Uget. Sampai di kos, Gio berbaring dan sejenak
berpikir. Gio merasa hatinya sedang dilema dan tak tentu arah.
“Mungkin aku ini laki-laki yang labil mengenai perasaan,”
ujar Gio. Gio terus berfikir keras, namun hatinya sudah mulai lelah berurusan
dengan cinta yang selalu membuat Gio terus terjatuh dan terjatuh. Gio
memutuskan untuk tidur, besok adalah hari terakhir Gio di Bandung.
***
“Bilur telah menungguku, derai-derai cemara menghempasku, dan
bayanganmu membuatku jatuh”
“SATU HATI,
SEJUTA SUARA”
***
17 Februari 2016
Tiket pesawat untuk berangkat dari Jakarta menuju Jambi
sudah Gio beli, jadi besok Gio akan berangkat ke Jambi pukul 13.00 siang. Gio
sengaja tidak memberi tahu orangtuanya bahwa semua tiket sudah terbeli. Yah,
Gio bisa bersantai sejenak di kota Bandung menikmati suasana kota dan makanan
khasnya.
Malam tiba, Veny mengajak Gio untuk bertemu kembali karena
besok Veny juga akan kembali ke Jakarta. Gio bertemu dengan Veny di cafe
hangover. Gio akhirnya menceritakan semuanya, Gio mencoba untuk jujur,
“Sebenarnya aku masih mencintai seseorang, dan sampai saat
ini belum ada yang bisa menggantikan dia dalam kehidupanku, aku masih menunggu
dia untuk kembali walau aku tau kemungkinannya sangat kecil atau bahkan tidak
ada. Aku memang bodoh menunggu orang yang notabene sudah membenciku bahkan
sangat membenciku, tapi aku tidak akan pernah berhenti untuk berharap, karena
bagiku setiap manusia hidup dengan sebuah harapan dan harapan itulah yang
membantu kita manghadapi sulitnya hidup dan membuatnya lebih bermakna” ujar serius.
Untungnya malam itu Veny bisa tersenyum saat Gio mencoba
untuk jujur dan kita tetap berteman seperti biasanya. Disini Gio dan Penoy
membuat janji,
“Ayo kita berjanji hari ini adalah hari dimana kau dan aku
terakhir menikmati beer” kata Veny, dan disepakati oleh Gio dengan sato toss.
Gio berharap kita bisa hidup lebih baik lagi dari sebelumnya.
“Kalau kamu tau, perjalanan panjangku ini adalah caraku
untuk mencari sebuah ketenangan dan belajar melupakan, namun aku sadar
perjalanan ini mengajarkanku tentang hidup, budaya, bahkan persahabatan. Tapi
perjalanan ini tidak mengajarkanku untuk melupakan seseorang yang sangat aku
cintai dan aku sayangi dengan setulus hati,” cerita Gio lagi mengajak Veny
melebur di dalam ceritanya. Malam itu Gio dan Penoy berpisah.
“Semoga bisa bertemu lagi di lain waktu dan bisa kembali
tertawa bahagia seperti ini. Terima kasih sudah mau menjadi teman yang baik
untukku,” ujar Gio.
Sedikit
lelah, Gio pulang ke kos Uget. Akhirnya satu masalah dapat Gio selesaikan
dengan baik-baik tanpa menimbulkan pertengkaran maupun kebencian sama sekali.
Kadang orang melihat bukan dari awal yang kita lakukan, tapi akhir dari apa
yang kita lakukan. Jadi ini membuat Gio merasa sedikit lebih tenang setelah
menyelesaikannya dengan baik.
“Cukup sudah sedih-sedihnya” kata Uget. Kembali Gio tertawa
dan bercanda dengan Uget. Besok Gio pulang jadi malam ini Gio lebih banyak
menghabiskan waktu bersama Uget.
Gio dan Uget keluar dari kos dan “ngemper” di sebuah jalan
yang ada pedagang kaki limanya, Gio dan Uget memesan kopi untuk menemani malam
ini dan karena perut Gio terasa lapar Gio memutuskan untuk memesan mie porsi
double.
Gio dan Uget bercerita panjang lebar, kembali melihat
keramaian Kota Bandung. Padahal Gio dan Uget keluar malam itu hanya menggunakan
boxer saja. Uget bercerita tentang politik, karena dia suka mengikuti politik
dan dan membaca sejarah. Dia sangat menentang adanya komunis entah kenapa, Gio
tak mengerti karena Gio tidak terlalu mengikuti politik, hanya sekedar tau
saja. Malam semakin larut, Gio dan Uget memutuskan kembali pulang. Sampai di
kamar, Gio berbicara kepada Uget bahwa besok pagi harus bangun dan jangan telat
bangun karena Gio takut ketinggalan pesawat.
***
“Sebuah pelajaran di sekolah tidak
mengajarkan tentang kehidupan, namun keadaan dan alamlah yang mengajarkan tentang
kehidupan itu secara menyeluruh”
“KEBAHAGIAN ADALAH MEMPUNYAI
SESEORANG YANG MEMILIKI
IMPIAN”
***
18 Februari 2016
Gio tak sabar hati untuk segera pulang ke Jambi dan bertemu
ibu. Gio siap untuk berangkat ke Jakarta pukul 09.00 pagi. Di perjalanan Gio
mengecek kembali jadwal keberangkatannya, disana terlihat bahwa ada perubahan
jadwal jam keberangkatan menuju Jambi menjadi pukul 11.00 pagi.
“Tidak mungkin aku bisa sampai di Jakarta secepat itu,” ujar
Gio pada Uget.
Gio harus merelakan tiketnya yang akan hangus itu dan
mencari penerbangan dengan waktu yang berbeda. Gio mencari tiket pesawat, namun
semua harga tiket melonjak tinggi, Gio bingung karena uang yang Gio punya
tinggal 350 ribu rupiah. Tidak cukup untuk membeli tiket di hari yang sama.
Gio mencoba menghubungi pihak maskapai dan bertanya mengenai
perubahan jadwal keberangkatan tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya. Gio
berharap ingin pihak maskapai bertanggung jawab dengan kejadian ini, mengingat
Gio sebagai klien merasa dirugikan. Untungnya, secara kooperatif pihak maskapai
bertanggungjawab dan mengganti tiket yang sudah hangus itu dengan keberangkatan
besok pagi. Masalah tiket sudah selesai, tinggal memikirkan dimana Gio harus
tidur untuk menunggu keberangkatan besok pagi.
Gio meceritakan semua kejadian yang Gio alami hari ini pada
tantenya Gio di Jakarta dan tante menyuruh Gio untuk tidur di rumahnya di
daerah Matraman. Sampai disana tante bercerita panjang lebar pada Gio mengenai
diskriminasi di dalam keluarga Gio. Gio hanya bisa terdiam mendengarnya, Gio
tidak menyangka itu bisa terjadi. Gio mengambil sisi positifnya saja,
bagaimanapun keluarga tetaplah keluarga, bukan orang lain. Berikan kasih sayang
dan saling menjaga dengan sepenuh hati.
Malamnya Gio bertemu dengan anak tante yang bernama Gigi.
Gio terakhir bertemu dengannya saat Gigi masih sangat kecil Sekarang Gigi sudah
menjadi orang yang gendut dan hebat. Gio dan Gigi bercanda tawa berlari-lari di
dalam rumah tante dan bermain petak umpet. Gio ingat rumah ini adalah saksi
pertumbuhan Gio sejak masih kecil hingga saat ini.
Malam semakin larut, saatnya Gio dan Gigi. Gio lebih memilih
untuk tidur di depan ruang tamu karena Gio masih ingin mengenang masa-masa
indahnya sewaktu masih tinggal disini dengan ibu. Dipeluk dan didekap olehnya
sembari diciumi pipi Gio. Saat itu Gio kangen sekali dengan Ibunya. Tapi
tinggal hitungan jam saja Gio akan bertemu Ibu. Gio sangat tak sabar menunggu
datangnya pagi, bahkan sampai berharap waktu bisa berputar lebih cepat.
Mata Gio masih tidak mau terpejam, Gio pun mencoba untuk
membuka media sosialnya dan untuk stalking tentang kisah Nayla. Gio melihat
kemesraan Nayla bersama salah satu teman Gio di kampus.
“Apa kau sudah jadian?” Gio bertanya-tanya.
“Semakin
sakit rasanya hati ini melihatmu bersamanya” batin Gio.
Tampaknya Nayla jadian dengan teman sekampus Gio.
Gio mencoba untuk bertahan disini. Namun rasa sakit, sedih
dan penyesalan Gio terasa memuncak. Malam itu, bukannya tidur, Gio malah
menangis dan melampiaskannya dengan memukul-mukul dinding hingga tangan Gio
terluka.
Tiba-tiba, sebuah pencerahan malam itu menyadarkan Gio. Apa
yang sudah Gio lakukan, Ini malah membuat Gio semakin terlihat bodoh. Gio pun
perlahan mulai tenang, Gio bersihkan sisa air matanya dan kembali mencoba untuk
tidur.
***
“Doaku pada dunia adalah semoga kau menikmati hari-harimu bersama
kebahagiaannya”
“MENAPAKI JEJAK LANGKAHKU”
***
19 Februari 2016
Kali ini Gio tidak
ingin ketinggalan pesawat, Gio bangun lebih awal dan pukul 05.00. pagi-pagi
sekali Gio sudah menuju Bandara Soekarno Hatta. Sampai disana Gio menunggu dan
menunggu. Menunggu benar-benar kegiatan yang sangat membosankan. Gio mulai
check in dan kali ini Gio tidak ingin memikul carrier jadi Gio masukan semua ke
dalam bagasi pesawat.
Di dalam
pesawat Gio sangat senang, tidak lama lagi akan bertemu
Ragil – adik Gio yang laing kecil, dan Ibu. Sabar sabar
sebentar lagi.
Sampai di bandara Sultan Thaha Jambi, Gio langsung mencari
taksi untuk pulang ke rumah dan saat itu Ibu masih tidak tau kalau Gio sudah di
Jambi. Ketika Gio membuka pintu, Ragil yang melihat Gio langsung berlari dan
memeluk Gio sangat erat. Kemudian Ragil berkata,
“Ndaaaa na?
( kakak Nayla mana?)” katanya dengan lidah patahpatah.
“Kak Nayla yah dek? Dia di Jogja dan enggak bisa kemari,
belum bisa ketemu sama adek, mungkin suatu saat nanti,” kata Gio lirih mencoba
memberi penjelasan pada adik kesayangannya itu.
“Eeeeeehhhhh,” jawab Ragil kecewa. Kelihatannya Ragil merasa
sangat sedih, terlihat dari mukanya yang langsung berubah.
“Maaf yah dek, abang tidak tau kapan kakak Nayla bisa
kesini, mungkin kakak Nayla takkan pernah kesini,” ujar Gio mengelus pipi
adiknya sambil merenungkan nasib hubungannya dengan Nayla.
Kemudian Gio berjalan ke dapur untuk menemui ibu. Ibu
terkejut melihat Gio sudah ada dihadapannya, Ibu pun teriak,
“Maaasss akhirnyaa, sudah kemana aja anak ibu yang ibu
sayang satu ini, akhirnya pulang juga.” Gio langsung mendekati ibu, memeluknya,
dan menangis.
“Kamu kenapa nak?” tanya ibu khawatir.
“Tidak apa-apa bu,” kata Gio sambil memeluk ibu dengan erat.
“Enggak mungkin, anak ibu yang satu ini kalau nangis pasti
ada apa-apa,” kata Ibu sambil menghelus kepala Gio.
“Ya Bu, terutama aku kangen sama Ibu dan satu lagi aku sedih
tidak bisa mempertahankan hubunganku Bu, dan aku masih belum bisa melupakannya.
Padahal, aku sudah keliling kesana-kemari untuk belajar melupakan Bu, tapi aku
masih belum mendapatkan cara untuk melupakan Bu.” Gio bersedu sedan di pelukan
Ibunya.
“Sudah Nak, dia kan juga sudah bahagia, kamu laki-laki harus
bisa menerima itu semua karena itu keputusan dia. Dulu sebelum ibu berakhir
hubungan sama papamu, Ibu juga merasa sangat berat untuk mengakhirinya, namun
Ibu harus kuat untuk kehilangan dan bisa jalani sendiri,” kata Ibunya Gio
memberi nasehat ke anak lelaki kesayangannya.
“Terima kasih Bu, terima kasih selalu mendengar ceritaku Bu,
aku sayang Ibu. Aku harap sekarang dia tetap bahagia bersama pasangan barunya.
Biarlah aku pendam semua dan terluka akan semuanya Bu.”
“Itu baru anak ibu, seorang laki laki yang hebat dan kuat!
Sini cium dulu, mana adek? Ayo kita rangkulan bertiga.” ujar Ibu menenangkan
Gio, lalu meraih ragil. Tiga keluarga ini pun berangkulan mesra.
Saat itu Gio menangis, Ragil memeluk Gio sangat erat. Bocah polos itu seakan mengerti yang
dirasakan Abang dan Ibunya. Dieluselusnya pundak Gio yang sedang terisak,
seakan-akan dia berkata semua akan baik baik saja.
Hari demi hari Gio lalui bersama Ibu dan keluarga, namun tak
lama lagi Gio harus kembali meninggalkan kota Jogja karena Gio harus pulang
melanjutkan aktivitas biasanya di kenangan tersebut. Gio tidak menyia-nyiakan
waktunya yang terbatas di kampung halamannya. Gio menghabiskan waktu bersama
Ragil. Gio dan Ragil mengunjungi sebuah mall dan pergi ke bagian permainan, Gio
dan Ragil bermain ria tanpa ingat waktu. Tak ada rasa malu sedikitpun mengajak
Ragil berjalan walau orang-orang di sekitar memandangnya dengan sebelah mata.
Gio sudah berjanji dari dulu bahwa Gio akan melindunginya.
“Sedikit saja orang menyentuh dia atau mem-bully dia, orang
itu akan berhadapan denganku,” ujar Gio tegas.
Puas bermain di mall, Gio dan Ragil beralih berenang pada
sore hari di sebuah waterboom terbesar di Kota Jambi. Menghabiskan hari bersama
Ragil, itulah yang Gio inginkan. Sampai tua pun Gio akan tetap ada untuk Ragil
dan akan selalu menjaga Ragil sepenuh hati.
“Kamu harus menjadi orang yang kuat yah wahai adikku,” ujar
Gio. Karena Ragil adalah sebuah anugerah dari Tuhan, Sang Maha Pencipta. Kita
hanya harus mensyukuri apa yang sudah Dia berikan kepada kita.
Hari kepulangan Gio ke Jogja pun semakin dekat, saatnya Gio
kembali pulang ke Yogyakarta. Berat bagi Gio berpisah dengan Ragil, adik
tercintanya itu, dan pada Ibu yang selalu mendukungnya juga. Namun Gio harus
mampu berpisah.
***
“Keluarga adalah tempat terindah yang takkan pernah
tergantikan”
“KEGAGALANKU
MELUPAKANMU”
***
Kembali ke rutinitas Gio di Yogyakarta, disini Gio mencoba
hal yang baru. Kuliah hari pertama Gio tidak bertemu dengan Nayla, terus
menerus tak bertemu, namun tak bisa Gio pungkiri waktu kembali memaksa Gio
untuk bertemu dengan Nayla.
Saat itu Gio sedang menuruni salah satu tangga di kampus.
Saat sampai di bawah, Gio melihat Nayla ingin melewati tangga, namun Nayla
terlihat tidak jadi naik, seperti menghindari Gio, padahal baru saja
teman-temannya lewat di depan Gio. Gio pun memanggil Nayla.
“Hei, Nayla kenapa tidak lewat sini? Kamu nanti ditungguin
temanmu di tangga atas,” ujar Gio tersenyum. Gio hanya ingin mencoba untuk
memperbaiki keadaan. Gio pun menjulurkan tangannya dan bertanya kabarnya, namun
Nayla hanya diam saja dan memasang wajah tak suka pada Gio.
Waktu terus berlalu, haripun terus berganti, tak lama Gio
mendapatkan kabar bahwa Nayla bener-bener sedang dekat dengan salah satu teman
Gio di kampus, Rully namanya. Gio bahkan pernah meminta pertolongan Rully untuk
menjadi teman ceritanya di kala Gio dilanda kegalauan tentang Nayla. Gio tak
menyangka Rully akan menikung dari belakang, saat Gio sedang berusaha menerima
keadaan. Muncul rasa curiga bahwa permulaan kisah Rully dan Nayla mungkin sudah
terjadi sejak Gio mendaki Gunung Argopuro, bahkan mungkin sebelum itu. Tapi
cepat-cepat Gio buang prasangka itu. Gio mencoba tetap positif soal Nayla.
“Maaf aku tidak berguna untukmu, mungkin temanku ini lebih
baik dan cocok dibandingkan aku. Aku sadar aku hanyalah seorang gembel seperti
awal pandanganmu kepadaku,” pikir Gio sabar.
Entah mengapa keadaan seakan mempertemukan Gio, Nayla dan
Rully, Gio suatu ketika Gio, Nayla dan Rully
berada di kelas yang sama. Sesuatu hal yang berbeda benar-benar
dirasakan Gio saat itu. Seakan memberitahu Gio bahwa inilah kenyataannya
sekarang.
“Dulu saat Kau menjadi pacarku, kau selalu duduk di
sebelahku, tapi saat ini orang itu yang duduk di sebelahmu” batin Gio.
Hancur rasanya hati Gio melihat kemesraan mereka berdua di
kelas. Gio duduk paling belakang saat itu, sesekali Gio melihat ke arah Nayla
dan Rully. Tersiksa menahan hati yang dipenuhi kecemburuan. Di kelas, Gio
menjadi seorang yang bisu dan tak berguna, tak tau bagaimana caranya untuk bisa
biasa saja di depan Nayla dan Rully. Terlalu banyak bisikan orang-orang yang
membuat hati Gio semakin terluka, rapuh dan terjatuh.
Di suatu malam, Gio duduk sendiri di ruang tamu rumah
mengenang semua kenangan Gio dan Nayla. Gio ingat dia dan Nayla saling
bercerita tentang kisah masa lalu disini dan selalu ingin membuat kisah baru
berdua.
“Senyummu adalah kekuatan untukku, memilikimu adalah sebuah
keberhasilan untukku, namun semua itu hanya sekedar angan yang tak akan bisa
kugapai lagi” ujar Gio pasrah.
***
“Aku ingin melihat dia bahagia, walau hanya bisa melihat dari
kejauhan, asal dia selalu bisa tersenyum meski bukan aku alasannya”
“MEMELUK ERAT HATI YANG
TERLUKA”
***
Masih tentang Gio dan Nayla di kampus. Gio semakin hari
semakin terpuruk rasanya. Ketika itu jadwal kuliah Gio dengan mereka ternyata
sama, Gio memutuskan tidak masuk kelas karena terlalu sakit hatinya untuk
melihat mereka.
Gio selalu mencoba menjadi orang yang tegar, Gio selalu
mencoba menjadi orang kuat. Tapi yang bisa Gio lakukan hanya melihat Nayla dari
kejauhan. Di kala Gio berpapasan dengan Nayla saja Gio hanya bisa menundukan
kepalanya, setelah kejadian di kelas itu. Gio tahu Gio tak pantas untuk berdiri
di hadapan Nayla, selalu saja Gio melihat Nayla dari kejuhan, selalu saja Gio
memantau Nayla dari orang lain. Ini adalah sebuah cobaan yang berat untuk Gio.
Ini adalah sebuah masalah yang besar untuk Gio. Berkali-kali Gio mencoba, namun
selalu saja gagal.
Gio selalu senang walau hanya mampu melihat Nayla dari
kejauhan. Gio selalu bersyukur ketika sekelas dengan Nayla, namun Gio terluka.
Gio tak bisa menahan untuk bisa kembali ke kehidupan Nayla. Gio tak pernah
berhenti berdoa, berharap suatu saat Nayla akan sadar bahwa Gio masih disini,
menunggu Nayla.
Gio pun kembali ke kehidupan Gio yang dulu, selalu
menggunakan headset dan susah bersosialisasi dengan orang-orang. Gio ingat dulu
Nayla pernah mengajarkan Gio untuk lebih memperhatikan sekitar dan bersosialisasi
dengan orang-orang. Namun saat ini Gio takut untuk bercerita kepada siapapun.
Gio takut Nayla akan semakin membencinya, Nayla semakin memandang Gio rendah
dan tak punya harga diri, tapi Gio takkan pernah berhenti berusaha melakukan
yang terbaik untuk Nayla.
***
“Kenangan cinta sejati yang
takkan terlupakan adalah disaat pertama kali aku melihatmu dan menatapmu dengan
tulus”
“HANCUR HATIKU KARENAMU”
***
Gio tidak bisa lagi merasakan cinta, apa lagi membuka
hatinya untuk orang lain. Gio tak mengerti mengapa efek kepergiaan Nayla
sebegitu sakitnya. Berkali-kali Gio mencoba dekat dengan orang lain namun Gio
tetap tidak bisa. Berkali-kali Gio mencoba
berjuang untuk seseorang, Gio selalu berhenti di tengah jalan.
Suatu hari saat Gio sedang di kampus, Gio bertemu dengan
Alif, teman Gio dari program studi yang berbeda. Ketika Gio sedang berbincang,
Gio melihat Nayla duduk sendirian di student area kampus, Gio berkata kepada
Alif,
“Itu dia orang yang membuatku tidak bisa move on hingga saat
ini.” Sambil memberi kode dengan lirikan ke arah Nayla pada Alif
Setelah mendengar Gio berkata seperti itu, Alif mengajak Gio
ke kantin kampus, tapi anehnya dia malah melewati student area. Gio sempat
heran, tapi Gio pikir Alif ini hanya sekedar ingin lewat saja. Tiba-tiba Alif
duduk tepat di hadapan Nayla dan berkata,
“Kamu anak hubungan international yah?” ujar Alif menyebar senyum.
Gio terdiam dan langsung bereaksi.
“Ayo katanya mau ke kantin,” ujar Gio sambil menarik Alif.
Namun Alif tidak menggubris perkataan Gio. Gio pun terbawa
suasana dan akhirnya Gio ikut duduk di hadapa Nayla untuk pertama kalinya
setelah sekian lama dan membelakangi Alif. Gio merasa sangat gugup saat duduk
di depan Nayla seperti ini. Gio mecoba membuka percakapan dengan bertanya,
“Kamu sedang ngapain?”
Gio kepada Nayla dengan sangat kaku.
Tapi Nayla hanya diam saja dan tak menjawab pertanyaan Gio.
Sekali lagi Gio bertanya,
“Oh ya, makamnya Mbahmu posisinya di dekat mananya ya Nayla?”
tanya Gio lagi.
Akhirnya Nayla menjawab, “Susah untuk jelasin makamnya,
pokoknya tidak jauh dari rumah,” jawab Nayla singkat.
Tidak tau apa yang harus Gio bicarakan lagi, Gio menoleh ke
belakang untuk melihat Alif, tapi Alif sudah menghilang. Gio pun bertambah
gugup. Gio rasakan badan Gio menjadi semakin dingin. Gio bingung harus tetap
duduk di situ atau pergi. Ingin sekali rasanya tetap duduk, namun Gio tidak
enak jika gebetan Nayla melihat.
Akhirnya Gio berdiri dan melihat ke gedung sebelah, terlihat
Alif melambaikan tangannya dan tersenyum pada Gio. Gio pun tertawa melihatnya.
Kemudian Gio berpamitan dengan Nayla dan berkata,
“Aku pergi dulu yah, semangat ngerjain tugasnya.” Kata Gio
sembari menyebar senyum yang diajarkan Nayla.
Saat Gio berpaling dari Nayla, hatinya sangat senang.
“Akhirnya aku bisa berbicara denganmu walau hanya sebentar.
Beberapa kata dan beberapa menit seperti itu saja sudah membuatku sangat
senang, bagaimana jika aku bisa kembali memilikimu? Mungkin aku akan pingsan
saking senangnya. Andai esok atau lusa kau bisa kembali padaku, aku berjanji
akan menjagamu sampai akhir hayatku. Aku sangat berharap kau ingin memikirkan
sekali lagi tentang kita dan mempertimbangkan untuk kembali padaku” harap Gio,
hanya dalam hati saja.
Malamnya hujan turun sangat deras, kembali Gio mengingat
Nayla dan berpikir,
“Andai aku bisa memutar waktu kembali seperti di kampus tadi,
takkan kusia-siakan sedikitpun. Hanya butuh waktu satu detik untuk mengatakan “Aku
masih mencintaimu.” Sederhana, tapi sangat bermakna untukku”
Seperti bumi yang merindukan langit, Gio tak bisa menggapai
Nayla, tapi Gio ingin tetap berusaha, walaupun kali ini hati kecil Gio berkata
semuanya hanya sia-sia.
Gio memutar kembali lagu kesukaan Nayla. Sakit rasanya saat
bagian lagu kesukaan Nayla terdengar,
“I really, really like you”
Lalu foto
Gio dan Nayla berdua di kursi biru di rumah kontrakan, liburan di Dieng, dan
banyak kenangan-kenangan lain yang Gio dan Nayla buat bersama. Takkan pernah
Gio lupakan sedikitpun momen bersama Nayla. “Apakah aku bisa mengikhlaskanmu?” benak
Gio.
“Lelahku takkan berarti buatmu,
matiku juga takkan bisa membuatmu kembali, aku sadar itu dan akan kuusap air
mataku”
“LUKA HATIKU”
***
Memang tak bisa Gio pungkiri bahagianya hanya dengan Nayla.
Nayla yang selama ini membuat Gio berdiri dan bertahan. Bahkan sampai saat ini,
Gio masih merasa bahwa Naylya lah wanita terbaik untuknya yang takkan
tergantikan oleh siapapun. Mungkin waktu sedang menguji Gio untuk bertahan,
walau waktu juga membuat mereka semakin sering bertemu, mulai dari sekelas, di
jalan, dan di depan kampus. Menurut Gio, waktu saat ini sedang membantunya
untuk menjadi laki-laki yang kuat dan terlatih akan yang namanya patah hati.
***
Nayla memang wanita terindah di dalam hidup Gio, setelah
Ibu. Nayla juga menjadi cahaya surga untuk jalan hidup Gio. Nayla mengajarkan
Gio arti sebuah senyuman, ingatkah itu?
Gio merasa tak tenang akhir-akhir ini. Semua khayalnya tak
akan menjadi kenyataan. Gio hanya bisa melukis bayang Nayla saja di setiap
malam-malamnya. Gio sadari dan terima bahwa Nayla selalu melintas dipikirannya.
Gio menerima kehadiran Nayla untuk menyakiti hari-hari Gio. Ada satu yang
selalu Gio rindukan, kehangatan cinta dalam pelukan Nayla.
“Sekarang izinkan aku tetap melukiskan bayangmu karena aku
sadar semua itu akan sirna. Kau akan menghilang perlahan karena waktu, sama
seperti perasaanku yang hancur, aku percaya akan hilang perlahan seiring waktu.
Wahai engaku wanitaku yang dulu, kau selalu ada dan
tersimpan di relung hati terdalam. Dulu kau seperti rumah bagiku, dulu kau
seperti alam bagiku, aku selalu nyaman di dekapmu dan aku selalu bisa menyatu
dengan hatimu. Kepergianmu kali ini sungguh kubenci. Kau tinggalkan tempat kita
merajut semua kenangan dan mimpi kita, kita berjalan sendiri-sendiri, kau
bahagia dengannya dan aku terpatri disini, sendiri” kenang Gio sembari
perlahan-lahan Gio mengais masa lalu.
Tenggelam Gio dalam mimpi dan memburai Gio menjadi udara.
Sinar Gio mulai padam dan terpatah Gio tanpa arah menanti Nayla, membiarkan
harapannya musnah dengan sendirinya. Walaupun kenangan selalu memaksa Gio untuk
mengingat Nayla, kenangan pula yang selalu membunuh Gio secara perlahan. Tangis
Gio mungkin tak terlihat oleh Nayla, namun Gio ingin sekali meninggalkan
perihnya. Gio ingin sekali bisa melangkah tanpa Nayla. Gio tau saat ini belum
seutuhnya Gio bisa melupakan Nayla.
Di malam yang
dingin penuh dengan bintang-bintang Gio melihat
Nayla dengan Rully,
“Mungkin saat ini engkau dengan bangga memberi tahu kepada
dunia bahwa kini kau menjadi miliknya, namun aku hanya bisa terdiam ketika kau
sudah melupakanku. Kan kurelakan dirimu tapi itu semua butuh waktu, aku masih
menunggu suatu momen dan aku ingin mengakhiri sisa-sisa tugasku untukmu dan
keluargamu” tekad Gio sambil berlalu dari pandangan yang membuatnya sedih itu.
Tugas pertama Gio mencari tahu dimana keberadaan makam
Neneknya Nayla. Gio mencari tau lewat teman Nayla yang bernama Mangesti.
Mangesti memberi tau bahwa makam neneknya beberapa meter saja dari rumah Nayla.
Gio telah mendapatkan info dimana neneknya Nayla dimakamkan dan Gio menunggu
waktu yang tepat untuk berkunjung kesana.
Gio menuju ke makam orang yang pertama kali Gio temui saat
menjemput Nayla, nenek Nayla. Beliau yang terbaring disini adalah seseorang
yang mengenal Gio saat Gio bersama Nayla. Di sampingnya ada makan kakeknya
Nayla. Gio berdiri di hadapan makamnya, sambil memegang tanahnya.
“Maafkan aku yang tidak bisa menjaganya saat aku masih
menjadi bagian dari hidupnya,” ujar Gio.
Gio duduk di
samping makam kedua orang yang berarti bagi Nayla tersebut. Gio membersihkan
semua makamnya dan menaburkan bunga-bunga agar makam itu tetap indah dan
mendoakan sembari meletakan sebuah surat maaf Gio kepada Nayla di sana. Gio
membasahi batu nisannya dan berpikir sejenak,
“Suatu saat nanti aku akan bertemu denganmu, wahai orang
yang mengenalku, kita akan bertemu di surga dan aku yakin engkau masih
mengingatku disana,” ucap Gio.
Ketika usai Gio mengatakan semuanya Gio pamit makam
kakekneneknya Nayla tersebut. Dalam batinya Gio berujar,
“Bila musim berganti dan sampai waktu terhenti, walau memang
dunia saat ini membenciku, aku akan tetap di sini dan bila waktuku sudah habis
dan diriku harus kembali, disanalah aku akan bertemu dengan kalian. Tunggu aku
disana, carilah ketenangan disana dan sampai jumpa”.
Seketika angin berhempus mengantar kepergian Gio. Daun-daun
Suji pun melambai-lambai. Aroma semerbak dari bunga melati terpendar oleh
tiupan angin.
***
“Mungkin
saat ini kau sedang berbahagia bersamanya, dan biarkan yang aku rasa ini
membunuh dan membuat hatiku
membiru
secara perlahan, sampai akhirnya kutemukan kebahagiaan”
“AKHIR PERJALANAN HATI”
***
“Aku tahu kau semakin membenci diriku jika aku terus
mengganggumu. Aku sedang menunggu momen yang pas untuk bisa mengucapkannya. Aku
kembali mengingat setiap rincian tentang kita, bukan untuk aku lupakan,
melainkan untuk kutuangkan ke dalam sebuah cerita pendek. Akan kubuat cerita
ini menjadi sebuah buku kecil dan kuberikan padamu di hari ulang tahunmu” - Gio
***
Gio membuat sebuah buku sebagai
ungkapan perasaannya yang tak tersampaikan pada Nayla. Apa yang Gio rasakan
selama ini, walaupun Gio tidak tau efek dari buku yang diatulis itu. Gio juga
akan membeli sebuah buku yang abadi dan sangat bermakna untuk Nayla. Gio
memberikan Al-Qur’an warna ungu untuk Nayla.
Ungu, karena Gio tahu Nayla sangat menyukai warna itu.
Hari yang Gio tunggu akhirnya datang, 29 Desember, Gio
membungkus kado untuk Nayla, membungkus buku kecil dan sebuah Al-Qur’an. Hanya
itu yang bisa Gio berikan pada Nayla. Gio melihat orang-orang lain juga
memberikan kado untuk Nayla. “Apakah kau akan suka dengan yang aku berikan, apa
kau akan membaca bukuku? Yah, biarkan kau sendiri yang memutuskan akan
membacanya atau tidak” pikir Gio.
Gio berikan kado itu melalui teman Nayla yang bernama
Mangesti. Gio tidak mempunyai keberanian untuk memberikan langsung kepada
Nayla. Namun ketika Gio sudah memberikan kado itu, saat itu juga Gio sudah
menutup cerita hidupnya di tahun 2016.
Malam itu Gio coba untuk melintas di depan rumah Nayla. Dari
kejauhan Gio selalu melihat setiap detail kenangan. Namun Gio menyadari bahwa
dia harus mengakhiri rasa cintanya pada Nayla dan tidak memikirkan tentangnya
lagi.
Beberapa hari berlalu setelah buku itu sampai di tangan
Nayla. Gio tidak tahu kenapa selalu saja ada orang yang membuat gosip tentang
dirinya. Nayla juga terlihat semakin membenci Gio dan menganggap bahwa buku
yang Gio berikan kepada Nayla hanya membuat Nayla semakin risih.
Gio semakin bingung dengan sikap Nayla. Gio sangat berharap
ada sebuah penghargaan dari Nayla untuknya. Tak perlu penghargaan seperti
nobel, Gio hanya perlu penghargaan kecil seperti ucapan terima kasih yang tulus dari Nayla,
bukan amarah.
Suatu hari Nayla mengirimkan Gio pesan singkat yang membuat
Gio semakin yakin bahwa tidak ada kesempatan kedua untuk Gio dan malah membuat
Gio semakin harus bisa menerima semua ini.
Gio membalas pesan Nayla,
“Buku itu aku berikan kepadamu
di akhir tahun 2016 dan aku juga sudah memutuskan untuk menutup buku tentang
kamu. Aku telah menyelesaikan tugasku, dan aku yakinkan kamu bahwa tidak akan
ada orang yang seperti aku lagi berikutnya yang akan melakukan hal seperti ini
untukmu. Bahagiamu bukan di aku dan bahagiaku juga bukan di kamu dan aku sadar
dengan semua itu saat ini.
Terima kasih” ujar Gio tegas.
Tak lama, Nayla membalas pesan Gio,
“Ya bagus kalau kamu sadar, lagian life must go on, dan aku
harap kamu enggak usah melakukan hal-hal yang membuat orang lain risih,” ujar
Nayla penuh amarah dan masa bodoh.
Malam itu Gio terima mentah-mentah kata-kata Nayla itu dan
memasukannya ke dalam hati sebagai catatan akhir dari kisahnya dengan Nayla.
Saat itu hujan dan Gio berdiri di jalan sambil mengangkat kepalanya ke atas
melihat langit yang gelap. Rintik hujan membuat Gio semakin tegar. Tetesan air
itu membasahi badan Gio dan kelopak mata Gio, membuat Gio menutup mata dan
merelakan semuanya.
Gio putuskan malam ini bahwa kisah Gio telah berakhir
bersama Nayla. Gio harus terus melangkah dan melangkah hingga suatu saat nanti
ketika Nayla menoleh ke belakang ; lihat aku, Agio Jati Suryatama, aku masih
ada dan menjadi lebih baik karena berpisah denganmu.
“SELESAI”
SHAPUTRO BELAHASIR
Shaputro belahasir atau biasa
dipanggil dengan nama Billy oleh temanteman terdekatnya.
Lahir dan besar di kota yang
jauh di tepi sungai yang bernama Kuala
Tungkal, Jambi.
Saat ini Billy berkuliah jurusan Psikologi di salah satu perguruan tinggi di
Kota Yogyakarta.
Buku berjudul “Akhir Perjalanan Hati” ini adalah buku karya Billy
yang pertama. Buku ini terinspirasi dari kisah nyata yang
pernah Billy alami di kehidupan sebenarnya (true story).
Selain
menulis, Billy adalah seorang drummer dari band indie ALICE
(@aliceofficialid). Band indie ini memiliki mini album yang
berjudul awakening.
Korespondensi
dengan Billy dapat dialamatkan ke akun
instagram
@sadisticsmile atau akun facebook : Shaputro Belahasir
Comments
Post a Comment